Semua manusia sama dihadapan hukum. Tetapi, apakah hukuman bagi pelanggaran yang sama juga sama? Saya setuju dengan penegakan hukum bagi pelanggar tata tertib. Tetapi ketika pelanggar adalah penegak hukum, apa juga akan ditertibkan? Tetapi ketika pelanggar termasuk kalangan pembuat hukum, apa juga akan ditertibkan? Apakah kata pengecualian benar-benar hidup dalam dunia hukum? Kemarin saya yakin bahwa kata pengecualian hanya dongeng saja. Sekarang saya masih berusaha tidak yakin bahwa hal itu nyata meski tak semua mata bisa mengindera.

Selain aparat, pengusaha dan penguasa, jangan lupa kalau negeri ini juga berisi rakyat jelata.
Rakyat yang jelata ini, yang miskin kendali ini, yang fakir koneksi ini, akan selalu percaya pada negara. Kami setia pada tata tertib, buktinya kami ridha ketika terjerat hukum, padahal kesalahan kami adalah rupa dari perekayasaan para penjahat yang betulan direkayasa para pihak adikuasa. 

Kenapa kami berdalil itu bentuk rekayasa? Kami terpaksa mencuri karena lapar. Kami terpaksa memakan hasil curian itu bersama anak istri yang lapar. Kami terpaksa bersyukur bisa makan setelah lapar meski sadar bahwa rasa kenyang ini tanpa disertai kebahagiaan.

Pasti kalian menilai kami sebagai manusia malas. Kami Ikhlas. Kami sebetulnya bekerja, entah dengan menjual karya atau menjajakan jasa, terkadang laku, seringnya tidak. Dunia bilang, karya dan jasa kami kalah saingan di pasar. Kami kemudian bercanda pada dunia, "Kenapa ada persaingan di pasar?" Kalau begitu terus, kami akan mati sebelum bersaing, sebab hanya yang punya kuasa dan dukungan yang selalu dimenangkan. "Lho kok kamu baper?, Ya kan tinggal gantian lawan dengan mencari kuasa dan dukungan lebih besar." Kami rakyat jelata, berdosa kalau bersikap begitu.

Gitu.

Ikuti tulisan menarik Bintang A. L. lainnya di sini.