x

Iklan

Ancha Makkawali

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Februari 2022

Senin, 14 Februari 2022 15:19 WIB

Literasi dalam Konsep Terpaksa Menjadi Biasa

Tulisan ini ditujukan untuk membahas terkait budaya literasi kepada masyarakat khususnya para mahasiswa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Chermansyah

Kata literasi bukanlah sesuatu hal yang baru, hal yang tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Berkaitan dengan literasi diperlukan konsep ideal untuk membentuk karakter positif bagi masyarakat luas, khususnya para mahasiswa. 

Literasi adalah suatu kemampuan untuk meningkatkan minat baca, menulis, dan berbahasa. Namun hal tersebut masih sangat minim dilakukan para generasi muda, terlebih kalangan mahasiswa. Budaya literasi yang seharusnya ditingkatkan, justru masih belum dilakukan secara optimal. Namun dilain sisi, tanpa disadari literasi telah melekat dalam aktifitas akademik mahasiswa selama perkuliahan. Salah satunya adalah aktifitas membaca buku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Membaca buku merupakan aktifitas yang mempunyai segudang manfaat. Karena dengan membaca buku selain menambah wawasan dan pengetahun, juga meningkatkan dan memotivasi seseorang agar dapat terlatih menuliskan sesuatu kepada khalayak. Selain itu, juga untuk meningkatkan kemampuan berbahasa agar dapat beretorika dan berargumentasi secara baik dan benar. Dalam hal ini, tentunya buku memiliki peran penting meningkatkan budaya literasi. Buku merupakan sumber pengetahuan untuk menambah wawasan dan membuat pikiran menjadi lebih terbuka menyikapi sesuatu.

Membaca buku dapat menjadikan seseorang mengetahui dan memahami segala sesuatu yang ingin ditelusurinya. Sebagaimana dalam sebuah pribahasa mengatakan jika ingin dikenal dunia maka menulislah, dan jika ingin mengenal dunia maka membacalah. Buku merupakan jendela dunia, karena dengan membaca buku kita dapat mengetahui banyak hal yang terjadi di belahan dunia lain. Selain itu, wawasan dan pengetahuan juga akan semakin bertambah, sehingga ketika memahami sesuatu tidak hanya memandang dari satu sisi, melainkan juga dapat meilhat dari sisi yang lain. 

Pada prinsipnya membaca buku dapat memberikan banyak inspirasi dan motivasi bagi seseorang, dan dapat memberikan energi positif. Menurunnya budaya literasi di kalangan masyarakat terlebih di kalangan mahasiswa disebabkan banyaknya faktor, salah satu diantaranya, karena masyarakat dan mahasiswa lebih senang menggunakan smartphone.

Segala aktifitas tidak terlepas dengan penggunaan smartphone sebagai media digital. Namun yang sangat disayangkan, menggunakan smartphone yang seharusnya dapat membantu kehidupan sehari-hari, justru kerap disalahgunakan. Misalnya, orang lebih senang menggunakan untuk bermain game atau keperluan lainnya yang tidak positif.

Selain itu, faktor lain yang membuat mahasiswa tidak tertarik membaca buku. Misalnya, kamalasan dan kurangnya motivasi. Bahkan jikalaupun dilakukan membaca buku, mereka mudah bosan. Bahkan sebagian mahasiswa ada juga yang menganggap membaca buku hanyalah sebuah keterpaksaan. Hanya, sebuah kebutuhan sesaat untuk menunjang “sistem kebut semalam” ketika tugas dan ujian datang menghampiri.

Rasa malas tersebut sebenarnya dapat ditepis dengan berbagai cara, salah satunya menanamkan niat kuat, dan perlahan-lahan melawan rasa malas tersebut dengan keluar dari zona nyaman. Orang dapat memaksakan diri berlama-lama bermain gadget serta memaksakan diri membaca buku. 

Membiasakan diri membaca buku tidaklah mudah untuk dilakukan. Selain waktu luang, juga dibutuhkan pikiran dan tenaga. Dan tentunya membaca buku juga dapat ditanamkan sejak dini. Ini dapat dibiasakan mulai sejak masih anak-anak agar terhindar dari kemalasan dan ketidaktahuan.

Mayoritas masyarakat khususnya mahasiswa lebih senang menghabiskan waktu luangnya dengan bermain gadget dibandingkan dengan membaca buku. Bahkan ketika diamati sering terlihat sekelompok anak muda di sebuah warung kopi atau cafe lebih banyak menggunakan waktu luangnya dengan bermain game online dan bersosial media dibandingkan dengan berdiskusi dengan sahabatnya. Seakan-akan para kaum intelektual muda sekarang sedang “direnggut” oleh "romantisme" perkembangan teknologi informasi digital.

Untuk membentuk sebuah perubahan, juga terkadang diperlukan sebuah keterpaksaan untuk membiasakan seseorang meninggalkan rasa malas. Namun ada anggapan lain bahwa orang yang melakukan sesuatu dengan terpaksa atau dipaksakan maka hasilnya akan kurang baik.

Sehingga berkaitan dengan hal tersebut, penulis lebih ingin menekankan bagaimana rasa malas membaca buku dapat diatasi dengan cara keterpaksaan, yang pada awalnya terpaksa lama kelamaan bisa jadi terbiasa. Karena dengan memaksakan diri untuk sering membaca buku maka secara lambat laun akan terbentuk sebuah kebiasaan. Tidak semua hal yang sifatnya terpaksa akan berujung pada suatu hal yang negatif, meliankan juga dapat menunjang untuk menjadi suatu hal yang positif. Tidak selamanya kata terpaksa memiliki makna yang buruk, karena terkadang sebuah paksaan juga sangat dibutuhkan dari dalam diri agar tidak terlena dengan kemalasan.

Rasa malas untuk meningkatkan budaya literasi khusunya membaca, dapat dibangun melalui berbagai aspek kegiatan pembiasaan, mulai dari lingkungan kampus, lingkungan tempat tinggal, maupun di tempat-tempat umum lainnya, misalnya warung kopi ataupun kafe. Untuk meningkatkan budaya literasi dengan membaca buku, perlu didukung dengan mengatur waktunya dengan baik, sehingga dalam aktifitas sehari minimal dapat menyisihkan waktu untuk membaca. Jika diibaratkan layaknya seperti meminum obat sesuai resep dokter yaitu 3 (tiga) kali sehari, karena ketika diminum sesuai resep dokter maka menghilangkan penyakit dan membuat yang meminumnya menjadi pulih dan sehat, akan tetapi jika tidak diminum sesuai resep dokter maka penyakit akan semakin parah dan kesehatan juga tidak akan berangsur menjadi lebih baik. Demikian pula halnya ketika budaya membaca buku menjadi pupus maka pengatahuan seseorang pun akan semakin tertinggal.  

Mahasiswa yang notabene memiliki rutinitas dalam dunia akademik, tentunya memiliki banyak waktu untuk membaca berbagai literatur ketika diiringi dengan niat yang kuat, akan tetapi waktu luang tersebut sering tidak dimanfatkan dan tidak digunakan dengan baik, waktu luang justru sering terbuang secara percuma, sehingga aktifitas membaca buku sering diabaikan atau ditunda-tunda dengan berbagai macam persepsi, seperti muncul kata “nanti saja atau nanti dulu”.

Apabila dalam rutinitas sehari-hari tidak mampu untuk membaca buku, maka bisa saja memulai untuk melatih diri dengan membaca buku 3 kali dalam sepekan, tergantung bagaimana mahasiswa mampu untuk mengatur waktunya, dan yang terpenting untuk menjadi tujuan utama bahwa bagaimana mahasiswa mampu mengatasi rasa malas tersebut sekalipun harus diawali dengan sebuah keterpaksaan dan akan pada akhirnya akan menjadi terbiasa.

Di lain sisi, adapula sebagian mahasiswa yang memiliki persepsi bahwa mereka tidak memiliki waktu untuk membaca buku, namun pada realitasnya bukanlah persoalan  waktu, melainkan Tuhan sebagai pemilik waktu telah memberikan "kemewahan" waktu sehari semalam selama 24 jam, akan tetapi terkadang waktu tersbut tidak dapat diatur dengan baik, sehingga sering disibukkan dengan hal-hal yang kurang positif. Ibaratnya meluangkan waktu untuk membaca adalah sebuah keputusan yang dapat diusahakan.

Literasi membaca buku akan tercapai jika mahasiswa mampu melawan rasa malas dengan cara memaksakan diri untuk membaca dan akan lambat laun menjadi terbiasa. Bahkan ketika telah terbiasa untuk membaca buku, maka dengan sendirinya akan muncul perasaan yang tidak enak dari dalam diri. Ibaratnya ketika seorang muslim diwajibkan untuk menunaikan shalat 5 waktu, dan salah satu waktu yang terkadang sangat berat dilakukan yaitu shalat pada waktu subuh yang merupakan hal tersulit untuk dilaksanakan, namun ketika seseorang mampu memaksakan diri untuk melakukannya maka lama kelamaan menjadi terbiasa dengan sendirinya dan ikhlas dalam menjalaninya serta akan merasa berdosa jika tidak melaksanakannya. 

Prinsip terpaksa menjadi terbiasa dalam hal membaca buku adalah bagaimana agar seseorang mampu mengatasi kemalasan serta tetap memandang sisi positif dari konsep keterpaksaan. Dengan adanya prinsip seperti itu maka akan membuat seseorang memahami bahwa membaca buku bukanlah sesuatu keharusan melainkan suatu kewajiban, bahkan menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga apapun bentuk paksaan yang dilakukan selama bernilai positif maka akan membuahkan hasil yang luar biasa. Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita yang mengubah diri sendiri, siapa lagi?

Penulis merupakan dosen IAIN Pontianak.

Ikuti tulisan menarik Ancha Makkawali lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler