x

Sebanyak 675 santri asal Sumatera Selatan kembali ke pondok untuk mengikuti kegaiatan belajar dengan protokol kesehatan yang ketat guna mencegah penyebaran wabah Covid-19. Antara Foto/Nova Wahyudi

Iklan

Aqeera Danish

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 November 2021

Selasa, 26 Juli 2022 13:20 WIB

Marak Kekerasan Seksual di Pesantren, Apa yang Bisa Dilakukan Orang Tua Santri?

Sedih dan hati teriris menyimak maraknya kekerasan seksual di perguruan tinggi dan pondok pesantren. Banyak orang tidak lagi mempercayai kredibilitas pesantren, hanya karena ulah segelintir sosok yang menyematkan diri sebagai "pemuka agama". Tapi ada langkah antisipatif para orang tua saat ingin menyekolahkan anak perempuannya ke pesantren. Berikut pengalaman penulis yang yang pernah nyantri dan ikut membimbing orang tua yang ingin memasukkan putrinya ke pesantren.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yuk, stop kekerasan seksual di dunia pendidikan!

Beberapa tahun belakangan, dunia pendidikan tanah air sedang berduka dan tidak baik-baik saja. Sebagai pengguna aktif internet, setiap hari kita disuguhi berita memilukan berupa kasus kekerasan seksual di lingkungan yang seharusnya bersahabat dan menjadi ruang aman bagi anak-anak. Baik jenjang sekolah menengah maupun tinggi.

Sedihnya, kabar miris yang tentu membuat hati teriris ini menjelma bak fenomena gunung es. Kekerasan seksual marak terjadi di lingkup perguruan tinggi dan pondok pesantren mencuat ke permukaan dan paling banyak disorot masyarakat. Tak pelak, para orang tua yang memiliki anak di dua lembaga pendidikan tersebut dibuat gusar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berita jeri ini sontak membuat banyak orang mulai dan bahkan tidak mempercayai kredibilitas pesantren. Ponpes menjadi kambing hitam dari boroknya segelintir pihak yang menyematkan diri sebagai "pemuka agama". Lalu, apa yang dapat dilakukan orang tua saat ingin menyekolahkan anak perempuannya ke pesantren? Sebagai seorang anak perempuan yang pernah ‘nyantri’ dan ikut membimbing orang tua yang ingin memasukkan putrinya ke pesantren selama lima tahun terakhir, setidaknya pengalaman berikut dapat dipertimbangkan. Apa saja?

  1. Bulatkan niat kedua belah pihak

Ada sebuah pertanyaan penting untuk anak sekaligus orang tua sebelum memutuskan menimba ilmu di pondok pesantren. Yaitu: "Apa, sih motivasi dari kedua belah pihak?". Dengan pertanyaan ini, baik ayah, ibu, beserta buah hati memiliki alibi kuat yang dapat membulatkan tekad dan niat untuk bersekolah di ponpes.

Layaknya jenjang pendidikan lain, 'nyantri' bukan sekedar trend "ikut-ikutan" arus yang berujung penyesalan. Gelar santri, alumni pondok pesantren kenamaan, atau sebutan tokoh agama tidak dapat dibanggakan untuk ajang pamer semata. Orang dengan cap yang kuat terpatri tersebut harus siap memikul tanggung jawab besar di kedua bahunya.

Mirisnya, masih banyak orang beranggapan bahwa ponpes adalah tempat mendidik "anak nakal" menjadi "anak baik". Institusi ini bukanlah 'tempat buangan' bagi anak yang dianggap 'kurang pintar' hanya karena tidak diterima di sekolah umum. Tidak ada anak nakal atau anak bodoh di dunia ini. Masing-masing dari mereka memiliki kemampuan unik tersendiri.

  1. Pilih jenis pesantren sesuai minat anak

Seperti institusi pendidikan pada umumnya, ponpes terdiri dari beberapa jenis berdasarkan kurikulum, sistem ajar, administrasi dan manajemen pendidikan. Secara garis besar, masyarakat mengenal ponpes salaf, khalaf, dan perpaduan keduanya. Untuk salaf, ponpes mengajarkan kitab islam klasik (kutub turots/kitab kuning) saja kepada para santrinya.

Sementara ponpes khalaf biasa dikenal dengan sebutan pondok pesantren modern yang mengajarkan ilmu agama dan umum sekaligus. Visi dan misi lembaga ini terpusat untuk menyiapkan cendekiawan muslim yang cakap dalam kedua bidang tersebut. Adapun semi salaf-khalaf merupakan kombinasi antara ponpes tradisional dan modern.

Di Indonesia juga mengenal ponpes takhassus yang hanya mempelajari keilmuan islam tertentu. Seperti pondok tahfidz Al-Quran, pondok khusus Hadist, pondok khusus Fiqh, dan sebagainya. Ada pula sekolah formal dengan asrama atau boarding school bersistem pesantren. Dengan beragamnya jenis ponpes, anak dapat memilih sesuai minatnya sendiri.

<--more-->

  1. Cek perijinan pesantren

Tidak seperti sekolah formal negeri, ponpes dapat dibangun karena kemauan dari pendirinya. Maka tak heran, lembaga pendidikan satu ini biasanya memiliki kurikulum dan sistem ajar mandiri yang tidak mengadopsi aturan baku pemerintah. Para pemuka agama bisa dengan mudah mendirikan pesantrennya sendiri setiap waktu.

Kendati demikian, ponpes tidak serta-merta memiliki kekuatan di mata hukum pendidikan Tanah Air. Setiap lembaga pendidikan islam resmi harus terdaftar di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementrian Agama Republik Indonesia (PENDIS-Kemenag). Tidak hanya ponpes, namun juga pendidikan diniyah yang biasa dikenal sebagai madrasah.

Sebelum menentukan ponpes pilihan, orang tua dapat mengecek ijin operasional, akreditasi, serta informasi lengkap institusi secara daring di laman pangkalan data Kemenag. Semua lembaga pendidikan islam resmi yang berijin pastinya tercantum di Education Management Information System Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (EMIS PD-PONTREN).

  1. Teliti pengajaran yang diberikan kepada santri

Beberapa tahun belakangan, citra ponpes sedang berjaya. Namun runtuh seketika oleh kasus kekerasan seksual serta ajaran agama yang melenceng dari seharusnya. Hal ini otomatis memperburuk isu islamofobia. Sebagai orang yang melek dunia internet, pasti kita sering mendengar kalimat "pahami dan pelajari agama islam dari islam itu sendiri".

Pernyataan itu benar adanya. Islam merupakan agama Rahmatan lil 'Alamin, rahmat bagi semesta alam. Saat diaji, dikaji, dan diamalkan secara tepat, hakikat ajaran islam selaras perkembangan zaman. Namun sayang, banyak dalil naqli dan aqli dipahami melenceng atau bahkan dipelintir mengikuti keinginan sekaligus kepentingan sang "pemuka agama".

Alih-alih menjadi pedoman dan rujukan, ayat-ayat suci tersebut sering kali berada di bawah bayang-bayang tradisi feodalisme, budaya patriarki, dan bahkan toxic masculinity. Sehingga menimbulkan doktrin dan dogma yang merugikan umat. Tidak hanya di dunia maya, ajaran menyesatkan ini juga berkembang di berbagai lembaga pendidikan selain ponpes.

<--more-->

  1. Pelajari manajemen dan administrasi pendidikannya

Setelah jenis, perijinan, dan pelajaran yang diberikan pesantren, mengulik manajemen serta administrasinya wajib dilakukan oleh orang tua. Apapun bentuk sekolahnya, dua hal ini penting dipertimbangkan karena menjadi sistem koordinasi dalam mencapai tujuan pendidikan. Terlebih bagi ponpes yang memiliki kurikulum mandiri.

Hal paling mendasar diantaranya metodik pengajaran, jadwal kegiatan belajar mengajar (KBM), masa pendidikan, hingga ketersediaan ijazah. Meski sudah berijin, masih banyak pesantren yang belum atau tidak mengeluarkan ijazah. Terutama untuk ponpes tradisional. Hal ini tentu menyulitkan peserta didik yang ingin melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.

Untuk mendapatkan ijazah kesetaraan, santri secara pribadi maupun diakomodasi ponpes biasanya akan mengikuti ujian persamaan di sekolah lain atau ujian kejar paket. Masa pendidikan di beberapa ponpes ada yang lebih lama dari sekolah umum biasa. Waktunya semakin panjang karena alumni diwajibkan mengabdi dalam kurun waktu tertentu

  1. Peninjauan langsung ke lokasi

Sama seperti membeli rumah atau kendaraan, memilih sekolah untuk anak tidak bisa dilakukan sembarangan. Apalagi untuk ponpes yang akan menjadi "rumah" kedua bagi si buah hati. Disebut demikian karena mereka akan menempatinya selama 24 jam penuh dengan rentang waktu pendidikan tertentu tanpa pendampingan orang tua.

Untuk memastikan ponpes terkait dapat menjadi rumah aman bagi anak, orang tua bisa meninjau langsung ke lokasi agar mengetahui denah, milieu, serta suasana ponpes yang sebenarnya. Terkhusus putri, kedisiplinan keluar-masuk tamu dan santri, jarak asrama/ponpes putra, hingga rumah pengajar laki-laki harus menjadi bahan pertimbangan.

Pada beberapa ponpes dengan manajemen serta administrasi yang sudah tertata rapi, aturan dibuat sangat ketat terutama untuk putri. Bila terpaksa memiliki guru laki-laki, mereka akan tinggal di luar pagar pesantren. Para ustadz tersebut hanya diperbolehkan masuk pesantren saat KBM dengan ruang gerak terbatas antara kantor guru dan kelas.

<--more-->

  1. Cari informasi terperinci melalui alumninya

Kesuksesan pondok pesantren tidak dilihat dari mewahnya gedung yang dibangun, banyaknya santri yang belajar, atau mahalnya biaya yang harus dibayarkan. Keberhasilan sebuah ponpes justru tercermin dari para alumninya saat terjun mengabdi pada umat. Bagaimana ia memposisikan diri sebagai "ulama" sesuai porsi dan bidangnya dalam masyarakat.

Saat ini, calon orang tua santri semakin mudah mencari informasi melalui internet. Di dalamnya kita bisa menemukan deretan publik figur dari berbagai lintas profesi yang merupakan lulusan pondok pesantren. Walaupun tidak selalu dapat dijadikan patokan, kita masih bisa menimbang kualitas almamater dari mereka yang menjadi alumninya.

Jika memungkinkan, calon santri dan orang tua sebaiknya menanyakan informasi secara langsung pada orang bersangkutan. Untuk ponpes yang telah mempunyai nama besar, para alumninya yang solid bak keluarga membentuk kelompok kecil di daerah masing-masing. Mereka biasanya mengadakan kegiatan pengenalan pesantren secara rutin.

  1. Rajin berkonsultasi dengan pengajar

Tahap ini dapat dilakukan baik sebelum ataupun sesudah anak memasuki dunia pesantren. Dimana pun anak bersekolah, orang tua wajib turut serta mendidik mereka bersama para pengajar. Yang sering terjadi di lapangan, ayah dan ibu terkesan abai atau menyerahkan sepenuhnya pada guru dengan alasan sudah membayar uang pendidikan.

Alhasil, banyak orang tua hanya menginjakan kaki di sekolah saat pengambilan raport atau mendapat surat panggilan. Mereka tidak mengetahui apa perilaku dan bagaimana perkembangan anak di luar rumah. Namun ketika anak-anak tersandung masalah, orang tua dengan mudahnya menyalahkan pengajar tanpa mengintrospeksi diri terlebih dahulu.

Hal itu pun lumrah terjadi pada orang tua yang memiliki anak di pondok pesantren. Ayah atau ibu yang berkunjung merasa cukup dengan hanya bertemu anak di bagian penerimaan tamu. Padahal, waktu menjenguk dapat pula dimanfaatkan untuk saling berkonsultasi soal anak bersama pengajar, wali kelas, atau bahkan bagian pengasuhan santri.

<--more-->

  1. Latih anak untuk memiliki boundaries sedari dini

Sekolah pertama bagi setiap anak adalah rumahnya sendiri yang tak lain orang tua. Karakter yang sudah terbentuk di keluarga hanya disempurnakan atau dipoles di sekolah formal. Anak tidak akan selamanya berada di bawah pengawasan langsung ayah dan ibu. Maka dari itu, melatih mereka memiliki batasan diri sedari dini penting dilakukan.

Dengan self-boundaries, anak dapat tegas mengatakan "tidak" saat sesuatu yang tak sesuai terjadi. Apapun lembaga pendidikan yang akan dimasuki kelak, anak harus mempunyai pribadi resilient dan adaptif. Dengan kedua karakter itu, mereka akan dapat bersaing serta bertahan dalam berbagai kondisi. Terutama lingkungan pesantren berdisiplin tinggi.

Sejatinya, ponpes didirikan untuk menggembleng para kader ulama menjadi insan kaffah. Dimana nantinya mereka akan terjun ke masyarakat sebagai pendidik, pengayom, penyejuk, serta pemimpin umat yang berintegritas. Bukan malah menyebar kebencian dan ajaran melenceng, atau menimbulkan huru-hara di tengah masyarakat kita yang majemuk.

Sebagai orang tua, pastikan anak-anak memasuki ponpes yang mendidik, mengaji, mengkaji, dan mengamalkan agama islam sesungguhnya dan sebaik-baiknya. Ponpes ideal tak hanya mentransfer ilmu pengetahuan agama dan umum, lalu memberi gelar ustadz atau ustadzah. Namun juga menggenapi karakter baik anak sesuai kaidah islami yang kamil.

Selayang pandang ponpes di Indonesia

Pondok pesantren memiliki sejarah yang sangat panjang dalam khazanah pendidikan Nusantara. Perkembangannya dimulai pada abad ke-15 dan tidak lepas dari campur tangan para Wali Songo. Lembaga ini berdiri serta berkembang dengan proses yang sangat tidak mudah, perlahan-lahan, dan penuh tantangan. Terutama di jaman penjajahan.

Pada masa penjajahan, ponpes bak benteng pertahanan para pejuang bangsa. Maka tak heran, banyak pemimpin pondok dan santri yang diberangus dan tempat belajar mereka dibumihanguskan oleh Belanda. Pasca Agresi Militer Belanda II di akhir tahun 1948, pamor atau pengaruh ponpes surut karena kalah populer dari sekolah umum yang menjamur.

Melihat sejarahnya, semua institusi pendidikan termasuk pondok pesantren merupakan "badan agung" yang bertujuan untuk mendidik kaum muda-mudi bangsa menjadi manusia prima. Bukan malah merusak dengan ilmu lata atau kekerasan apapun bentuknya. Semua orang bisa mendirikan sekolah atau ponpes, namun hanya sedikit saja yang mampu.

Definisi mampu bukan hanya dari segi finansial, namun secara menyeluruh. Selain ilmu dan pengetahuan mendalam nan luas, para pendiri ponpes beserta staf pengajar harus memiliki karakter pribadi mulia yang layak dijadikan contoh bagi santri. Karena pendidik harus turut mentransfer akhlak, adab, semangat, hingga keikhlasan kepada anak didiknya.

Termasuk dalam kasus kekerasan seksual yang sedang marak. Bukan menjadi ajang keributan yang mencap jelek ponpes secara general, hal ini seharusnya menjadi momentum berbenah pihak terkait. Mulai dari pemerintah, pondok pesantren, hingga orang tua. Bagi ponpes putra maupun putri, semestinya menyertakan Standard Operating Procedure (SOP) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang jelas dan tertata ke dalam aturan disiplinnya.

Pastikan SOP tersebut dapat menjamin kepercayaan sekaligus ketenangan orang tua santri yang telah ikhlas melepas anak-anaknya menimba ilmu di pondok pesantren yang mungkin berjarak ribuan kilometer dari rumah. Tindak tegas pelaku meski itu pengajar, pengasuh, anak Kyai, dan bahkan pendiri pondok sekalipun. Aturan tersebut juga harus memiliki jaminan keberpihakan sekaligus perlindungan penuh terhadap korban.

Posisi Kyai atau ustadz bukanlah dewa atau bahkan tuhan yang dapat dipuja tanpa cela. Mereka tetaplah manusia bernafsu biasa yang dapat melakukan kesalahan. Jangan jadikan agama yang suci sebagai tameng agar bebas melakukan kesalahan tanpa hukuman. Berlindung dari kesalahan dengan menggunakan nama agama adalah bentuk tindakan penistaan agama itu sendiri. Pemuka agama dihormati bukan karena kedudukannya, melainkan karena akhlak, ilmu, dan adabnya.

Ikuti tulisan menarik Aqeera Danish lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler