x

Iklan

Mukhotib MD

Pekerja sosial, jurnalis, fasilitator pendidikan kritis
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 20 Juli 2022 10:30 WIB

Randu Alas

Kemarahan perempuan korban perkosaan menjadikan ia menolak menikahi laki-laki perkosanya. Untuk menjaga harga dirinya, ia menggantung diri di pohon randu alas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari menjelang petang. Merah saga matahari bulat utuh, menyemburat membedaki langit sebelah barat, dan merambat pelan tenggelam. Sepasang kalong liar bergelayutan di pohon randu alas, memadu kasih sebelum sang jantan akan terbang mencari mangsa, dan sang betina terbang pula dengan arah yang berbeda.

Sebenarnya, tidak hanya sepasang, melainkan puluhan bahkan mungkin ratusan pasang kalong liar bergelantungan. Cericit suaranya terdengar ramai, nyaring, bersahutan. Dan sering kali cericit itu sangat memekakan telinga, terutama ketika kalong-kalong kecil telah dilahirkan. Generasi penerus yang akan melanjutkan tradisi meramaikan pohon randu alas.

Bau kemenyan menyebar ke mana-mana dari pokok pohon dengan akar-akar menggelembung, kokoh menggigit tanah. Setiap malam Selasa Kliwon, hari pengasihan, tampak beberapa orang datang membawa sesaji, mengangkat tangan tertangkup di depan dada. Bibirnya bergerak-gerak, entah membaca apa: mungkin doa, mungkin juga mantra.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang-orang desa, selalu melarang anak-anak bermain dekat-dekat pohon randu alas itu. Mereka percaya di pohon itu bersembunyi berbagai macam ragam makhluk halus, hantu gentayangan, dan roh-roh jahat lainnya.

Warga desa juga jarang melewati jalan sekitar pohon randu alas. Meskipun rumputnya hijau dan subur, gemuk-gemuk dan berair, para pencari rumput juga enggan merumput di sana. Kalau terpaksa harus melewati jalan di bawah pohon, seseorang harus mengucapkan kalimat permohonan, “Mbah Putri Ayu, ingkang wayah bade nderek langkung”, lalu meludah tiga kali, dan menjejak bumi tiga kali pula.

Dulu pada zaman yang orang-orang desa juga tak lagi mengetahui waktu tepatnya, mereka hanya sering menyebut jaman tumo kathok, ada perempuan desa menjadi penyintas pemerkosaan seorang anak tuan tanah. Perempuan itu menolak cintanya. Meskipun begitu, gadis bunga desa tanpa tanding itu, tidak bersedia menikah dengan laki-laki bejat pemerkosanya.

Demi membela harga diri, yang telah diluluhlantakkan anak tuan tanah, gadis itu memisahkan nyawa dari raganya: menggantung diri di salah satu cabang pohon randu alas.

Sejak saat itu, tak ada orang yang berani mendekati pohon randu alas, apalagi hendak menebangnya. Karena kepercayaan ini pula, kalong-kalong seakan hidup bebas tanpa gangguan, tak ada yang membedilnya, dan bisa berkembang biak menjalankan takdir kang murbening jagad.

Sering terjadi orang datang ke randu alas, meminta kode nomor buntut, dan kata orang, pernah juga ada yang tembus nomor yang dipasangnya. Sekali waktu juga terdengar kabar, seorang pedagang datang ke pohon randu alas, membakar menyan dan menebar bunga. Lalu meminta agar dagangan di pasar menjadi laris. Kabar burung mengatakan, pedagang itu memang menjadi laris barang-barangnya dan sekarang sudah kaya raya. Setiap tahunnya ia membagi uang ke masyarakat, seperti yang dijanjikan ke Mbah Ayu Putri.

Lalu Kiai dari tetangga desa datang dan akan menebang habis pohon randu alas, karena dianggap menjadi sumber penyebar sirik dan takhayul. Mendengar niat Kiai itu, warga desa sempat memohon agar dibatalkan. Mereka takut warga desa juga yang akan menerima akibatnya. Mbah Putri Ayu akan marah karena warga desa tak mencegahnya.

“Mohon Kiai mempertimbanglkan kembali,” kata tetua masyarakat.

“Kamu mau menanggung dosa sirik?” tanya Kiai dengan nada suara tinggi.

“Bukan begitu, Kiai,” kata warga desa lainnya.

“Jadi kenapa kamu sekalian mencegah perbuatan muliaku ini?”

Kiai itu tetap bersikeras pada niatnya. Ia datang ke desa itu dengan tiga orang penebang kayu. Mereka membawa kapak besar-besar. Setiap kali mata kapak itu menyentuh kulit pohon randu alas, kapak-kapak itu terpental ke segala arah dengan kondisi yang sudah rompal semuanya. Percikan api berhamburan, dan mengenai mata para penebang kayu. Pedihnya bukan alang kepalang, dan tak lama kemudian mereka buta. Gelap gulita tak melihat apa-apa.

Kalong-kalong berhamburan, terbang saling silang. Desa tampak mendung, matahari tak mampu menembus kepak sayap kalong-kalong yang terus berputar-putar di atas pohon randu alas.

“Kiai, tolong saya,” teriak seorang penebang kayu menangkupkan kedua telapak tangannya ke mata yang terus mengucurkan darah.

“Tenang, tenang, semua ini hanya semu belaka, bukan kenyataan,” sahut Kiai.

Setelah gagal, Kiai itu pulang menggandeng para penebang kayu. Tetapi sebelum masuk ke batas desa, kabarnya mereka dihadang empat ekor ular sendok sebesar bayi. Sinar mata merah menyala-nyala, menunjukkan kemarahan yang begitu besarnya. Ular-ular itu menyerang habis-habisan, gigitan-gigitan ular hampir memenuhi tubuh Kiai dan para penebang kayu. Mereka mati dengan tubuh membiru. Kaku.

Tidak ada yang berani mengangkat mayat-mayat itu, karena warga percaya mereka diserang ular-ular utusan Mbah Putri Ayu. Baru setelah tujuh hari, tujuh malam, mayat-mayat itu hilang dengan sendirinya.

Memang itulah batasnya, ketika mayat dianggap menerima kemarahan Mbah Putri Ayu. Ajaran itu yang selalu dilanggengkan dari satu generasi ke generasi di desa itu.***

Sumber Gambar: Dane Hoang dari Pixabay 

Ikuti tulisan menarik Mukhotib MD lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler