Menyoal Sikap Polri Terhadap Mantan Napi Kasus Korupsi
Kamis, 2 Juni 2022 19:16 WIBTerungkapnya seorang anggota Kepolisian RI (Polri) mantan narapidana kasus korupsi, AKBP Raden Brotoseno, yang masih aktif bertugas memantik polemik di tengah publik. Tudingan institusi Polri sebagai sarang koruptor tidak dapat dianggap sekedar angin lalu. Aturan perundang-undangan terkait kepolisian perlu ditinjau ulang dan dievaluasi.
Terungkapnya seorang anggota Kepolisian RI (Polri) mantan narapidana kasus korupsi , AKBP Raden Brotoseno, yang ternyata masih aktif bertugas di salah satu lembaga penegak hukum tersebut, telah memantik polemik di tengah publik.
Sungguh naif dengan statemen Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Mabes Polri, Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo yang berpegang terhadap hasil sidang etik mantan suami siri Angelina Sondakh ini yang mempertimbangkan kualitas dan pribadi sebagai anggota Polri yang dapat dipertahankan lantaran berprestasi selama berdinas di institusi Polri dan berkelakuan baik.
Hal tersebut, yang menurut hasil sidang etik, dan profesi Polri, membuang keputusan pemecatan terhadap Brotoseno. Meskipun, kata Ferdy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memutus bersalah Brotoseno.
Hal ini, tentu saja, merupakan preseden buruk bagi semangat pemberantasan tindak pidana korupsi yang dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (Extra ordinary crime). Sehinga suka maupun tidak, karena soal ini pula instiusi penegak hukum yang saat ini dipimpin Listyo Sigit Prabowo harus menerima konsekwensinya.
Polri cenderung mempertahankan Brotoseno dengan alasan yang dibuat-buat daripada vonis hakim yang menetapkannya sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Apa boleh buat. Kritik pedas, bahkan cemoohan yang dilontarkan publik membuat citra institusi Polri kian terhempas ke titik nadir.
Bagaimanapun karena seorang Brotoseno, membuat ingatan publik terhadap berbagai kasus dugaan korupsi di dalam tubuh Polri disebut-sebut kembali. Baik yang terungkap secara gamblang, dan telah memiliki ketetapan hukum, maupun yang mengambang - bahkan terkesan kuat dipetieskan.
Beberapa tahun lalu, publik dihebohkan dengan terungkapnya kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan Kakorlantas Polri (saat itu) Irjen Pol Joko Susilo, sebagai terpidana bersama beberapa orang bawahannya.
Tercatat kerugian negara akibat dari kasus korupsi tersebut senilai Rp 121,830 miliar. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo didakwa terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Djoko diduga mengatur agar PT Citra Mandiri Metalindo Abadi memenangi proyek simulator mengemudi. Dalam kasus itu, Djoko oleh jaksa penuntut umum dituntut hukuman 18 tahun penjara. Sementara pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum Djoko Susilo 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Tak puas dengan vonis di Pengadilan Tipikor, KPK meminta banding. Majelis banding yang diketuai Roki dan beranggota Humuntal Pane, M. Djoko, Sudiro, dan Amiek memutuskan menerima banding jaksa. Mereka menghukum Djoko dengan pidana penjara selama 18 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Dia juga dijatuhi pidana tambahan berupa denda Rp 32 miliar dan perampasan aset. Hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik juga dicabut.
Sehingga akhirnya di tingkat kasasi, majelis hakim menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta berkaitan kasus tersebut. Sehingga, Djoko harus menjalani pidana penjara selama 18 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
***
12 tahun yang lalu, tepatnya di pertengahan tahun 2010, majalah Tempo pernah menurunkan Laporan Utama “Rekening Gendut Perwira Polisi” pada edisi 28 Juni-4 Juli 2010.
Laporan tersebut menyajikan ulasan detail isi rekening sejumlah jenderal Kepolisian. Di antaranya Badrodin Haiti, yang saat itu menjabat Kepala Polri, tercatat menerima Rp 1,1 miliar di rekeningnya. Ada juga rekening Budi Gunawan, Wakil Kepala Polri saat itu, juga tercatat menerima Rp 54 miliar. Selain itu, laporan tersebut juga mengungkap isi rekening tujuh jenderal dan komisaris besar lain, berkisar Rp 1,5 miliar sampai Rp11 miliar.
Majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 tersebut sempat dicetak ulang lantaran diborong oleh sekelompok oknum berbadan tegap dan berambut cepak. Bahkan ada dari mereka yang menggunakan mobil operasional polisi. Sepekan setelah edisi tersebut terbit, kantor majalah Tempo dilempar bom molotov dini hari, 6 Juli 2010.
***
Publik pun bertanya-tanya. Sudah sedemikian rusaknya moral lembaga penegak hukum yang satu ini. Dari petinggi hingga bawahannya sudah tidak lagi menjunjung tinggi aturan perundang-undangan, bahkan sudah tidak takut lagi terhadap Tuhan?
Astaghfirullaah...
Oleh karena itu, publik mengingatkan kembali janji Presiden Jokowi tentang pemberantasan korupsi di negeri ini. Apa jadinya jika aparat penegak hukumnya saja masih bersikap seperti itu. Perilaku korup masih dianggap hal sepele?
OMG!!!
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Menyoal Motif di Balik Terbunuhnya Brigadir J
Kamis, 11 Agustus 2022 06:22 WIBApresiasi juga Dengki Iringi Kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Sabtu, 2 Juli 2022 06:25 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler