x

Ini adalah suasana pembelajaran tatap muka terbatas di UPTD SD Negeri 18 Sungailiat Kab. Bangka Prov. Kep. Bangka Belitung

Iklan

Ahmad Irfan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 November 2021

Minggu, 28 November 2021 13:44 WIB

Merdeka Belajar di Tengah Metode Konvensional yang Mengakar

Merdeka belajar adalah dua kata yang sering kita dengar belakangan ini. Merdeka artinya bebas dan tidak terikat, sedangkan belajar artinya berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam perjalanannya, merdeka belajar yang diusung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) memiliki makna sebagai filosofi perubahan terhadap metode pembelajaran yang terjadi di bumi nusantara. Jika kita berkaca pada data dan fakta di lapangan, bahwasanya pendidikan di negara kita secara tidak langsung menjauh dari tujuan sebenarnya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana tidak? Sistem pendidikan yang selama ini menjajal kehidupan anak negeri, seolah-olah mengekang kemampuan yang terpendam di dalam diri masing-masing individu. Setiap siswa dituntut untuk menuntaskan setiap kurikulum-kurikulum yang sudah disusun tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya mereka inginkan.

"Semua orang jenius. Tetapi jika Anda menilai seekor ikan dengan kemampuannya memanjat pohon, ia akan menjalani hidupnya dengan percaya bahwa dirinya bodoh." Ini salah satu kata bijak dari Albert Einstein. Artinya tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama di dalam berbagai hal. Sebagai contoh, ada seorang anak yang sangat pintar matematika, namun di lain hal, dia sangat lemah dalam menggambar. Setiap individu memiliki kemampuan dan kecerdasan yang berbeda berdasarkan potensi yang ada di dalam dirinya. Seorang “Lionel Messi” tidak butuh kemampuan matematika yang mumpuni untuk menjadi seorang bintang, yang dia pikirkan hanyalah bagaimana caranya menggiring bola dan menceploskannya ke gawang lawan. Kalau kita mengukur prestasi dari setiap anak dengan nilai dan peringkatnya di dalam kelas, maka bagaimana dengan anak-anak yang peringkat akademiknya rendah? Apakah mereka bisa dikategorikan sebagai anak yang bodoh? Perlakuan seperti ini tentulah tidak adil, karena mungkin saja mereka punya bakat dan minat di bidang lain di luar akademis yang ada di sekolah.

Mari kita bergerak sejenak untuk melihat kembali apa tujuan sebenarnya dari pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kunci keberhasilan tujuan ini terletak pada guru sebagai ujung tombak perjuangan ranah pendidikan di belantara Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menerapkan merdeka belajar bukan merupakan perkara yang mudah, terlebih dengan kondisi yang sudah mengakar dengan cara konvensional. Metode ceramah tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang, ditambah dengan aktivitas belajar yang hanya mengandalkan dan bersumber pada buku pelajaran. Pembelajaran yang merdeka seyogyanya menjadikan pembelajaran yang interaktif, dengan menitikberatkan siswa sebagai tujuan utama dalam pemerolehan pengetahuan. Itulah yang akan coba saya terapkan dalam pembelajaran untuk sebuah evolusi pendidikan.

Pembelajaran biasanya selalu diawali dengan apersepsi untuk memantik rasa ingin tahu siswa terhadap suatu materi pelajaran. Dengan adanya apersepsi berupa video ataupun gambar, terkadang cerita, kita dapat menggali pemahaman siswa dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengeluarkan pendapat atau gagasan dalam versi mereka masing-masing. Sebagai guru, kita bergerak sebagai mediator lingkungan bagi siswa. Dengan begini, kita sudah selangkah dalam menerapkan prosesi merdeka belajar untuk siswa.

Dalam penugasan, kita dapat memberikan kebebasan kepada siswa untuk menentukan sendiri jenis tugas apa yang cocok dan sesuai dengan kompetensi mereka. Sebagai contoh, ketika menugaskan siswa untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban warga sekolah, maka kita bisa mengajak siswa untuk melakukan wawancara sederhana terhadap warga sekolah tentang hak dan kewajiban mereka dengan menjadikan kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, atau teman mereka sendiri sebagai narasumber. Dalam penyampaian laporannya nanti, berikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan sendiri jenis laporan yang menarik dan sesuai dengan minat mereka masing-masing. Bisa dalam bentuk laporan tertulis, membuat video dari aplikasi “tiktok” misalkan, dalam bentuk puisi, atau membuat e-comic dengan aplikasi yang ada di smartphone mereka masing-masing.

Tidak ada kata terlambat dalam merevolusi pendidikan di Indonesia. Konsep merdeka belajar dapat menjadi lorong untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan di dalam undang-undang. Mulailah dengan langkah sederhana, mulailah dari diri sendiri, dan mulailah dari sekarang.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Irfan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler