x

KPU

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 10 Januari 2022 09:37 WIB

Mampukah KPU Mandiri?

Apabila KPU dan Bawaslu tidak mampu menahan intervensi pihak manapun, termasuk pihak-pihak di luar pemerintah dan partai politik beserta elitenya, maka apa yang disebut pesta demokrasi itu mungkin saja akan berubah menjadi pesta oligarki.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sebanyak 14 calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan 10 calon anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) baru saja ditetapkan oleh Tim Seleksi. Selanjutnya, nama calon-calon itu diserahkan kepada Presiden Jokowi untuk kemudian diseleksi di DPR. Koalisi sipil memberi catatan pada proses wawancara pemilihan calon anggota, misalnya kurangnya pendalaman mengenai hal-hal yang bersifat krusial, seperti pemutakhiran data pemilih. Juga kesan adanya kecondongan tim seleksi pada calon-calon tertentu.

Siapapun nanti yang dipilih DPR, satu hal yang menjadi harapan rakyat, yaitu agar anggota KPU dan Bawaslu terpilih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara serta menghindari untuk mengakomodasi kepentingan politik partisan—baik yang datang dari pemerintah, partai politik, maupun pihak lain. Walaupun juga perlu diingat, tahap uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR pun tidak akan dapat lepas sepenuhnya dari pertimbagan-pertimbangan politis. Mereka, anggota DPR yang jadi penyambung lidah partai peserta pemilu, menjadi penentu siapa yang akan jadi wasit pemilu tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tugas yang akan dijalani KPU maupun Bawaslu nanti memang lebih berat, sebab pemilihan umum akan berjalan serentak pada tahun yang sama, 2024. Secara teknis, banyak pekerjaan yang mesti disiapkan, dipantau, dievaluasi, hingga dilaksanakan pada hari-H pemilihan, bahkan hingga minggu dan bulan setelah pemungutan suara. Becermin dari pengalaman penyelenggaraan pilpres dan pileg 2019, KPU dan Bawaslu nanti harus mampu memperkecil terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, termasuk tekanan yang dialami petugas lapangan karena padatnya jadwal.

Secara individual maupun kelembagaan, KPU maupun Bawaslu harus mampu menempatkan diri sebagai panitia kompetisi sekaligus wasit yang adil, jujur, dan amanah, dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok dan partai politik. Apabila para anggota KPU dan Bawaslu gagal menjalankan peran dengan amanah serta condong kepada pihak tertentu—baik pemerintah atau/maupun partai politik—maka legitimasi pemilihan presiden dan legislatif, serta pilkada, akan menurun.

Posisi KPU dan Bawaslu jelas strategis, dan justru karena nilai strategisnya itu para anggota kedua institusi ini mesti mampu bertindak sebagai penyelenggara dan wasit yang terhormat. Dalam pengertian, mereka mampu menjalankan amanah konstitusi yang proses serta hasilnya memengaruhi nasib negeri ini secara jujur dan adil, baik terkait proses maupun hasil. Pengaruh penyelenggaraan pemilu ini bukan hanya memengaruhi nasib negeri dalam lima tahun berikutnya, tapi juga masa-masa sesudahnya: pemilihan demokratis macam apa yang diwariskan untuk generasi mendatang.

Penyelenggaraan pilpres, pilkada, maupun pileg bukanlah sekedar untuk memilih siapa yang jadi presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR/D dan DPD, tapi juga menjadi ujian kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Karena itu, proses sama pentingnya dengan hasil, sebab dari proseslah kita dapat mengukur apakah demokrasi kita berjalan maju menuju kematangannya atau malah mundur lantaran panitia dan wasitnya tidak amanah, jujur, dan adil. Begitu pula, apakah pihak-pihak yang berkepentingan melakukan intervensi yang memberi tekanan besar kepada KPU dan Bawaslu, serta majelis hakim yang akan menangani perkara pemilu.

Setiap momen pemilihan presiden, legislatif, kepala daerah bukan hanya memengaruhi periode kepemimpinan mereka lima tahun berikutnya, tapi juga memengaruhi jalannya bangsa ini di masa-masa kemudian. Apabila pemimpin terpilih bukan orang yang mampu mengemban amanah, baik dari segi karakter dan integritas maupun kapasitas dan kapabilitas, maka ia sangat mungkin akan mewariskan negara yang berpotensi jadi beban bagi generasi berikutnya.

Apa yang kerap disebut sebagai pesta demokrasi itu dapat berujung menyedihkan apabila proses persiapannya (termasuk aturan main), penyelenggaraannya, hingga hasilnya tidak mencerminkan kehendak rakyat banyak. Apabila KPU dan Bawaslu tidak mampu menahan intervensi pihak manapun, termasuk pihak-pihak di luar pemerintah dan partai politik beserta elitenya, maka apa yang disebut pesta demokrasi itu mungkin saja akan berubah menjadi pesta oligarki. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler