x

Syafii Maarif. TEMPO//Hilman Fathurrahman W

Iklan

Slamet Samsoerizal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Maret 2022

Minggu, 29 Mei 2022 08:12 WIB

Warisan Keteladanan Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif

Buya Syafii Maarif bukan hanya tokoh Muhammadiyah, melainkan teladan bagi Bangsa Indonesia. Ia menjadi penjaga nurani bangsa. Buya memberikan contoh bagaimana menjadi muslim otentik dan sepenuhnya mencintai bangsanya. Buya telah meraih keluhuran spiritual.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 Keteladanan dalam ragam tindak merupakan warisan berharga Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif bagi negeri ini.

***

"Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat tgl 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB," demikian rilis yang disampaikan Prof Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhamadiyah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Siapakah Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif? Sosok yang akrab disapa dengan Buya Syafii Maarif ini adalah cendekiawan, budayawan, dan mantan Ketua Umum PP Muhamadiyah. Buya wafat dalam usia 86 tahun, di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman,Yogyakarta.

Melansir dari laman https://muhammadiyah.or.id/  Syafii Maarif lahir pada 31 Mei 1935 di Nagari Calau, Sumpur Kudus, Minangkabau. Ayahnya adalah kepala suku dan saudagar bernama Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu. Sementara ibunya, Fathiyah wafat ketika Syafii baru berusia 18 bulan.

Saat masih kecil, Syafii Maarif bersekolah di Sekolah Rakyat (SR). Sedangkan untuk belajar agama, dia mengambil dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah sepulang sekolah di SR. Syafii tamat dari SR pada 1947 tanpa ijazah karena saat itu masih terjadi perang revolusi kemerdekaan.

Setelah usai menamatkan pealajaran di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Balai Tangah, Lintau, Syafii yang saat itu berusia 19 tahun pada 1953 merantau ke Yogyakarta. Dirinya melanjutkan pendidikan ke Madrasah Muallimin Yogyakarta sampai tahun 1956. Di Muallimin, dia aktif dalam organiasi kepanduan Hizbul Wathan dan pernah menjadi pemimpin redaksi majalah Sinar.

Menginjak usia 21 tahun, Syafii berangkat ke Lombok memenuhi permintaan Konsul Muhammadiyah dari Lombok untuk menjadi guru di sebuah kampung bernama Pohgading sampai tahun 1957. Syafii lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Cokroaminoto, Fakultas Keguruan Ilmu Sosial IKIP UNY, Universitas Ohio Amerika Serikat hingga Universitas Chicago, Amerika Serikat.

Buya Syafii Maarif menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah selama tujuh tahun dari 1998-2005. Syafii Maarif juga pernah menjabat sebagai Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP).

Setelah tidak aktif menjadi Ketum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif tetap aktif berpartisipasi dalam perkembangan Muhammadiyah, Islam dan negara Indonesia.  Kemudian, guna menguatkan pemikiran-pemikiran pluralisme, toleransi, kebangsaan, keislaman, dan sosial maka didirikanlah lembaga Maarif Institute for Culture and Humanity berdiri di bawah Yayasan Ahmad Syafii Maarif.

Ia menjadi  tokoh bangsa yang sering menyampaikan kritik secara objektif dan lugas baik melalui tulisan-tulisannya di berbagai media.

Maarif Institute for Culture and Humanity merupakan sebuah lembaga yang berdedikasi pada pembaruan pemikiran Islam. Tujuannya adalah untuk mewujudkan tatanan kemanusiaan yang berkeadilan sosial melalui praksis Islam sebagai pondasi keindonesiaan.

Ini sesuai dengan semangat intelektual dan cita-cita sosial Ahmad Syafii Maarif. Oleh karena itu, lembaga ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jaringan gerakan Pembaruan Pemikiran Islam yang ada di Indonesia dewasa ini. Kompleksitas masalah kemanusiaan modern berikut isu-isu kontemporer yang mengikutinya seperti demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, gender, dialog antar-agama dan peradaban serta sederet isu lainnya menuntut pemahaman dan penjelasan baru dari ajaran Islam. Semua itu merupakan konsen dari gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh Maarif Institute for Culture and Humanity.

