Dari Bumi Manusia ke Merdeka Belajar Abad Milenial

Senin, 22 November 2021 15:11 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Renungan Alumni Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Hari Pendidikan Nasional

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.”

Saya merasa bersedih hati, ketika hadir di setiap acara sastra namun tidak ada satupun dari sekian banyaknya partisipan adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Padahal masa depan bahasa dan sastra Indonesia ada di pundak calon sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia ini. Apalagi Ia akan menjadi pengajar Bahasa dan Sastra, itu merupakan satu contoh korupsi dalam dunia sastra. Bersikap pura-pura tidak tahu terhadap perkembangan sastra di daerahnya dan apabila mengutip kata Saut “terus saja hidup sebagai Parasit Sastra.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda di H.B.S Surabaya tempat Minke bersekolah. Ini dia katakan saat pertama kali memasuki kelas dan bertanya, apakah ada siswa yang tak menyukai sastra. Hampir seisi kelas mengacungkan tangan. Mencengangkan memang. Mungkin begitulah pula jika pertanyaan ini disampaikan kepada kaum milenial saat ini. Hanya sedikit saja yang gemar membaca sastra. Padahal sastra adalah bagian dari dunia intelektual. Sebagai intelektual, seseorang bisa diharapkan menawarkan wacana kritis mengenai kondisi masyarakatnya. Wacana kritis seperti apa? Barangkali salah satunya adalah dalam mengambil sikap terhadap perubahan zaman yang terus menerus berubah. Sastra menuntun kita menjadi manusia  yang tak mudah menghakimi dan bijak dalam menentukan sikap.

Bumi Manusia dan Ki Hajar Dewantara

Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959 tertanggal 28 November 1959 menetapkan tanggal 2 Mei—hari lahir Ki Hajar Dewantara—sebagai Hari Pendidikan Nasional. Sejarah panjang pemikiran dan pengabdian Ki Hajar Dewantara di dunia pendidikan mencatatkan namanya ke dalam sejarah peradaban kemerdekaan bangsa Hindia Belanda. Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu penulis sastra termahsyur Indonesia yang menulis salah satu roman sejarah dengan seting waktu zaman Hindia Belanda.

Melalui tetralogi Bumi Manusia Pram menyelipkan sistem pendidikan zaman Hindia Belanda dulu. Minke—tokoh utama dalam novel Bumi Manusia—, seorang peranakan bangsawan lokal yang memiliki gelar Raden Mas memiliki hak Privilegiatum oleh pemerinta kolonial. Hak tersebut diperuntukan bagi orang-orang seperti Minke yang berkedudukan sebagai kaum terpelajar Eropa sekaligus bangsawan. Itu artinya hanya pribumi seperti Minke yang dapat menerima hak pendidikan secara Eropa. Betapa berat kejatuhannya bangsa Hindia Belanda sehingga harus menerima nasib tanpa kemajuan pendidikannya sehingga  Herbert de la Croix menyebutnya sebagai bangsa cacing. Miriam dalam suratnya kepada Minke menyampaikan “apa yang dibutuhkan bangsa cacing ini? Seorang pemimpin yang mampu mengangkat derajad mereka kembali.”

Minke, seorang pribumi terpelajar diharapkan menjadi seorang pemula dan pembaru sekaligus. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang Eropa meskipun jiwa dan wataknya serratus persen kolonial. Sekalipun itu Multatuli—pengarang yang diagungkan dan sudah sangat berjasa pada Hindia Belanda—, di samping ada Domine Baron von Hoewell, Roorda van Eysinga dan lainnya, mereka tidak pernah bicara pada pribumi, hanya pada sebangsanya sendiri, yakni Belanda. Mereka minta perhatian pada Eropa agar memperlakukan pribumi secara patut. Menurut Herbert dalam suratnya Miriam lagi, pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Situasi ini disebutkan Hebert bahwa bangsa ini merindukan datangnya seorang Messias–merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Kalau sampai  duapuluh tahun mendatang kaum pribumi tetap tanpa perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya. Barangkali Ki Hajar Dewantaralah salah satu Messias pendidikan dalam dunia nyata.

Merdeka Belajar Abad Milenial

Taman Siswa merupakan organisasi pendidikan alternatif yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922 di kota Yogyakarta. Taman Siswa merupakan antitesis bagi pendidikan kolonial yang bersifat perintah, hukuman, dan ketertiban. Taman Siswa juga merupakan bentuk perlawanan Ki Hadjar Dewantara terhadap deskriminasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Taman Siswa mengajarkan tentang dasar-dasar nilai kemerdekaan bagi masyarakat pribumi Indonesia. Ajaran kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang berasal dari diri sendiri. Pendidikan ditekankan kepada siswanya untuk tidak bergantung kepada orang lain dan tetap berpegang teguh pada prinsip berdikari (berdiri di kaki sendiri). Sungguh betapa besarnya sumbangan pemikiran Ki Hajar Dewantara bagi perkembangan pendidikan bangsa Indonesia. Setelah hampir satu abad sejak berdirinya, ia telah mengangkat derajad jutaan masyarakan Indonesia.

Akan tetapi, dunia pendidikan juga tak lepas dari berbagai kepentingan. Mengedepankan kemajuan, sistem pendidikan di Indonesia berkali-kali harus bongkar-pasang. Sehingga, pada pelaksanaannya banyak sekali memunculkan kebingungan bahkan sesat tujuan. Mulai dari penyeragaman kurikulum pendidikan—yang kita sadari bahwa masyarakat kita itu beragam—sampai pola bentuk penilaian. Semua diatur, semua ditata oleh negara. Kita semua tahu jika setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.  Padahal sekolah bukan sekadar ajang adu. Tapi selayaknya taman, ia harus selalu teduh, rindang, dan bisa menjadi tempat bermain yang asyik bagi siswa-siswi. Mereka berhak mengembangkan nilai yang ada di dalam dirinya tanpa harus bertanggung jawab terhadap nilai semua mata pelajaran. Ia hanya harus bertanggung jawab terhadap nilainya sendiri.  

Sastra dan Merdeka Belajar

Keberhasilan Minke dalam pelajaran salah satunya adalah karena mencintai sastra. Sastra membangun rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu. “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai.” Kutipan ini diucapkan oleh Magda Peters, guru Minke. Pesannya begitu jelas, berotak pintar bahkan dengan gelar sarjana yang berderet tak ada artinya bila tak mencintai sastra. Memangnya apa gunanya mencintai sastra? Sastra bukan sekadar tulisan yang menceritakan suatu hal bertokoh A. Lebih dari itu, membaca karya sastra yang baik, semisal Bumi Manusia, adalah upaya untuk memahami kemanusiaan. Pada karya sastra kita berjumpa beragam tipe manusia, ada yang baik, yang jahat, serta abu-abu. Semua dengan latar belakang dan motivasi masing-masing. Pengalaman hidup dan pengetahuan akan kemanusiaan bisa mereka timba dari sastra. Karena memahami berbagai perangai manusia setelah banyak membaca sastra, kita berpotensi jadi orang dengan budi pekerti yang luhur.

Sastra sudah sepatutnya menjadi salah satu solusi utama bagi kemerdekaan belajar bangsa Indonesia. Karena selain fungsinya yang menghibur, sastra juga memberikan pembelajan moral yang merdeka. Tinggal bagaimana peran guru sebagai pendamping untuk mendalami  pokok pikiran di dalamnya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Suryana Hafidin

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

MayDay Honor!

Rabu, 24 November 2021 06:17 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler