Pandemi Covid-19 menjadi pengukur kewarasan kebijakan pendidikan.
Jika ditemukan kegagapan teknologi untuk PJJ di banyak tempat, ya, itulah kita.
Pembangunan infrastruktur belajar kalah dengan pengadaan tol, bandara dan kereta cepat.
Daerah terpelosok, terluar, dan terdepan belum terjangkau sinyal telekomunikasi.
Jawa penuh dengan gadget dan kabel internet.
Pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Papua masih terbata-bata taaruf dengan komputer.
Kalau Jawa familiar dengan e-book, mereka justru masih perlu berkenalan dengan buku cetak yang juga terbatas.
Kalau Jawa sudah memasuki Merdeka Belajar, mereka sedang berjuang mengeja makna kemerdekaan meski kita sudah 76 tahun tuanya.
Mau bagaimana lagi. Mengeluh akan semakin menderaskan kekecewaan.
Di belahan dunia lain, manusia sudah bergumul dengan kecerdasan buatan dalam wifi yang tersebar di mana-mana.
Di +62, masih begini. Wajarlah kalau bukit algoritma terlalu muluk-muluk.
Saat wabah datang, negeri-negeri asing itu sigap beradaptasi, belajar melalui layar dengan tenang.
Kita kebalikannya. Naik pohon di hutan menggapai sinyal. Kalau jatuh, tamat riwayat.
Tidak punya hp, jual diri, demi mengejar belajar.
Tidak punya hp, mencuri, demi mengejar belajar.
Tidak punya hp, ah tamat.
Sial sekali, Aku di kota, berfasilitas, tidak peduli. Dan Aku tidak satu, Aku banyak. Aku memakai kacamata kuda. Pemerintahku adalah penunggang kuda.
Ikuti tulisan menarik Bintang A. L. lainnya di sini.