x

illustr: Marie Claire

Iklan

A.E Niko

Orang biasa, lulusan psikologi. Serius bisa, becanda oke; dua-duanya juga sanggup.
Bergabung Sejak: 16 April 2022

Rabu, 20 April 2022 13:00 WIB

Ber-FWB, Politisasi Bahasa untuk Gaya Hidup Tertentu?

Orang-orang yang  mengaku tengah menjalani gaya hidup friends with benefit (FWB) biasanya konsisten berbangga diri akan pilihannya tersebut. Mereka beranggapan hal itu bukan sekedar tren, tapi sudah jadi budaya. Mereka berdalih FWB bukan melulu soal seks. Apakah mereka tengah bereufemisme? Apakah mereka memilih diksi FWB sebagai emanasi dari tiap kelakuannya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kejadian ini berlangsung akhir Maret lalu. Hari itu panas terik, menyengat. Tak banyak desiran angin, bikin gerah sekaligus ngantuk. “Heran, padahal lagi musim hujan,” gerutu saya dalam hati.

Keheranan saya, kala itu, semakin menjadi-jadi rasanya. Sebuah peringatan yang datangnya tiba-tiba, yang dengan asyiknya bertengger di jendela notifikasi, menjadi penyebabnya. “ngaweri ngono sampe limo, opo ya awakmu nek..,” begitu tulisannya. Saya cermati dengan cukup hati-hati tulisan itu, dan ternyata, hanya sebuah postingan dari salah satu akun menfess, Twitter punya. “Syukurlah,” ucap saya dalam hati.

Selepas merenung selama beberapa detik karena tidak memahami artinya, jemari saya seolah bergerak dengan sendirinya, seakan-akan menghakimi: ora ngerti kok dipikiri!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

***

Ketika membuka pemberitahuan tersebut, tarpampanglah sebuah cuplikan video TikTok di layar hape. Dalam video itu, nampak dua orang berbincang dalam sebuah siniar, menyoal kehidupan berpasangan sang tamu. "Jadi gua itu bisa punya FWBan lima, tiga sampai lima orang," kata si bintang tamu yang terlihat besar diri.

Sikap besar diri “sang tamu” dalam video beberapa detik itu berhasil membuat (hampir) seluruh netizen nyinyir. Entah itu di kolom komentar, maupun di retweet postingan.

Melihat keadaan yang demikian, saya berinisiatif untuk meninjau lebih lanjut dengan mengakses sumber utama dari video itu. Dengan tujuan, agar tidak ikut terpantik hanya karena video hitungan detik, dan juga untuk melihat konsistensi sang bintang tamu dalam berbesar diri menyoal laku lampahnya ketika melakukan Friends with Benefit (FWB).

Hasilnya, sepanjang durasi video, bintang tamu yang merupakan mantan juara ajang permodelan di Indonesia itu tetap istiqomah dalam berbesar diri ketika menyikapi kegiatan FWB nya.

Adapun ketika melihat video-video sejenis —maksudnya yang menyoal FWB— hasil pengamatan saya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Orang-orang yang  mengaku telah/sedang ber-FWB juga terlihat konsisten dalam berbangga diri akan kegiatan FWB yang dilakukannya. Bahkan "..FWB itu bukan cuman tren, sih, ya, tapi udah jadi budaya kalo di kita," kata seorang influencer yang kerap dijuluki sebagai ikon selatan ibu kota.

Dari pelbagai percakapan mengenai FWB yang sudah saya amati di kanal Youtube, salah satu yang pasti adanya adalah dalih dari para pelaku yang menyatakan bahwa kegiatan yang dilakukannya itu bukan melulu soal seks. Merangkum pernyataan dari para pelaku FWB, bahwa FWB itu, ada kalanya hanya sebagai selingan untuk nonton konser, bioskop, kulineran atau sekedar ngopi di coffeshop-coffeshop hit.

Aneh bin (sok) ajaib. Sumpah deh.

Sebab, Jika kita membaca beberapa literatur terkait FWB, terdapat empat substansi utama dari FWB itu sendiri: a) hubungan tanpa komitmen, b) tidak mengutamakan repetisi, c) mengesampingkan romantisme, d) serta berorientasi pada kegiatan seksual (Bisson & Levine, 2009; Fielder & Carey, 2010; Grello dkk., 2006; Lehmiller dkk., 2011; J. Owen & Fincham, 2011; J. J. Owen dkk., 2010). Keempat hal ini merupakan syarat mutlak apabila ingin mendapatkan gelar FWB ketika menjalani suatu hubungan.

Pertanyannya kemudian, mengapa para pelaku FWB tersebut malah berkilah bahwa kegiatan yang sedang/telah dilakukannya bukan melulu soal seks, padahal, pendapat para ahli dan peneliti menyatakan bahwa “seks” adalah substansi dari FWB itu sendiri?

Dalam hemat saya, ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi. Yang pertama, mereka enggak baca literatur soal FWB. Kedua, mereka menganggap bahwa itu merupakan FWB dengan kearifan lokal. Terakhir, ada semacam eufemisme karena kosa kata yang ada—Bahasa Indonesia—dirasa kuno, enggak keren atau mungkin dirasa kasar untuk diucapkan, sehingga memilih kata FWB sebagai emanasi dari tiap kelakuan.

Jika kemungkinan pertama benar adanya, hal itu semakin mempertegas peribahasa asing yang menyatakan “don’t judge a book by its cover”. Apabila kemungkinan kedua benar adanya, bagi saya, itu adalah sebuah kreatifitas yang besar potensinya untuk membuat khalayak dunia—utamanya barat—merasa tergelitik. Tapi, jika kemungkinan ketiga adalah alasan sebenar-benarnya dari sangkalan para pelaku FWB, ini yang nyebelin.

Sebab, eufemisme adalah salah satu metode yang dapat digunakan dalam mempolitisasi bahasa. Bahasa yang dipolitisasi, walaupun terlihat sepele, tapi kenyataannya seringkali bikin enek. Dalam perjalanan sejarah perbahasaan Indonesia, bahasa yang dipolitisasi dengan meng-eufemisme kan kata tertentu, acap kali, dianggap sebagai simbol dari kemunafikan yang berbanding lurus dengan otoritarianisme. Contoh paling pas dalam menyoal hal ini adalah penggunaan kata “oknum”.

Kata “oknum” sendiri merupakan salah satu produk politik bahasa pada era orde baru. Biasanya, kata ini disematkan pada "aparat" yang terjerat suatu perkara. Kata ini digunakan sebagai bentuk peringatan kepada khalayak bahwa yang dilakukan oleh salah satu anggota tidak mencerminkan lembaga si anggota itu sendiri. Kata oknum "...adalah kata yang paling tidak dapat dipertanggungjawabkan” tulis Seno Gumira Adjidarma dalam Majalah Tempo (2014).

***

Kata FWB yang dipolitisasi sebagai produk eufemisme dari kegiatan seks dengan menganggap sebagai emanasi dari berbagai kelakuan, semacam nonton konser, bioskop, minum kopi di coffeshop atau sekedar dinner di Warmindo, misalnya, adalah suatu hal yang keliru dan juga riskan. Sebab, hal itu melenceng dari substansi Friends with Benefit itu sendiri. Selain itu, kata ini, kata FWB, besar potensinya untuk dijadikan ajang unjuk gigi bagi para kaum pecinta duit (materialistis) atau gerombolan Mokondo (Modal Kopling Doang).

Orang-orang yang mempolitisasi bahasa dengan menganggap aktivitas pasangan pada umumnya, seperti yang sudah saya sebutkan di atas,  sehingga dapat diwakili oleh FWB—mereduksi substansi FWB itu sendiri; bagi saya, mereka telah "salah parkir". Sebab, politik bahasa sendiri pada umumnya akan berjalan sukses jika dilakukan secara sistematis dan melalui lembaga tertentu. Apalagi, jika dibarengi dengan perilaku otoritarianisme, politisasi bahasa akan memiliki dampak yang bernas.

Coba-coba untuk mempolitasasi sebuah kata padahal tidak memiliki kapasitas yang memadai (sistematis, lembaga, otoritarianisme), manalagi kata yang dipolitisasi melenceng jauh dari esensi; bukankah ini merupakan suatu kemunafikan yang naif?

Aduuh, wis salah parkir pokoe.

Ada satu kata yang dipolitisasi, semacam kata "oknum", saja sering kali bikin muak, bagaimana jika ditambah satu lagi? Ah, makin sesak saja rasanya perbendaharaan munafikisme kata hari-hari ini.

Ikuti tulisan menarik A.E Niko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler