x

Jadi, beginikah wajah Pancasila di mata generasi millenial? Sudahkah banyak yang lupa? Lupa atau malah melupa? Masihkah Pancasila sakti seperti dahulu kala? Sakti atau sakit?

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Rabu, 24 November 2021 06:56 WIB

Pancasila: Selendang Pemersatu Melawan Korupsi.

Pancasila sebagai selendang pemersatu merujuk pada gagasan awal pembentukannya. Sebagai dasar filosofis berbangsa dan bernegara, sudah pasti ia menjadi acuan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu artikel ini mencoba merespon bagaimana praksis Pancasila terutama dalam kaitannya dengan upaya negara membebaskan diri dari jeratan korupsi. Selain itu, penulis pencoba menjelaskan spirit kesatuan dalam Pancasila sebagai selendang pemersatu dalam melawan korupsi. Bung karno berkata. Di daalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya.sprit ini yang perlu diperjuangkan dan di bumi kan ditengah geliat korupsi yang kian massif nan sistematis di tanah air.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato sebagaimana yang diminta oleh ketua sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai tentang dasarnya Indonesia Merdeka, ”Philosofische grondslag” daripada Indonesia Merdeka. ”Philosofische grondslag” itulah fundamen, filosofi, pikiran yang-sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat-yang-sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi (Sukarno, 1964:9). Dalam risalah ”Mencapai Indonesia Merdeka” yang pernah ditulisnya pada tahun 1933, Bung Karno menyatakan bahwa kemerdekaan, politeke onafhankelijheid, political independence, tak lain dan tak bukan ialah jembatan, satu jembatan emas, ... di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita ... Di daalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi (Sukarno, 1964:11-15). Philosofische grondslag yang dimaksud oleh Bung Karno adalah Pancasila.

Pancasila untuk pertama kalinya digunakan dalam pidato BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian diterbitkan sebagai buku berjudul “Lahirnya Pancasila”, Bung Karno mengusulkan dasar filsafat, “philosofische grondslag”, “Weltanschaung”, di atas mana didirikan Negara Indonesia (Sukarno, 1964:19-34). Dalam perumusan pancasila pada masa awal, Bung Karno merumuskan lima filosofis yang kemudian disebut sila-sila dalam pancasila yakni, Pertam, Kebangsaan Indonesia; Kedua, ”internasionalisme” atau peri-kemanusiaan; ketiga, dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; keempat, prinsip kesejahteraan, prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka; dan Kelima, Prinsip ini menggabungkan keempat poin tersebut dengan maksud mengusung Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (Siswoyo,2013).

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Korupsi Menggorogoti Jembatan Emas.

Sebagaimana ditegaskan oleh Bung karno bahwa di balik jembatan emas itulah banyak hal dilakukan guna mencapai cita-cita kemerdekaan sesungguhnya. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, kemerdekaan tampak seperti ilusi dari realitas kompleks yang menampakkan sejumlah anomali nan jauh dari cita-cita kemerdekaan. Bagaimana tidak, bertahun-tahun Indonesia merdeka, bertahun-tahun bahkan setiap harinya kita menyaksikan sejumlah ketimpangan, kekerasan, kemiskinan, dan aneka tindakan penyimpangan lainnya oleh para penyelenggara negara kita. Korupsi, menjadi satu diantaranya yang paling dominan menyokong segala penderitaan itu. Oleh karenya, pada kesempatan ini, penulis hendak mengajak para peserta untuk memperlajari, memahami dan merefleksikan implementasi pancasila dalam kehiduapan sosial bernegara belakangan ini.

Pertama, Kebangsaan, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Demokrasi, Keadilan Sosial dan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Bung Karno menjelaskan bahwa hari depan bangsa harus berdasar pada Kebangsaan, karena ”orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya” (Adam, 2007:240). Pertanyaannya, bagaimana mungkin hal ini terjadi jika para petani, masyarakat adat, masyarakat pesisir, masyarakat miskin kota, dan kelompok sosial lainnya yang terusir dari tanahnya oleh negara bersama korporat. Atas nama pembangunanan, Nyawa rakyat tak semahal sebatang emas, sebongkah batu bara, sepohon sawit, seranting kayu, dst. Kebangsaan Macam Apa Yang Kita Imani? Tentu praktik kebangsaan seperti ini tidak ada dalam kamus Bung karno dan para Pendiri Bangsa. Bagi mereka, Kebangsaan Indonesia adalah Kemanusiaan, Demokratis, Keadilan Sosial dan Berketuhanan.

Kedua, “Internasionalisme yang sejati adalah pernyataan dari nasionalisme yang sejati, yaitu setiap bangsa menghargai dan menjaga hak-hak semua bangsa, baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun yang baru. Internasionalisme yang sejati adalah dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini”. Kebebasan memeluk agama dan berketuhanan juga termasuk didalamnya. Hal itu sebagaimana rumusan prinsip kelima yang disebut oleh Bung Karno bahwa, Prinsip yang kelima hendaknya menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan, bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan Tuhannya sendiri .... Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ”egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan!

Masalahnya: bagaimana mungkin rasa saling menghargai bisa terjadi sementara sebagian kecil orang dengan kekuasaannya melecehkan, dan bertindak sewenang-wenang kepada rakyat kebanyakan? Bagaimana mungkin bangsa ini bisa hidup berdampingan secara setara dan saling menghargai ketika para pejabat dengan segala kuasanya merampok duit rakyat? Bagaimana mungkin dengan sendirinya mencapai kesejahteraan bersama jika satu persen orang menguasai 50 parsen kekayaan di dunia dan sepuluh parsen orang menguasai lebih dari 50 persen kekayaan di Indonesia? Bukankah setiap tahunnya kurva kemiskinan di Indonesia selalu meningkat? Inilah kenyataan bagaimana Selendang Pemersatu itu dikotori dan digerogoti oleh sebagian kecil penguasa korup.

Ketiga, dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan atau demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial barat, melainkan demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus (Sukarno, 2000:63). Benar bahwa Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi di dunia, akan tetapi praktik demokrasi hari ini adalah demokrasi pasar. Demokrasi yang hanya dimonopoli oleh segelintir orang dengan sumberdaya kekuasaan dominan. Baik ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan. Mereka memanfaatkan suara rakyat untuk meraih kemenangan dan setelahnya rakyat dilupakan begitu saja. 

Demokrasi macam apa yang segala keputusan tantang hajat hidup orang banyak diputuskan secara sepihak, terlebih keputusan itu merugikan rakyat kebanyakan dan menguntungkan segelintir manusia. Bagaimana mungkin disebut demokrasi sementara rakyat hanya punya kesempatan memilih akan tetapi tak berdaya untuk berkontestasi? Demokrasi macam apa yang ketika orang hendak menjadi pimpinan harus menyiapkan modal paling sedikit 20-30 milliyar? Demokrasi macam apa yang pimpinannya dipilih untuk melakukan korupsi ? Demokrasi macam apa yang ketika rakyat berbicara di bungkam, ditangkapi, dipenjara bahkan hilang atau mati? Begitu seterusnya kita mengajukan pertanyaan tentang paradoksal demokrasi. Artinya, makna demokrasi yang terkandung didalam pancasila belum sepenuhnya, bahkan dapat dikatakan tidak pernah terjadi hari ini. Padahal Bung Karno berkata “demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni ”politiek-economische democratie” yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! ”(Sukarno, 1964:27-28).

 

Pancasila: Selendang Pemersatu Melawan Korupsi.

Meskipun dalam implementasi pancasila diwarnai dengan begitu banyak anomali dan problem-probem yang justru mencederai nilai-nilai pancasila, bukan berarti kita turut mengabaikan kekuatan pemersatu dalam kandungan pancasila itu sendiri. Dari sila pertama hingg ke lima, memberi sprektur optimisme bagi generasi muda untuk berjuang melawan ketertindasan dan penyimpangan terhadap pancasila, Salah satunya adalah problem korupsi. Korupsi, sebagaiman sifatnya yang laten selalu ada dan berkembang biak dalam sistem pemerintahah, terlebih dalam rezim hari ini yang berwatak oligarkis. Secara sederhana, oligarki dipahami sebagai sistem pemerintahan oleh segelintir penguasa atas mayoritas rakyat. Segelintir orang tersebut memiliki kekuasaan sumberdaya ekonomi dan politik serta memiliki tujuan khusus yakni melipatgandakan dan mempertahankan kekayaannya. Dengan demikian, sejak awal sistem ini digunakan sudah bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan bernegara sebagaimana terkandung didalam pancasila.

Paling tidak, pernyataan Bung Karno berikut ini menjadi roh perjuangan kita Melawan Korupsi. Di daalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Dari pernyataan ini pula kemudian dirumuskan menjadi poin-poin dalam pancasila. Oleh karenanya, dalam konteks melawan korupsi, generasi muda, pertama-tama memahami tugas kita sebagai kelompok terdidik yang memiliki pengetahuan, gagasan dan kecakapan intelektual serta keberpihakan didalam perjuangan melawan korupsi. Melalui pengetahua, kita dapat mempelajari, memahami dan mengamati fenomena politik pemerintahan, termasuk menelusuri faktor-faktor penyebab personal korupsi. Dengan begitu kita dapat memformulasikan metode dan strategi perlawanan yang tepat. Terlebih pendidikan menjadi salah satu instrumen fundamental dalam merubah tatanan sosial politik dan ekonomi.

Selanjutnya, membangun satu kekuatan bersama dengan menempatkan pancasila sebagai ideologi politik pemersatu dalam wujud aksi-aksi riil. Melakukan pendampingan, advokasi, dan pendidikan politik rakyat sebagai syarat tercapainya perjuangan skala besar dan masif yang nantinya mengarah pada terciptanya perubahan kebijakan yang lebih baik dan tidak korup. Dengan kata lain, perjuangan bersama seperti ini akan mempercepat pencapaian cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial, persamaan hak serta ber-Ketuhanan dan ber-perikemanusiaan yang adil, menjadi penting dan wajib bagi generasi muda. Tugas generasi muda yang terdidik adalah mengambil porsi dalam setiap perjuangan melawan kedzoliman, membela rakyat tertindas, berada dalam barisan penderitaan raakyat. Terlepas caranya berbeda-beda, namun tetap dalam selendang pemersatu yakni, menuju Indonesia yang berkeadilan secara sosial, ekonomi dan politik.

 

 

Sumber Bacaan: 

Siswoyo, Diwi. 2013. Pandangan Bung Karno Tentang Pancasila dan Pendidikan. jurnal Cakrawala Pendidikan Tahun 2013.

Adams, Cindy. 2007. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. (penerjemah: Syamsu Hadi.ed. rev), Yogyakarta: Yayasan Bung Karno & Media Pressindo

Baca ketimpangan ekonomi: segelintir orang menguasai lebih dari sebagian kekayaan sumber daya kekayaan Indoneisa

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler