x

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Jumat, 11 Februari 2022 12:32 WIB

Desentralisasi Kekuasaan dan Pelipatgandaan Situs Korupsi

Ada anomali desentralisasi kekuasaan dan pembentukan situs korupsi di daerah melalui proses politik (pilkada). Orientasi politik lokal dan desentralisasi semakin bergeser jauh bersamaan melonjaknya kasus korupsi kepala daerah. Tercatat sudah 429 kepala daerah hasil Pilkada yang dicokok KPK. Desentralisasi tampaknya memiliki kelemahannya sendiri. Sebenarnya hubungan kekuasaan seperti apa yang menyokong praktik suap begitu massif dilingkaran kekuasaan kepala daerah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasca jatuhnya Presiden Soeharto, era reformasi dimaknai sebagai transisi dari kekuasaan yang otoriter menuju kekuasaan yang demokratis. Sebagai akibat dari transformasi ini maka diberlakukannya reformasi kekuasaan dari sentralistik ke desentralisasi, (Halim, 2018: 26).

Desentralisasi memiliki hubungan erat dengan demokrasi. Menurut Smit, desentralisasi dan demokrasi memiliki keterkaitan yang erat. Dimana, semakin besar desentralisasi yang diberikan maka negara semakin dekat dengan warganya dan partisipasi masyarakat semakin kuat. Tidak kalah penting adalah semakin terdesentralisasi sistem kekuasaan, maka semakin terbuka lebar peluang distribusi kekuasaan yang merata dalam komunitas. Artinya, semakin demokratis suatu pemerintahan, maka distribusi kekuasaan dalam proses desentralisasi pun kian terbuka. Sebab kekuasaan tidak menjadi monopoli atau terkonsentrasi pada pada lingkaran elit semata, melainkan terbagi secara seimbang dengan masyarakat (Halim, 2018: 26).

Secara regulasi, konsep dan pelaksanaan desentralisasi diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, (sekarang menjadi UU Nomor 9 Tahun 2015) Tentang Pemerintahan Daerah, bahwa prinsip demokrasi menjadi salah satu pertimbangan dalam pembentukan undang-undang tersebut (Halim, 2018: 26). Dalam perkembangan lebih lanjut, Undang-undang pemerintahan daerah mengkonstruksikan pelaksanaan otonomi daerah yang demokratis dalam bentuk penyelenggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hidaya (2007) memandang bahwa otonomi daerah dan politik desentralisasi telah membawa perubahan signifikan dalam pengisian jabatan publik dan semangat desentralisasi telah mendorong proses demokratisasi di tingkat lokal. Gagasan sistem politik desentralisasi telah melahirkan keyakinan akan perlunya demokrasi sebagai karakteristik pemerintahan daerah, dan daerah merupakan bagian dari proses demokratisasi dengan mengakomodasi prinsip-prinsip partisipasi dan representasi rakyat (Hidayat: 2007). Karena itu, penyelenggaraan desentralisasi selain merupakan konsekuensi dari transisi demokrasi, desentralisasi juga dituntut secara maksimal dapat memperkecil potensi korupsi di daerah. Hal ini penting agar desentralisasi tidak kembali terjebak dalam pusaran korupsi seperti halnya pemerintahan sentralistik Orba.

Sebab, desentralisasi memiliki kelemahan dalam dirinya yang, manakala dibiarkan justru membahayakan. Tidak saja bahaya bagi tatanan sosial ekonomi dan politik, jauh daripada itu, seperti diakatakan oleh Hadis (2004) dan Robison (2010), salah satu dampak desentralisasi adalah “alih-alih melenyapkan korupsi, sebaliknya malah memindahkan lokus perilaku predatoris ke bawah, yaitu dari agen-agen di pusat ke agen-agen di daerah, yang memungkinkan terjadinya pelipatgandaan situs-situs korupsi dan pembuat kesepakatan yang informal”.

Pemindahan lokus perilaku predatoris tersebut semakin terbukti ketika KPK merilis sejumlah kasus korupsi kepala daerah di Indonesia pada maret 2021. Berdasarkan data tersebut KPK menyebut terdapat 25 provinsi dengan tingkat korupsi kepala daerah terbanyak dari tahun 2004-2021.  Menurut lembaga antirasua itu provinsi dengan kasus korupsi kepala daerah terbanyak adalah Jawa Barat dengan julah kepala daerah korup sebanyak 19 orang, disusul Jawa Timur 14 kasus, Sumatera Utara 12 kasus, Jawa Tengah 10 kasus dan Sematera Selatan 7 kasus.

Sementara untuk jumlah keseluruhan kasus korupsi kepala daerah di tanah air, wakil ketua KPK, Nurul Gufron, mengatakan jumlah kepala daerah hasil pilkada yang tertangkap karena korupsi sebanya 429 orang. Jika ditambahkan tiga kasus terbaru maka total kasus korupsi kepala daerah sejak 2004- awal januari 2022 mencapai 432 orang. Ini mendekati jumlah total kabupaten/kota se tanah air yakni 514 kota/kabupaten.

Kondisi di atas mempertegas posisi elit informal dalam mengintervensi proses pilkada begitu kuat, bahkan mereka dapat memainkan peran seperti disebut oleh Hidayat, 2007, bahwa para elit informal dapat berinvestasi politik selama proses pilkada berlangsung, disamping mereka juga mempunyai investasi ekonomi. Akibatnya, demokrasi di daerah berlangsung elitis dan kekuasaan hanya terpusat pada segelintir elit saja, termasuk pembajakan sumberdaya publik dengan cara korupsi kian massif, (Halim, 2018: 61).