Lima bukunya yang fenomenal adalah Ibn Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur (1996), Islam, Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat (1997),  Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (2004) Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2010), dan Membumikan Islam (2019). Belum lagi sejumlah artikel yang dimuat atau tayangkan melalui media Kompas dan Republika.

Atas karya-karyanya, pada tahun 2008 Syafii Maarif mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina. Penulis Damiem Demantra membuat sebuah novel tentang masa kecil Ahmad Syafi’i Maarif, yang berjudul ‘Si Anak Kampung’ yang telah difilmkan dan meraih penghargaan pada America International Film Festival (AIFF).

Keteladanan Buya Syafii Maarif

Sosoknya yang teguh dalam berprinsip,  gigih melawan ketidakadilan, selalu menggaungkan pentingnya persatuan, hingga kesederhanaan dalam keseharian, menjadi warisan berharga untuk bangsa Indonesia.

Mata air keteladanan itu, disaksikan oleh Ienas Tsuroiya yang sangat terkagum terhadap Buya Syafii karena kesederhanaan dan keistiqomahan. Pada halaman 40, bungarampai esai perempuan bertajuk Ibu Kemanusiaan, Tsuroiya mencatat, Buya rutin shalat berjamaah di masjid. Sering menjamu jamaah seusai shalat. Buya membeli sabun cuci di warung. Buya makan di angkringan. Buya berangkat ke seminar dengan bersepeda. Buya juga naik KRL menuju Istana Negara (waktu itu posisi beliau sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden) dan seterusnya.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyebut Buya Syafii Maarif bukan hanya tokoh Muhammadiyah, melainkan sosok seluruh umat Islam dan Bangsa Indonesia yang menjadi penjaga nurani bangsa. Moeldoko menilai, Buya Syafii Maarif banyak memberikan contoh dan keteladanan menjadi Muslim otentik dan sepenuhnya mencintai bangsanya.

Menurut Moeldoko, almarhum Buya Syafii juga telah mencontohkan hidup sederhana. "Meskipun beliau bisa mendapatkan fasilitas mewah, tapi beliau tetap menjadi orang yang sangat bersahaja. Beliau tidak malu dan canggung untuk naik KRL meski usianya sudah cukup lanjut," kenang Moeldoko.

Buya Syafii Maarif dalam pandangan Romo Santo sebagai sosok yang telah meraih keluhuran spiritual. Hal ini tampak,  misalnya saat Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog diserang teroris pada tahun 2018. Kata dia, Buya Syafii adalah tokoh pertama yang hadir di lokasi untuk menenangkan umat Katolik.

“Beliau mendahului saya, saya masih tugas di tempat lain. Beliau mendahului saya untuk datang dan beliau naik sepeda (kayuh) dan langsung memberi konferensi pers yang sudah datang saat itu bahwa ini teroris, kita jangan mau dipecah belah. Dan beliau juga mengungkapkan bahwa kita mesti komunikasi satu sama lain,” kenangnya.

Dalam kondisi sakit, Buya Syafii sempat menitipkan dua pesan kepada Prof Haedar Nashir, sahabatnya. Pertama, Buya Syafii selalu mengingatkan agar selalu menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat Islam. Kedua, meminta untuk melakukan doa bersama.

“Saya menyaksikan air matanya berlinang. Itulah percakapan kami yang terakhir. Satu hari sebelum ini itu saya ber-WA, beliau menjawab bahwa saya sudah menerima keadaan ini dan dengan pasrah dan kami percaya dengan tim dokter RS PKU Muhammadiyah Gamping,” pungkas Prof. Haedar Nashir.

Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu