Secangkir Teh Bunga Kopi
Aroma kopi menyelinap ke setiap sudut ruangan yang dililit sunyi. Alunan denting piano Adagio Johann Sebastian Bach dari jemari yang tampak pucat terdengar setiap pukul sembilan pagi. Secangkir kopi hitam yang hampir tandas menemani lelaki berkaca mata minus berparas tirus. Jiwanya larut dalam keheningan yang mungkin sudah mengendap entah sekian purnama.
“Tuan, ini ada bunga kopi lagi di atas meja teras.” perempuan lebih dari setengah baya tergopoh-gopoh mendekati tuannya yang sejurus kemudian menghentikan jarinya menyentuh tut piano klasik berwarna hitam.
“Tolong simpan saja di atas sini!” Tangannya menunjuk ke atas piano.
Bi Ipah, perempuan yang sudah mengabdi lebih dari tiga dasawarsa mengurus keluarga Tanudihardja menuruti permintaan tuannya. Lelaki putra bungsu dari keluarga Tanudharja yang sudah dua tahun memilih hidup menyendiri di area dekat kebun kopi miliknya.
Bi Ipah paham betul dengan sifat tuannya yang tak banyak bicara, terlebih setelah kejadian yang memukul harga dirinya. Sehingga tuannya memutuskan memilih menghindari dari hiruk-pikuk metropolitan dan meninggalkan kenangan yang menyakitkan.
Surya kembali sendiri di ruangan yang cukup luas bernuansa putih dengan gaya khas bangunan kolonial Belanda. Diraihnya beberapa bunga kopi lalu membauinya. Seperti biasa jiwanya menjadi sedikit tenang
Rasa penasarannya kian memuncak. Siapa yang telah menyimpan bunga kopi hampir seminggu sekali selama tiga bulan ini?. Wangi bunganya menenangkan jiwa. Kini ia tak lagi bersusah payah meredam gejolak jiwanya karena larut dalam kekecewaan. Menyendiri di dalam kamar yang dililit sepi, larut dalam kemarahan, kekecewaan.
Piano yang berada di sudut ruangan tamu menjadi teman setianya selain Bi Ipah dan Mang Sarmin sopirnya. Mang Sarmin tak banyak bicara bila mengantarkan tuannya yang sesekali menjelajahi berbagai sudut di kota Bandung, bertemu beberapa klien membicarakan seputar kopi. Usaha yang baru digelutinya semenjak kepindahannya ke Pangalengan, pinggiran kota Bandung yang sunyi dengan udaranya yang segar dan seringkali berkabut di pagi hari.
Menikmati Kota Bandung, temaramnya suasana Jalan Braga yang melegenda di malam hari dan hilir mudiknya orang-orang yang menikmati beragam kuliner, ngopi, atau sekadar nongkrong. Melayangkan pandangan ke arah gedung-gedung tua yang masih kokoh berdiri megah meski sudah ditelan zaman dengan arsitektur ala eropa . Namun, tetap saja hatinya kosong bagai lorong yang tak berujung, gelap, sepi, dingin dan hampa.
Tring…suara notifikasi watshapp membuyarkan lamunan Surya. Pesan dari Ariana yang menanyakan kabar. Surya hanya membacanya dan tak ingin membalas pesan dari perempuan yang telah menorehkan luka begitu dalam. Sambil mendengus diletakkan gawainya di atas piano dengan kasar..
Lelaki itu segera berdiri dari bangku kayu berlapis kain beludru merah. Pandangannya menyapu setiap sudut ruangan. Langkahnya terhenti ketika terdengar suara panggilan telepon dari gawainya. Segera diraihnya gawai berwarna hitam metalik, klik panggolan telepon ditolaknya. Langkah kakinya tergesa menuju teras rumah yang asri. Netranya seperti mencari sesuatu, seseorang tepatnya. Tapi yang dilihatnya hanya sesosok lelaki sudah sudah menua, Mang Sarmin berjongkok asyik menyabuti rumput liar yang mulai bermunculan. Melihat tuannya yang berdiri di teras, Mang Sarmin menganggukkan kepala. Surya membalas dengan senyuman yang dipaksakan. Hari-hari berikutnya diwarnai menunggu dan menunggu bertemu sosok yang ia cari.
Dua bulan sudah pesan singkat bertubi-tubi dari perempuann yang pernah mengisi hatinya sekaligus menorehkan luka yang masih menganga. Pesan yang tak pernah dibalasnya meski hatinya bergejolak ingin membantunya. Perempuan yang telah meninggalkannya demi dinikahi lelaki yang lebih mapan. Kini perselingkuhan, kekerasan yang diterima perempuan itu sedikit mengusik pikirannya. Tak dapat dipungkiri ada sedikit rasa puas mengetahui keadaan perempuan itu, namun ada juga rasa empati menyelinap di relung hati terdalam Surya.
Beberapa hari sudah hati Surya diselimuti kekecewaan. Tak ada lagi bunga kopi yang diserahkan Bi Ipah kepadanya. Lelaki itu melesatkan pandangannya dari jendela berbingkai kayu bercat putih kamarnya ke arah halaman yang cukup luas, bunga-bunga warna-warni hasil rawatan Bi Ipah dan Mang Sarmin mulai semarak. Pandangannya dikejutkan dengan sesosok perempuan bergaun putih mendekati halamannya, hatinya berdebar saat perempuan itu masuk ke halamannya. Sejurus kemudian menghilang bak ditelan bumi saat Surya tiba di teras rumahnya.
Bi Ipah sontak mengikuti tuannya menuju teras, secangkir kopi di tangannya nyaris tumpah karena langkahnya tergesa.
“Tuan, mencari siapa ?”
“Perempuan itu siapa Bi?’
Perempuan yang mana, Tuan?”
Bi Ipah mengernyitkan dahi melihat tingkah tuannya seperti anak kecil mencari-cari barang kesayangannya yang hilang.
“Perempuan yang tadi masuk ke halaman, Bi”
Bi Ipah tampak bingung, diterimanya segenggam bunga berwarna putih dari tangan tuannya yang semakin kurus.
“ Perempuan yang menyimpan bunga ini Tuan?”
“Oh itu Neng Aryani, Tuan”
“Siapa Aryani itu, Bi?” Surya semakin penasaran dengan jawaban Bi Ipah.
Bi Ipah menceritakan gadis pembawa bunga kopi itu. Ia adalah perempuan yang sedang mengabdikan dirinya menyuluh masyarakat mengembangkan pertanian organik.
“Kenapa dia suka meletakkan bunga kopi di teras?” Surya semakin mencecar Bi Ipah.
Bi Ipah menunduk setelah melihat tatapan tuannya yang seakan ingin menguliti segenap pikirannya.
“Maafkan kelancangan bibi, Tuan.”
Bi Ipah bergerak mundur, sengaja mengambil jarak dengan tuannya. Sementara Surya menahan kesabarannya dengan mengalihkan pandangannya,
“Bibi beberapa kali bertemu Neng Aryani saat pulang dari pasar, hingga suatu saat memberanikan diri bertanya.”
“Terus?”
“Bibi bertanya ke Neng Aryani tanaman apa yang bisa membuat orang lebih tenang,”
“Untuk Tuan maksud bibi.” Wajah Bi Ipah menjadi pucat pasi, tangannya gemetar dadanya naik turun dengan cepat.
Surya hanya terdiam, ingin rasanya menghardik Bi Ipah yang diam-diam berani masuk dalam kehidupan pribadinya. Tapi ia tahu perempuan itu tak layak menerimanya, terlebih sudah ia anggap keluarganya sendiri. Memang terbukti, kini jiwanya sedikit tenangmeski ada kekecewaan .
“Terus bagaimana?” Surya kembali menatap Bi Ipah,
“Hmm…Neng Aryani saat itu akan mencari tahu dulu, Tuan”
“ Saya bisa bertemu dengannya, Bi?” Tanya Surya pendek
Bi Ipah bernafas lega, tangannya mulai menghangat, senyumnya merekah.
Bi Ipah menyanggupinya. Senyuman tersungging di bibir Surya, yang telah lama tak terlihat dari wajahnya. Wajah pucatnya mulai memancarkan keceriaan. Melihat Bi Ipah tersenyum sambil menatapnya, Surya bergegas menuju kamarnya . Wajahnya sedikit merona, ia tak ingin terlihat antusias akan bertemu perempuan pengirim bunga kopi.
Suatu sore Aryani datang ke rumah Surya, bertemu diteras rumah. Mereka mulanya tampak kikuk. Aryani sedikit mengetahui tentang keadaan Surya dari Bi Ipah, tapi perempuan berambut sebahu berlesung pipit itu tak mau memulai pembicaraan. Surya memilih memulai pembicaraan dengan berhati-hati. Obrolan sore begitu hambar dan kaku.
Tak lama kemudian Aryani berpamitan, Surya marah pada diri sendiri, kenapa dia tak berusaha membuka pembicaraan dengan santai. Malam harinya, ia tampak gelisah, ada perasaan yang tak bisa dibohongi, perempuan muda itu memesona meskipun tak banyak bicara, ada pancaran ketulusan di matanya.
Minggu pagi yang dinanti, ia bergegas menuju teras, ternyata yang ditunggu-tunggu tak ada. Segera bergegas menuju ruang makan untuk mengisi perutnya dengan setangkup roti selai coklat kesukaannya dilengkapi secangkir kopi sendiri saja, ya sendiri seperti biasanya.
Keheningan pagi itu dipecahkan oleh suara lembut Bi Ipah sambil menyerahkan bunga kopi. Pipi Surya merona, kebahagiannya tak bisa disembunyikan, senyuman menyungging di bibirnya. Tak disadarinya bunga-bunga kopi dibauinya, dihirupnya dalam-dalam. Bi Ipah hanya tersenyum melihatnya.
Minggu berganti hingga tak terasa sudah hampir lima purnama Surya dan Aryani menjalin komunikasi, mereka seringkali mengisi sore dengan berjalan-jalan di area perkebunan kopi milik Surya. Seperti sore itu Surya memetik bunga kopi, hendak menyelipkan di rambut Aryani. Perempuan yang mulai mengisi hatinya itu secara spontan menepisnya. Surya kaget tak disangka Aryani akan menolaknya. Darahnya mendidih, ia meninggalkan Aryani yang berdiri mematung. Ada rasa penyesalan, tapiAryani mempunyai prinsip, hanya lelaki yang telah syah menjadi suaminya yang boleh menyentuhnya.
Surya menghentikan langkahnya sejenak, malu, marah atas penolakan Aryani. Egonya memuncak. Perempuan yang terlihat lugu itu telah berani menepis tangannya. Ia tak peduli pada perempuan itu, berjalan melesat meninggalkan Aryani di keheningan sore yang dingin. Keangkuhannya lebih besar daripada memikirkan ketaknyamanan perempuan yang mulai mengisi relung hatinya.
Bunga-bunga kopi kiriman dari Aryani tak pernah disentuhnya meski menginginkannya. Bi Ipah menyimpannya di atas meja dekat pintu kamar Surya agar tuannya masih bisa menghirup wanginya.
Jalan Braga kembali menjadi pelarian kehampaan hati pemuda yang telah menginjak usia dewasa itu. Kedai kopi Djawa dipilih Surya untuk sekadar melepas kegundahan hatinya ditemani Mang Sarmin.
“Mang, pernah rindu dengan dengan Bi Ipah dulu sewaktu diajak almarhum bapakku ke luar kota berminggu-minggu?”
Mang Sarmin kebingungan dengan pertanyaan tuannya. Seingatnya, justru Bi Ipah yang sering rindu padanya, setiap kali kembali ke rumah, Bi Ipah menghadiahinya pijitan mesra di kakinya. Mang Sarmin tersenyum malu-malu menjawab pertanyaan tuannya.
Dari arah pintu masuk, sekelebatan terlihat Ariana, Dada Surya mendesir, dan benar saja perempuan itu memasuki ruangan itu. Ariana kaget saat beradu pandang di ruangan kafe yang tak terlalu luas itu. Pandangan penuh hara pada lelaki yang pernah memujanya. Ariana duduk mendekati Surya, lalu dduduk di dekatnya, namun Surya mengalihkan pandangan kea rah lain. Sementara Mang Sarmin meninggalkan ruangan itu.
Ariana menanyakan kabar dan sedikit percakapan basa-basi. Surya menanggapinya dingin. Tapi bukan Ariana yang pandai membuat suasana cair, hingga obrolannya dengan Surya mulai mencair. Perempuan cantik tinggi semampai dan berdandan modis itu bercerita memilih berpisah dengan suaminya. Kini ia memilih kembali ke Bandung, kota kelahirannya dan baru beberapa bulan membuka butik. Dari obrolan sore itu, Ariana tahu Surya kini berada di Pangalengan.
Pagi itu di kebun kopi, semarak dengan buahnya berwarna merah. Beberapa orang sedang memetik buah kopi. Surya berjalan diantara pepohonnya, tiba-tiba ada tangan halus yang menyentuh pundaknya. Dadanya berdekup kencang, berharap itu tangan Aryani.
“Sekarang kamu pengusaha sukses ya.”
Ucap Ariana dengan manja, tentu saja kedatangannya tak diharapkan Surya. Mata-mata pemetik kopi tertuju pada tuannya. Surya segera melangkah meninggalkan kebun kopi, dibuntuti Ariana.
Tepat pukul Sembilan Surya tiba di halaman rumahnya, berpapasan dengan Aryani yang tampak kaget dan yang segera bergegas meninggalkanya.
“Siapa perempuan itu?” sorot mata Ariana mendelik pada Aryani lalu memburu jawaban Surya.
Surya tak menjawab, ia segera memasuki rumahnya, diliriknya bunga-bunga kopi di meja teras. Masih segar, segera diraihnya , diam-diam rasa rindu membauinya.
Lelaki itu bergegas memanggil Mang Sarmin untuk bersiap mengantarkannya ke suatu tempat dan mobil pun melaju meninggalkan halaman. Sementara Ariana memandangi mobil hitam yang membawa Surya, hatinya bergemuruh, mukanya merah padam, ,jari-jemarinya terkepal.
“Mang, tolong tinggalkan saya sendiri di sini!”
Mang Sarmin mengangguk tak banyak bicara saat tuannya meminta menghentikan mobil dan meninggalkannya di suatu perkebunan sayuran. Surya berdiri mematung mengamati petani-petani yang sedang sibuk memanen kentang. Kicauan burung memeriahkan semesta, angin sepoi-sepoi menerpa tubuhnya. tapi mukanya memerah, dadanya bergemuruh. Ia ingin berteriak sekerasnya, kekacauan dengan kehadiran Ariana akan kembali mengusik hidupnya, padahal masalah dengan Aryani pun belum tuntas, atau harus diakhiri begitu saja?
Netranya tertaut pada sesosok yang dikenalnya. Surya segera beranjak dengan tergesa ke arah petani-petani. Sesampainya di sana tak dilihatnya sosok yang ia cari. Beberapa pasang mata menatapnya , mungkin mereka bertanya-tanya hendak apa juragan kebun kopi mendekati mereka
Segera Surya angkat kaki menghindari semakin banyak lagi tatapan mata. Langkahnya terhenti ketika terdengar suara lembut memanggilnya perlahan. Dengan ragu ia menolah ke arah suara itu. Sosok yang ia cari kini ada di hadapannya, Aryani.
Ketika netra mereka saling terpaut, Aryani menunduk. “Apa kabar?” Surya berusaha mencairkan suasana. Aryani hanya menjawab pendek, “Baik”. Kembali hening, rinai luruh membelit keheningan kembali.
“Maaf saya harus segera pulang, permisi.”
“Boleh berkunjung?” Keraguan Surya tak bisa disembunyikan.
Aryani tak menjawab, ia segera meninggalkan Surya. Ratusan langkah ia tempuh hingga sampai di rumahnya. Diseduhnya bunga kopi. Ia menyeruput perlahan, hatinya mulai tenang, sebetulnya ia ingin mencairkan suasana saat bertemu dengan Surya, tapi ia harus menerima kenyataan, ternyata semuanya tak sesuai perkiraanya. Lebih baik ia menghindar saja.
Pagi itu Aryani telah mengemas beberapa helai pakaiannya, untuk beberapa hari selama berada di rumah orang tuanya di Bandung. Membayangkan dekapan hangat ibunya akan memulihkan hatinya. Lamunanya serentak buyar. Suara mobil mendekati halaman, padahal mobil yang akan mengantarkannya ke Bandung telah mengabarkan akan terlambat datang.
Suara ketukan pintu memecah keheningan. Surya telah berada di depan pintu. Aryani berusaha mengendalikan diri.
“Boleh masuk?”
“Maaf di teras saja.” mereka pun duduk dalam keheningan.
“Maukah engkau memberikan segenggam bunga kopi lagi?.” Surya menatap lekat Aryani yang merona pipinya.
Tak lama kemudian, mereka menikmati secangkir teh bunga kopi yang menghangatkan suasana pagi di Pangalengan.
Ikuti tulisan menarik Tety Aprilia lainnya di sini.