x

Iklan

Fajrianto Rahardjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Januari 2022

Jumat, 15 Juli 2022 10:08 WIB

Pemerintahan Otorita dan Implikasi Pemindahan Ibu Kota Negara; Perspektif Hukum dan Konstitusi

Perihal konstitusionalitas pemerintahan otorita dalam IKN perlu diulas, karena beberapa tokoh nasional sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ada potensi pembangunan ibu kota baru negara tidak terlaksana jika MK menyatakan pemerintahan otorita dalam UU IKN inkonstitusional. Penulis menggunakan metode original intent (pendekatan historis) yang sering digunakan MK meninjau konstitusionalitas suatu undang-undang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 2019, Presiden Jokowi menyampaikan keinginannya untuk memindahkan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan Timur. Ia mengatakan, tujuan pemindahan tersebut adalah untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan keadilan ekonomi yang selama ini terfokus di Pulau Jawa. Presiden juga menekankan bahwa ibu kota baru negara tersebut nantinya tak hanya berarti sebagai simbol identitas bangsa, tapi juga sebagai representasi kemajuan bangsa. Dua tahun setelah itu, keinginan tersebut akhirnya terwujud setelah RUU Ibu Kota Negara (IKN) yang diusulkan oleh pemerintah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang.

            Namun harus diakui bahwa ditetapkan RUU IKN menjadi UU yang selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 banyak menuai kritik dari publik. Beberapa catatan kritis yang disampaikan publik antara lain yaitu: pertama, proses pembentukan UU IKN dinilai cacat formil karena memakan waktu pembentukan yang singkat (hanya 43 hari) dan minim partisipasi publik; Kedua, mengenai pemberian nama “Nusantara” sebagai ibu kota negara yang dianggap tidak cocok; Ketiga, tentang pemerintahan otorita yang akan menyelenggarakan pemerintahan di ibu kota baru negara dianggap inkonstitusional karena konstitusi atau UUD 1945 tidak mengenal istilah pemerintahan  otorita.

Merujuk pada tiga persoalan tersebut, artikel esai ini akan mengulas perihal konstitusionalitas pemerintahan otorita. Penulis beranggapan bahwa hal itu sangat penting untuk ditinjau secara mendalam karena beberapa tokoh nasional sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga ada potensi pembangunan ibu kota baru negara tidak terlaksana jika MK ternyata menyatakan pemerintahan otorita dalam UU IKN inkonstitusional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adapun metode penafsiran hukum yang penulis gunakan dalam menilai konstitusionalitas pemerintahan otorita IKN tersebut yaitu penafsiran originalisme khususnya Original Intent atau pendekatan historis yang paling sering digunakan MK dalam meninjau konstitusionalitas suatu undang-undang. Selain itu, penulis juga akan meninjau implikasi hukum pemindahan ibu kota negara dalam UU IKN terhadap aspek kenegaraan di Indonesia.

POKOK BAHASAN

Meninjau Konstitusionalitas Pemerintahan Otorita

Dalam Pasal 8 UU IKN, disebutkan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah khusus ibu kota nusantara adalah pemerintahan otorita. Pasal 4 Ayat (1) Huruf b menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan otorita yang selanjutnya penulis sebut sebagai otorita IKN Nusantara adalah lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan daerah khusus ibukota nusantara, dan mulai beroperasi paling lambat pada akhir 2022 (vide. Pasal 36 UU IKN).

Konsekuensi penempatan otorita IKN Nusantara sebagai lembaga yang setingkat dengan kementerian, mengakibatkan pengangkatan kepala otorita seperti halnya pengangkatan menteri pada umumnya yang ditunjuk langsung oleh presiden atau tidak melalui pemilihan umum (Pemilu). Pasal 9 Ayat (1) UU IKN menyatakan bahwa kepala dan wakil otorita IKN Nusantara ditunjuk, diangkat dan diberhentikan langsung oleh presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adanya beberapa pasal tersebut dalam UU IKN memperlihatkan kekhasan dan keunikan tersendiri dari pemerintahan IKN Nusantara jika dibandingkan dengan pemerintahan di daerah yang lain. Jika di daerah yang lain kepala pemerintahannya adalah gubernur, bupati atau walikota, maka IKN Nusantara dipimpin oleh kepala dan wakil otorita.

Selain itu, pemerintahan IKN Nusantara juga tidak mengenal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti di daerah lain. Hal itu tertuang dalam ketentuan pasal 13 Ayat (1) UU IKN yang tidak menyebutkan pemilu DPRD sebagai salah satu pemilu yang akan dilaksanakan di IKN Nusantara. Keunikan dan kekhasan IKN Nusantara tersebut menurut tim pembentuk UU IKN dimaksudkan sebagai pemerintahan daerah khusus ibu kota negara yang diakui oleh konstitusi khususnya Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah benar pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan satuan pemerintahan daerah khusus yang dimaksud oleh pembentuk Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945?. Untuk menjawabnya, maka perlu melakukan penafsiran Original Intent atau penafsiran sejarah lahirnya Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945 untuk mengetahui maksud, tujuan dan bagaimana pemahaman pembentuk UUD 1945 terhadap ketentuan pasal a quo.

Jika meninjau risalah sidang pembentukan UUD 1945 yang tersirat dalam “Buku ke IV Jilid 2 Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945”, awalnya yang dimaksud dengan daerah khusus atau istimewah adalah pemerintahan asli Indonesia. Pengertian pemerintahan asli Indonesia menurut Soepomo yang merupakan Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 dalam rapat besar yang berlangsung pada 15 Juli 1945 adalah sebagai jenis pemerintahan di daerah yang memiliki hak asal usul daerah yang bersifat istimewa atau pemerintahan yang pernah dilaksanakan oleh pribumi pada zaman penjajahan seperti kerajaan, dusun, negeri, marga, dan kesultanan.

Namun tafsiran itu kemudian diperluas dalam pembentukan UUD 1945 yang berlangsung 1999-2002 di MPR yang menyebut Jakarta, Irian, Aceh dan Yogyakarta sebagai salah satu bentuk pemerintahan daerah khusus dan istimewa. Dalam perdebatan panjang penyusunan Pasal 18B Ayat (1), para pembentuk UUD 1945 mengkategorikan Jakarta sebagai daerah khusus karena kedudukannya sebagai ibukota negara. Kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara menurut pembentuk konstitusi juga sangat memungkinkan dibentuknya pemerintahan khusus atau berbeda dengan corak pemerintahan di daerah yang lain karena diberi beban, tantangan dan tanggung jawab besar dan kompleks oleh negara.

Setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, kekhususan corak pemerintahan pun terlihat. Kekhususan tersebut dapat dilihat dari tidak adanya pemilu untuk memilih walikota/bupati dan DPRD tingkat kabupaten/kota di wilayah Provinsi DKI Jakarta karena penempatan otonomi hanya diletakkan pada provinsi, sedangkan daerah kabupaten/kota hanya bersifat administratif. Implikasinya, walikota/bupati di dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta diangkat oleh gubernur dengan pertimbangan DPRD provinsi.

Setahun setelah diundangkannya UU 29/2007, beberapa tokoh pun melakukan pengujian UU atau Judicial Review ke MK karena menganggap corak pemilihan dan pemerintahan DKI Jakarta inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. Dalam pokok permohonan pemohon, dijelaskan bahwa pemohon menilai sistem pemilihan walikota/bupati di wilayah Provinsi DKI Jakarta yang ditunjuk langsung oleh gubernur dengan pertimbangan DPRD provinsi mencederai ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Pun di aspek tidak adanya DPRD tingkat kabupaten/kota juga dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”.

Namun dalam Amar Putusan MK Nomor 11/PUU-VI/2008, dinyatakan permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya. Menurut pertimbangan mahkamah, kekhususan pemerintahan daerah Jakarta sejalan dengan kedudukannya sebagai ibu kota negara yang diberi tugas tertentu oleh negara dan diakui oleh konstitusi (vide. 18B ayat (1) UUD 1945). Meskipun corak pemerintahan daerah Jakarta terlihat mengesampingkan ketentuan konstitusi Pasal 18 Ayat (3) dan (4), dengan adanya kedudukan norma konstitusi yang setara yaitu pasal 18B Ayat (1) yang mengakui pemerintahan khusus, maka kekhusan pemerintahan Jakarta tidak dapat dikatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.

Berdasarkan telaah dengan pendekatan historis atau original intents diatas, terlepas dari inkonstitusionalnya UU IKN dari aspek yang lain misalnya dalam proses pembentukannya (formil), penulis berkesimpulan awal sebagai asumsi bahwa bentuk pemerintahan otorita IKN Nusantara merupakan bentuk pemerintahan daerah khusus yang dimaksud oleh pembentuk konstitusi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan tentang pemerintahan khusus otorita IKN Nusantara sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN tersebut sejalan dengan tugas khususnya dalam menjalankan tanggung jawab sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah khusus ibu kota negara (IKN Nusantara).

Implikasi Hukum Pemindahan Ibu Kota Negara dalam UU IKN

a. Perubahan Kekhususan Daerah DKI Jakarta

Pemindahan ibu kota negara ke wilayah Kalimantan Timur tidak hanya akan berdampak pada keuangan negara karena membutuhkan biaya yang besar untuk pembangunannya, tetapi juga berdampak pada aspek kenegaraan di Indonesia. Jika sebelumnya Provinsi DKI Jakarta dikategorikan sebagai daerah khusus dalam Pasal 4 UU 29/ 2OO7 karena mengemban amanah sebagai ibu kota negara, maka dengan lahirnya UU IKN kekhususan DKI Jakarta akan berubah setelah Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemindahan ibu kota  negara diterbitkan, kecuali fungsi otonomnya.

Dalam ketentuan penutup Pasal 41 Ayat (1) UU IKN, dijelaskan bahwa sejak ditetapkannya Keppres, ketentuan Pasal 3, Pasal 4 kecuali fungsi sebagai daerah otonom, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO7 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian dalam Ayat (2) pasal yang sama dijelaskan juga bahwa paling lama 2 (dua) tahun sejak UU IKN diundangkan, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2OO7 akan diubah sesuai dengan ketentuan dalam UU IKN. Selanjutnya dalam Ayat (4) kembali ditegaskan bahwa perubahan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) “mengatur kekhususan Jakarta”. Artinya, wilayah Jakarta tetap menjadi daerah khusus, namun dalam bentuk tafsir yang lain, yang perubahan kekhususannya diatur dalam perubahan UU 29/2007 yang akan datang.

b. Perubahan Peraturan Perundang-undangan dengan Skala yang Besar.

Selain pemindahan ibu kota negara berdampak pada perubahan kekhususan daerah Jakarta, juga berimplikasi pada aspek peraturan perundang-undangan. Disahkannya pemindahan ibu kota negara yang ditandai dengan diundangkannya UU 3/2022 tentang IKN, menuntut pemerintah pusat maupun daerah untuk melakukan banyak perubahan terhadap perundang-undangan yang berlaku.

Pada konteks pemerintah pusat, salah satu aturan yang akan diubah yaitu UU 29/2007 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan di aspek pemerintah daerah tertuju pada perubahan peraturan perundang-undangan pemerintah daerah sekitar IKN Nusantara karena harus melakukan penyesuaian terhadap ketentuan UU IKN, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Pemerintah Daerah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.

c. Pemindahan Kedudukan Lembaga Negara

Dalam konstitusi, terdapat dua pasal yang menyinggung tentang Ibu kota negara. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibukota negara. Kemudian Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Ketentuan yang sama juga ditemukan dalam beberapa Undang-Undang yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di Ibu kota negara, dan beberapa contohnya adalah Ombudsman dan kementrian negara. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia menyatakan bahwa: “Ombudsman berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia”. Sedangkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga menyebutkan bahwa: “Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden”.

Ketika pemindahan ibu kota negara dikaitkan ketentuan konstitusi, UU Ombudsman dan UU  Kementerian a quo, dapat dipahami bahwa MPR harus bersidang di ibu kota baru, dan kemungkinan besar kedudukannya akan dipindahkan ke IKN Nusantara mengingat Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) mewajibkan seluruh anggota DPR untuk berdomisili di ibu kota negara demi menjamin kelancaran pelaksanaan tugas penuh waktu. Begitu juga dengan BPK, Ombudsman dan Kementerian Negara yang harus berkedudukan di IKN Nusantara.

Jika ditelisik lebih jauh dan mendalam, terdapat sekitar 50 (lima puluh) undang-undang dari kelembagaan negara, komisi-komisi negara, hingga lembaga pemerintah non  kementerian yang memuat frase ibu kota negara di dalamnya.

Pemindahan kedudukan lembaga-lembaga negara juga tertuang dalam UU IKN. Pasal 22 Ayat (1) menjelaskan bahwa “lembaga Negara berpindah kedudukan serta menjalankan tugas, fungsi, dan peran secara bertahap di Ibu Kota Nusantara”. Kemudian di Ayat (3) disebutkan “Pemerintah Pusat menentukan Lembaga Pemerintah Non kementerian, Lembaga Non struktural, lembaga pemerintah lainnya, dan aparatur sipil negara yang tidak dipindahkan kedudukannya ke Ibu Kota Nusantara”. Ayat (4) Pasal 22 UU IKN juga menegaskan bahwa “perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi/lembaga internasional akan berkedudukan di Ibu Kota Nusantara berdasarkan kesanggupan dari masing-masing perwakilan negara asing dan perwakilan organisasi/lembaga internasional tersebut”.

Dari penjelasan pasal diatas, beberapa poin penting terkait pemindahan lembaga negara ke ibu kota baru yang bisa dipetik yaitu: (1) pemindahan lembaga negara ke IKN Nusantara akan dilaksanakan secara bertahap; (2) lembaga negara dan ASN yang kedudukannya tidak atau dipindahkan ke IKN Nusantara ditentukan oleh pemerintah pusat; (3) mengingat Ayat (2) Pasal 22 UU IKN tidak menyebutkan bahwa kementerian yang kedudukannya dipindahkan atas penentuan pemerintah pusat, maka dengan ini seluruh kementerian akan dipindahkan kedudukannya di IKN. (3) pemindahan kedudukan perwakilan organisasi/lembaga internasional dan negara asing ke IKN Nusantara ditentukan berdasarkan kesanggupan dari masing-masing perwakilan.

Adapun kepastian dari lembaga-lembaga negara maupun lembaga perwakilan internasional/negara asing yang kedudukannya akan pindah ke IKN Nusantara diatur dalam peraturan pemerintah yang akan datang. Dalam hal peraturan pemerintah yang akan mengatur mengenai lembaga apa saja yang tidak atau akan dipindahkan ke IKN Nusantara, pemerintah diwajibkan untuk memindahkan kedudukan lembaga negara yang ketentuan kedudukannya telah ditetapkan dalam UUD 1945 atau UU lembaga negara tersebut.

Ikuti tulisan menarik Fajrianto Rahardjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler