Mengapa Harus Nusantara?

Senin, 31 Januari 2022 09:29 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemberian nama Nusantara untuk ibu kota RI yang baru telah menimbulkan kontroversi. Mengapa harus dinamai Nusantara?

Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi nama Ibukota RI yang baru Nusantara tak ayal memancing banyak reaksi dan kontroversi. Betapa tidak, Nusantara adalah istilah yang sudah dikenal lama, yang berarti kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Belum lagi, seperti kata Fadli Zon, ada pula istilah Wawasan Nusantara, yang menurut Wikipedia adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan wilayah Negara Republik Indonesia yang meliputi darat, laut, dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Dengan adanya ibu kota RI yang Bernama Nusantara, maka itilah Wawasan Nusantara bisa jadi ambigius.

Tak bisa dinafikan bahwa nama Nusantara untuk ibukota RI tentu saja akan menimbulkan tumpang tindih istilah yang bisa membingungkan, dan membutuhkan penjelasan lebih lanjut, sehingga menghambat efektifitas berbahasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ke depan, ketika seseorang mengatakan “Di Wilayah Nusantara,” boleh jadi akan timbul pertanyaan, Nusantara yang mana?

Nama Nusantara saja tanpa diberi keterangan tambahan memang bisa membingungkan. Sama membingungkannya dengan nama Bengkulu sebagai wilayah provinsi dan sebagai nama sebuah kota yang merupakan ibu kota provinsi tersebut. Untuk menghindari kebingungan seperti inilah, mungkin, nama ibu kota AS, Washington, ditambahi keterangan DC (District of Columbia) supaya tidak keliru dengan nama Washington sebagai negara bagian. Tapi nama ibu kota Indonesia yang baru ini tampaknya tidak, atau belum ditambahi keterangan apa-apa.

Di samping itu, bagi pihak yang berseberangan dengan Pemerintah Jokowi, nama Nusantara telah langsung dijadikan objek gorengan untuk membuat keruh suasana, karena Nusantara juga merujuk pada nama seorang pentolan PKI yang banyak dituding sebagai otak dari huru hara tahun 1965, yaitu Dipa Nusantara, alias Aidit.

Mereka mengasosiasikan nama ibu kota Indonesia yang baru ini dengan PKI, atau menganggapnya sebagai terinspirasi dari PKI, yang secara tidak langsung menuduh Jokowi, si pemberi nama ini, sebagai penggemar PKI, atau mempunyai hubungan nostalgia dengan PKI, sehingga perlu mengabadikan nama tokoh komunis tersebut menjadi nama ibu kota.

Pandangan tersebut tentu keliru mengingat istilah Nusantara itu sudah ada jauh sebelum Aidit menggunakannya sebagai nama dirinya, atau dengan kata lain, istilah Nusantara ini bukanlah ciptaan Aidit. Namun, para penentang Jokowi tentu saja berpura-pura tidak tahu, dan memanfaatkan hal ini sebagai moment untuk menyalah-nyalahkan Pemerintahan Jokowi.

Mungkin, apapun nama yang diberikan pada ibu kota RI yang baru nanti, kontroversi akan tetap ada, apalagi dari pihak oposisi. Selalu akan ada pandangani negatif dari orang yang tidak setuju, tetapi nama Nusantara ini sungguh membuat kontroversi itu semakin seksi, bahkan bagi pihak yang pro pemerintah sekali pun.

Apalagi jika Jokowi memberi nama ibu kota baru ini dengan namanya sendiri, seperti yang diusulkan oleh Fadli Zon, pasti akan timbul kontroversi dan polemik yang jauh lebih seru lagi, yang mungkin tak akan pernah selesai.

Wacana yang beredar di media sosial sering kali menautkan istilah ibu kota negara (IKN) dengan nama ibu kota RI yang baru ini, sehingga timbul embel-embel IKN di depan nama Nusantara. Berbagai media sosial menyebut nama ibu kota RI yang baru ini sebagai IKN Nusantara. Entah istilah IKN ini sudah dijadikan bagian dari nama ibu kota yang baru ini atau tidak, belum ada keterangan apa-apa dari Pemerintah. Tapi sejauh yang saya ketahui, Jokowi memberi nama ibu kota RI yang baru ini Nusantara saja, bukan IKN Nusantara.

Namun, jika embel-embel IKN tersebut sudah resmi menjadi bagian dari nama ibu kota baru ini, tentu ini merupakan sebuah keputusan tepat, karena nama Nusantara saja, tanpa embel-embel apapun bukanlah pilihan yang bijaksana.

Senada dengan ini, salah seorang rektor perguruan tinggi di Kalimantan pernah mengusulkan melalui status Facebook-nya tentang perlunya memberi embel-embel lain di depan nama Nusantara, misalnya Teras Nusantara, atau Gerbang Nusantara, agar beda dengan Nusantara sebagai sebutan untuk gugusan kepulauan, sebagai keseluruhan wilayah Indonesia, supaya tidak timbul kekeliruan nantinya.

Usulan ini tentu saja tepat dan masuk akal. Harus ada nama atau embel-embel lain yang dilekatkan pada nama Nusantara.

IKN Nusantara, Teras Nusantara, atau Gerbang Nusantara tentu akan lebih baik dan berterima dibandingkan hanya Nusantara saja.

Atau, mengapa tidak menggunakan nama wilayah setempat saja? Menggunakan nama wilayah di mana ibu kota baru itu berada akan lebih baik kiranya dibandingkan menggunakan nama Nusantara saja.

Mengingat ibu kota yang baru ini berada di wilayah Penajam Paser Utara, kenapa tidak diberi nama Penajam Paser Utara saja, atau Penajam saja, atau Jampera sebagai singkatan dari Penajam Paser Utara. Nama ibu kota yang menggunakan nama wilayah saja seperti ini akan menimbulkan kehormatan dan kebanggaan pada masyarakat setempat sebagai pemilik wilayah.

Sebuah nama tentu bukan tidak berarti apa-apa. Pasti ada makna yang ingin diproyeksikan oleh si pemberi nama ketika dia memberi nama sesuatu.

Dan adalah terserah si pemberi nama apakah dia mau memberi nama yang netral saja, atau nama yang penuh kontroversi. Kalau mau netral, tentu nama daerah adalah pilihan yang paling tepat.***

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler