x

Sumber Gambar: Pixabay.com/ toko buku

Iklan

DINNIATY 2021

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 April 2022

Sabtu, 23 April 2022 13:32 WIB

Perkembangan Sastra Indonesia pada Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pustaka berdampak pada perkembangan sastra Indonesia, yang memungkinkan para sastrawan Indonesia mengungkapkan apa yang ada di benaknya melalui tulisan yang dapat dinikmati sendiri dan orang lain (penikmat sastra). Berdasarkan perkembangan sastra, Angkatan Balai Pustaka yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk kemaslahatan bangsa Indonesia dan harus menetapkan persyaratan-persyaratan dalam penyaringan karya sastra agar pendirian Angkatan Balai Pustaka bermanfaat bagi masyarakat Indonesia karena sastra Indonesia telah berkembang cukup baik di generasi ini. Kelahiran Angkatan Balai Pustaka ditandai dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang dijuluki sebagai "awal kebangkitan Angkatan Balai Pustaka".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sastra Indonesia Angkatan Balai Pustaka

Sastra di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, dimulai pada masa manusia purba, pengarang mulai mendeskripsikan menulis apa pun di dalam gua, sehingga menghasilkan karya sastra. Namun karena perkembangan zaman yang mungkin kurang berkembang, karya-karya tersebut musnah. Kemungkinan besar karya sastra di Indonesia dimulai sebelum abad ke-20, pada zaman "Angkatan Pujangga Lama". Pada masa itu, karya sastra dalam bahasa awal yaitu bahasa Melayu mendominasi sastra Indonesia, seperti hikayat, puisi, pantun, dan gurindam. "Angkatan Sastra Melayu Lama" muncul antara tahun 1870 dan 1942, mengikuti "Angkatan Pujangga Lama". "Angkatan Balai Pustaka" yang akan diuraikan dalam artikel ini, mengikuti "Angkatan Sastra Melayu Lama".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh karena itu, alasan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan gambaran tentang perkembangan sastra Indonesia pada Angkatan Balai Pustaka sebagai awal dari perkembangan sastra Indonesia yang berlanjut hingga saat ini.


Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan kesusastraan Indonesia di Angkatan Balai Pustaka.


Tulisan ini memiliki manfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pembaca tentang perkembangan sastra Indonesia di Angkatan Balai Pustaka serta untuk memberikan informasi tentang permasalahan yang ada di Angkatan Balai Pustaka.

Sebelum bahasa Indonesia berdiri pada tanggal 28 Oktober 1928, sastra Indonesia sudah berkembang dari waktu ke waktu. Pada zaman dahulu bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kerajaan dan bahasa sastra (Purwoko, 2004: 84). Sementara itu, dengan munculnya Angkatan Balai Pustaka pada tahun 1920-an, landasan atau pondasi bagi perkembangan sastra Indonesia diletakkan. Kondisi sosial ekonomi pada tahun 1920-an dapat ditelaah melalui periodisasi sastra, khususnya Balai Pustaka. Tahun 1920-an, menurut Teeuw (1980: 15), merupakan tahun lahirnya sastra Indonesia modern. Saat itu, sastrawan Indonesia mulai mengungkapkan pemikiran dan keyakinan yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya. Perasaan diungkapkan melalui sastra, tetapi sedikit menyimpang dengan sastra Melayu, Jawa, dan sastra-sastra lain sebelumnya.

Menurut Sarwadi (1999; 27) Angkatan Balai Pustaka mempunyai pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia yaitu dengan keberadaannya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui sebuah tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri juga orang lain. Tujuan Angkatan Balai Pustaka adalah untuk membekali masyarakat dengan konsumsi berupa bacaan-bacaan yang mengandung politik pemerintahan kolonial, sehingga dengan hal itu Angkatan Balai Pustaka telah memberikan pengetahuan tentang ajaran politik kolonial. Maka dari pernyataan inilah berdirinya Balai Pustaka telah bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dengan memajukan sastra Indonesia.

Angkatan Balai Pustaka yang memiliki maksud dan tujuan keberadaannya harus menetapkan persyaratan-persyaratan di waktu menyaring suatu karya sastra. Persyaratan ini menimbulkan pendapat orang lain ataupun para sastrawan mengenai Angkatan Balai Pustaka. Hal ini merupakan suatu kelemahan atau permasalahan dari Balai Pustaka yang kurang diperhatikan keberadaannya. Menurut Sarwadi (1999: 29) permasalahan itu diantaranya meliputi:
1. Salah Asuhan karya Abdul Muis adalah novel terpenting yang diterbitkan oleh Angkatan Balai Pustaka pada tahun 1920-an. Penulis lebih realistis dalam bagian ini ketika menekankan topik kawin paksa yang juga membahas pertentangan yang muncul dalam pernikahan antara kamu muda dengan kamu tua. Kekhawatiran penulis akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan dari kebudayaan Eropa yang masuk ke tubuh anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
2. Balai Pustaka menolak novel Belenggu karya Armin Pane karena isinya dianggap tidak membantu dan tidak membangun karakter. Novel ini kemudian diadaptasi oleh Pujangga Baru dan dicetak ulang oleh Balai Pustaka pada tahun 1938.

Yang menonjol pada masa lahirnya sastra Angkatan Balai Pustaka ialah cita-cita masyarakat, sikap hidup serta adat istiadat (Sarwadi, 1999: 31). Hal ini tercermin dari kesadaran masyarakat, khususnya di kalangan penulis akan pentingnya persatuan dalam mewujudkan persatuan bangsa, terbukti dengan karya-karya sastra yang menunjukkan bahwa walaupun setiap masyarakat Indonesia memiliki adat istiadatnya masing-masing, keragaman adat tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun bangsa Indonesia bersama sehingga karya-karya sastra dari para sastrawan Indonesia bisa terus berkembang dan menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia.

Sejak tahun 1920, kekuatan sastra Angkatan Balai Pustaka semakin berkembang. Kelompok ini disebut dengan Angkatan Balai Pustaka karena pada masa tersebut buku-buku sastra pada umumnya diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Angkatan Balai Pustaka didirikan dalam sastra Indonesia untuk mengurangi pengaruh negatif dari kesusastraan Melayu yang dianggap terlalu liar pada saat itu. Pada Angkatan Balai Pustaka ini, karya sastra yang diterbitkan oleh penulis adalah karya yang berbeda dengan karya sastra lainnya. Karya sastra angkatan ini mempertahankan bahasanya dengan menggunakan bahasa sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastra, tidak jarang karya sastra masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar karya sastra yang mereka hasilkan.


Pada Angkatan Balai Pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi karena kebanyakan editor yang ada pada masa Balai Pustaka memang berasal dari Sumatra Barat. Masa ini adalah masa ketika penulis yang editornya lebih banyak berdarah Sumatra maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak menghasilkan karya-karya kesumatraan. Selain disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka, karya-karya yang lahir pada masa Angkatan kesusastraan ini juga disebut dengan Angkatan 20-an. Titik awal Angkatan Balai Pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar yang disebut sebagai awal kebangkitan Angkatan Balai Pustaka. 


Kelahiran Angkatan Balai Pustaka membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan terutama perkembangan sastra tanah air termasuk prosa, puisi, dan drama. Dalam publikasi sastra yang diterbitkan pada saat itu, banyak peristiwa sosial, kehidupan tradisional, kehidupan keagamaan dan  peristiwa kehidupan lainnya banyak direkam dalam buku-buku sastra. Pada umumnya karya sastra Angkatan Balai Pustaka secara khusus menceritakan tentang kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Nilai-nilai politik, kemiskinan, sekularisasi juga tidak dibicarakan dalam karya sastra generasi ini. Para penulis lebih toleran terhadap keadaan politik pada saat itu, mereka berusaha untuk ramah membantu pemerintah kolonial agar tulisan mereka dapat diterbitkan. Beberapa karya sastra Angkatan Balai Pustaka ini seperti Siti Nurbaya (1922), Tak Disangka (1923), Salah Asuhan (1928), Menebus Dosa (1932) dan lain-lain.

Jadi, dapat disimpulkan berdirinya Angkatan Balai Pustaka berdampak pada perkembangan sastra Indonesia, yang memungkinkan para sastrawan Indonesia mengungkapkan apa yang ada di benaknya melalui tulisan yang dapat dinikmati sendiri dan orang lain (penikmat sastra). Berdasarkan perkembangan sastra, Angkatan Balai Pustaka yang didirikan dengan maksud dan tujuan untuk kemaslahatan bangsa Indonesia dan harus menetapkan persyaratan-persyaratan dalam penyaringan karya sastra agar pendirian Angkatan Balai Pustaka bermanfaat bagi masyarakat Indonesia karena sastra Indonesia telah berkembang cukup baik di generasi ini. Kelahiran Angkatan Balai Pustaka ditandai dengan terbitnya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang dijuluki sebagai "awal kebangkitan Angkatan Balai Pustaka".

 

Ikuti tulisan menarik DINNIATY 2021 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

22 jam lalu