Pada konteks ini, fenomena money politic, biaya politik tinggi hingga sokongan dana dari pihak swasta terhadap para politisi pada saat perhelatan demokrasi elektoral digelar hingga kasus OTT kepala daerah oleh KPK setiap tahunnya, adalah sejumlah fakta bagaimana praktik demokrasi tidak sedang ditujukan untuk menegasikan korupsi, sebaliknya demokrasi sebagai sebuah sistem politik justru dipraktikkan secara monopoli oleh segelintir penguasa dan pada akhirnya kembali tercederai oleh patologi korupsi.

 

Dari Ijon Ke Praktik Suap.

Pada awal Januari lalu KPK dikabarkan kembali meringkus tiga kepala daerah dalam perkara korupsi. Ketiga kepala daerah itu diantaranya adalah Walikota Bekasi, Rahmat Efendi, Bupati Penajam Paser Utara, Abdul Gofur Mas’ud dan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin. Masing-masing dari para politisi korup ini menerima suap dari sejumlah pihak, baik dari sektor swasta maupun ASN. Dari Pihak swasta, suap tersebut berkaitan denga lelang proyek pengadaan dan perizinan, sementara suap dari para ASN berkaitan dengan lelang jabatan.

Kasus di atas memperlihatkan suap sebagai modus dominan dalam perkara korupsi yang melibatkan para politisi di daerah. Selain itu, ketiga kasus diatas memiliki kesamaan dengan sejumlah perkara korupsi kepala daerah sebelumnya yang diputuskan oleh lembaga peradilan. Kesamaan itu terletak pada relasi kekuasaan, modus yang digunakan, sektor yang dikorupsi dan actor yang terlibat. Perihal modus, kebanyakan dari para tersangka dan terpidan korupsi melakukan praktik suap menyuap. Sementara sektor yang rentan terhadap praktik suap adalah pengadaan barang dan jasa, perizinan dan lelang jabatan.

Sebagai contoh, ketiga kasus di atas memiliki kesamaan dengan kasus korupsi mantan walikota Batu tentang suap pengadaan barang dan jasa dan perizinan tahun 2017 dan suap pengadaan barang dan jasa mantan Bupati Kabupaten Malang tahun 2019 lalu. Dari pihak pemberi suap, dalam fakta persidangan dan putusan pengadilan tipikor Jatim menyebut masing-masing dari mereka menerima suap dari para pengusaha. Edy Rumpoko menerima suap dari kontraktor atas kontrak pengadaan yang dikerjakan di lingkungan pemerintahan kota Batu, demikian juga Rendra Kresna yang menerima suap dari sejumlah proyek, dan yang paling fenomenal adalah pembancakan dana alokasi Khusus Pendidikan selama kurang lebih delapan tahun (2011-2018).

Sementara tujuan dari setiap praktik suap sangat beragam dan bergantung pada apa kepentingan yang melatarinya.  Secara umum, berdasarkan sebuah kesepakatan, tujuan atas setiap perbuatan suap terbagai dalam empat bentuk: Pertama, suap dilakukan untuk memperoleh keuntungan langka atau menghindari biaya; Kedua, suap dilakukan untuk mendapatkan keuntungan tidak langka tetapi membutuhkan kebijakan yang harus diputuskan oleh pejabat publik; Ketiga, suap diberikan bukan untuk mendapatkan keuntungan tertentu dari publik melainkan guna memperoleh layanan yang mendukung keuntungannya; dan terakhir, suap dilakukan untuk mencegah pihak lain mendapatkan keuntungan atau membebankan biaya kepada pihak lain.

Meski begitu, suap tidak terjadi secara serta merta, sebaliknya suap menjadi keharusan dari hubungan kekuasaan koruptif yang telah disepakati sebelumnya yakni pada saat menjelang pilkada. Pada titik ini, Pilkada pada satu sisi dipahami sebagai sebuah mekanisme formal pergantian kekuasaan secara demokratis, secara bersamaan juga merupakan momentum konsolidasi para elit penguasa.

Dengan kata lain, pilkada tidak semata-mata digelar dengan tujuan agar para calon terpilih memperjuangkan kepentingan rakyat daerah, tetapi juga menjadi arena perebutan kekuasaan segelintir penguasa melalui beragam praktik. Salah satu praktik yang lazim dijumpai dalam setiap perhelatan politik di daerah adalah terbentuknya aliansi politik-bisnis diantara para kandidat dengan sejumlah pengusaha. Sementara tujuan dari pembentukan aliansi ini adalah untuk mengakumulasi keuntungan melalui hubungan transaksional yang dalam kamus politik dikenal dengan ijon politik.

Mengutip pendapat Denny Indrayana, Guru besar FH UGM mengatakan bahwa politik ijon merupakan jurang bagi calon yang maju sebagai pemimpin. Karena dengan adanya perjanjian tersebut si pemberi bantuan akan mengharapkan imbalan atau balasan. Apabila sudah naik menjadi pemimpin, maka seorang calon terpilih tentu akan memenuhi janji yang telah disepakati. Biasanya, ijon politik terjadi antara pengusaha dengan para calon, dengan harapan adanya jaminan keberlangsungan bisnis para penyandang dana, mulai dari kelancaran perizinan, jaminan politik dan keamanan.

Maka tidak mengherankan manakala banyak dari para kepala daerah hasil pilkada justrus bertindak mewakili kepentingan aliansi kekuasaannya ketimbang benar-benar memenuhi tuntutan rakyat. Melalui hubungan ijon politik ini, para politisi dan birokrat dengan kekuasaannya memonopoli program, kebijakan dan layanan administrasi untuk melayani bisnis para pengusaha, sementara politisi-birokrat akan menerima keuntungan melalui ragam cara, suap menjadi salah satu modus operandi yang paling dominan.

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB