x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 26 November 2021 20:52 WIB

Kegamangan Mahkamah Konstitusi

Putusan MK mengenai UU Cipta Kerja terkesan gamang, ambigu, membingungkan, dan mencerminkan bahwa [para hakim] institusi ini sukar untuk dapat diandalkan sebagai benteng yang sungguh-sungguh berusaha melindungi konstitusi dari kepentingan-kepentingan pragmatis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi.

Pertimbangan lain MK yang sangat penting diperhatikan ialah dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang azas keterbukaan pada publik. Meskipun sudah melakukan beberapa pertemuan dengan beberapa pihak, menurut penilaian MK, pertemuan tersebut belum sampai pada tahap substansi UU tersebut. Mahkamah juga menilai, draf undang-undang tersebut tidak mudah diakses oleh masyarakat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK menyatakan bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 inkonstitusional. Apabila prosesnya dinyatakan inskonstitusional, produknya pun mesti dinyatakan inkonstitusional. Karena itu, logis apabila produk tersebut—yakni UU Cipta Kerja—dibatalkan. Namun, di sinilah letak kegamangan MK, putusan MK ternyata menolak gugatan buruh agar UU Cipta Kerja dibatalkan, tapi malah mengizinkan aturan itu boleh berlaku selama dua tahun sambil dilakukan perbaikan.

Bukannya mengharuskan aturan lama berlaku kembali, Mahkahmah malah memberi kelonggaran kepada pemerintah dan DPR untuk memperbaiki undang-undang tersebut dalam tempo dua tahun. Baru jika dalam dua tahun tidak ada perbaikan pada undang-undang, undang-undang itu dinyatakan inkonstitusional permanen. Walaupun MK melarang pemerintah menerbitkan aturan strategis sebagai turunan undang-undang tersebut, tapi peraturan pelaksana yang sudah dibuat—yang juga dipandang merugikan rakyat—tetap boleh berlaku.

Putusan MK ini memperlihatkan sikap ambigu, mendua, serta mengesankan adanya pertimbangan di luar hukum yang menguntungkan pemerintah dan DPR. Sebagai benteng konstitusi, para hakim konstitusi mestinya berpikir untuk mempertahankan konstitusi sekuat-kuatnya, bukan bersikap pragmatis dan kompromistis demi menyenangkan banyak pihak. Di satu sisi, memenuhi sebagian tuntutan penggugat karena undang-undang ini harus diperbaiki, di sisi lain tidak sepenuhnya mengecewakan pemerintah karena undang-undang ini tidak dibatalkan dan pemerintah masih diberi kelonggaran untuk tetap bisa menjalankan undang-undang ini, bukan langsung kembali ke aturan lama.

Putusan MK ini menjadi contoh yang kurang baik tentang bagaimana para hakim seharusnya berpikir, mengambil putusan penting, dan mengutamakan konstitusi sebagai patokan utama hidup berbangsa dan bernegara. Mahkamah Konstitusi, sebagai institusi, telah melakukan kompromi yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian, sebab MK telah memberi contoh bahwa bila proses penyusunan undang-undang dinyatakan tidak konstitusional, produknya—undang-undang, dalam hal ini—masih bisa dinyatakan konstitusional [walaupun dengan embel-embel] bersyarat. Tidakkah cara berpikir ini akan ditiru oleh hakim-hakim lain?

Putusan MK ini gamang, ambigu, membingungkan, dan mencerminkan bahwa [para hakim] institusi ini sukar untuk dapat diandalkan sebagai benteng yang sungguh-sungguh berusaha melindungi konstitusi dari kepentingan-kepentingan pragmatis. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler