x

ilustrasi korban

Iklan

Aqeera Danish

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 5 November 2021

Rabu, 14 September 2022 06:41 WIB

Fenomena Kekerasan di Lingkungan Pesantren, Apa dan Siapa Salah?

Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, menjadi sorotan pasca terjadinya kasus kekerasan yang mengakibatkan salah satu santrinya meninggal dunia. Miris, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman dan ‘tumah kedua’ bagi anak-anak justru menjadi markas kekerasan. Selama bergelut dengan dunia pendidikan, penulis memiliki beberapa kegundahan soal pesantren yang mungkin juga dirasakan banyak orang. Apa saja?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pondok Modern Darussalam Gontor yang berlokasi di Desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur menjadi sorotan pasca viralnya kasus kekerasan yang mengakibatkan salah satu santrinya meninggal dunia. Kejadian ini memantik perhatian pengacara kondang Hotman Paris Hutapea yang mendapat aduan ibu korban berinisial AM asal Palembang, Sumatera Selatan.

Miris, lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman dan ‘tumah kedua’ bagi anak-anak justru dijadikan markas kekerasan. Mulai dari fisik hingga seksual. Selama bergelut dengan dunia pendidikan, penulis memiliki beberapa kegundahan soal pesantren yang mungkin juga dirasakan banyak orang. Apa saja?

Minimnya transparansi antara pesantren dan orang tua

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disengaja maupun tidak, masih banyak pesantren memiliki relasi berjarak dengan orang tua. Padahal, kolaborasi keduanya sangat dibutuhkan dalam mencapai visi dan misi pendidikan. Contoh, orang tua tidak diberitahu kondisi anak saat sakit atau mengalami masalah.

 Orang tua memang harus ikhlas mempercayakan anaknya dididik ponpes. Namun, bukan berarti pihak pesantren bisa mengabaikan peran mereka begitu saja. Ada beberapa aspek anak tidak diketahui pengurus ponpes dan hanya dipahami orang tua santri bersangkutan. Komunikasi sehat antara keduanya bisa menjadi jembatan untuk bekerja sama mendidik anak-anak.

Kedisiplinan yang disalahpahami sebagai kekerasan

Pendidikan tegas atau disiplin bukan berarti diperbolehkan bertindak kasar atau bahkan melakukan kekerasan. Ada perbedaan sangat signifikan antara keduanya yang sering disalahpahami. Disiplin positif dan efektif bertujuan untuk membantu, mengajarkan, dan membuat anak mau belajar dari kesalahan serta merasakan konsekuensi atas perilakunya.

Dalam praktek dan konsekuensinya, disiplin tidak dilakukan dengan perintah, teriakan, larangan, ancaman, dan kekerasan dalam bentuk apapun. Konsep tersebut berbanding terbalik dengan didikan keras. Pengasuhan keras menggunakan kekuatan hanya menimbulkan ketakutan dan teror pada anak. Mengaburkan batas antara ketegasan dan kekerasan mengakibatkan perasaan anak terluka dan menghilangkan rasa aman dan kepercayaan dirinya.

Iqab/hukuman yang sering salah sasaran

Masih banyak pesantren menerapkan iqab/hukuman yang tidak tepat sasaran sebagai konsekuensi santri atas perilakunya. Contoh, saat seorang santri telat pergi ke masjid atau kelas. Tanpa aba-aba, ia dihukum dengan cara dipermalukan atau berlari keliling lapangan dengan disaksikan banyak orang. Alih-alih sadar, perasaannya justru terluka.

Pengurus lebih baik menanyakan dan memahami alasan keterlambatannya. Lalu memberi konsekuensi sesuai, seperti menjadi penggerak santri lain agar tidak terlambat. Pola didik disiplin menjadikan anak mandiri dan bertanggung jawab. Sementara didikan kasar menjadikan anak individualis, tidak percaya diri, bermental lemah, hingga senang melakukan kekerasan.

Hierarki kuat dan turun-temurun

  Kisah nyata beberapa tahun lalu, seorang guru muda mengajar di salah satu pondok pesantren di kawasan Kabupaten Bandung. Ia menegur guru senior sekaligus putra pemilik ponpes karena mengajar mengenakan sarung tanpa celana pengaman, kaos oblong, dan menghisap cerutu. Bukan menyadari apalagi berterima kasih, ia justru menghardik dengan kalimat ageism, seksis, hingga misoginis. Dari segi kepantasan berbusana, tentu hal itu tidak layak ditiru.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 115 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015, lembaga pendidikan adalah kawasan tanpa rokok wajib. Potongan kisah itu menggambarkan hierarki ponpes kuat dan turun-temurun Posisi kyai atau ustadz yang dipegang manusia biasa bernafsu begitu dipuja tanpa cela. Fenomena ini menjadi celah empuk terjadinya kekerasan di pesantren.

Tingginya tingkat senioritas yang disalahgunakan

 Tak bisa dimungkiri, kesenjangan antara senior dan junior terjadi di lingkungan pendidikan. Dalam kasus yang sedang ramai, korban adalah santri kelas 5 KMI (Kulliyatu-l-Mu'allimin/Mu'allimat Al-Islamiyah) atau setara kelas 2 SMA. Sementara pelaku adalah santri kelas 6 KMI atau setara kelas 3 SMA. Selain pengurus guru, ponpes menerapkan sistem mudabbir yang diambil dari santri senior.

 Titik rentan sistem ini adalah senioritas yang masif disalahgunakan. Fakta yang sering terjadi, senior mengulangi perilaku serupa yang pernah dilakukan seniornya terdahulu. Termasuk kekerasan. Sejatinya, mudabbir ada guna menjadi pembimbing, pelindung, dan suri tauladan bagi adik kelas atau juniornya. Ia tangan kanan kyai dan guru yang harus mengestafetkan kebaikan dan kebermanfaatan.

Kurangnya perhatian kesehatan mental dan emosional santri

 Baik guru bimbingan konseling di sekolah umum maupun pengasuhan santri di pesantren, semestinya menjadi agen aktif dan positif yang tidak hanya menjaga jalannya kedisiplinan. Namun, turut memperhatikan kesehatan mental dan emosional anak didik.

 Jadi rahasia umum, pesantren memiliki aturan ketat yang cukup bertolak belakang dengan emosi remaja. Bagi sebagian kalangan mungkin tidak masalah, tapi tidak dengan sebagian lainnya. Selain mentransfer ilmu pengetahuan, memastikan anak sehat secara fisik, mental, dan emosional menjadi tugas bersama antara pesantren dan orang tua. Meski jauh dari rumah, jangan biarkan mereka menjalani fase remaja yang kompleks sendirian.

Peran penting orang tua santri

Di Indonesia, sebagian besar santri berada di jenjang sekolah menengah (SMP dan SMA) yang notabene berusia remaja. Karakter dan perilaku mereka sudah terbentuk oleh didikan orang tua. Peran ayah dan ibu memastikan anak tumbuh menjadi manusia berjiwa bersih dan berpeka nurani. Hindari kekerasan apapun bentuknya dalam mengasuh anak. Tegas dan disiplin tak perlu amarah yang hanya mengakibatkan anak tumbuh bersama kebencian.

Saat anak menemui masalah, selalu dengarkan keluh-kesah dan bantu memvalidasi serta meregulasi emosinya. Orang tua harus memahami fase anak-anak dan remaja tidaklah mudah. Apalagi saat anak harus melaluinya dengan kehidupan ketat di pesantren bersama ratusan bahkan ribuan orang yang tentu sulit dimonitor kyai langsung.

Di tengah perkembangan pesat teknologi, anak muda saat ini lebih rentan terpapar konten negatif dan dihantui depresi. Ajarkan definisi kompetisi sehat melalui karya dan kebermanfaatan bagi sesama. Bukan melalui kekerasan. Menjadi pem-bully atau penganiaya sama sekali bukanlah hal hebat. Beri juga pemahaman tentang menerima kekalahan dan penolakan. Anak harus belajar bahwa tidak semua hal di dunia dapat berjalan sesuai keinginan.

Dengan banyaknya kasus kekerasan di dunia pendidikan, seyogyanya menjadi ajang berbenah pihak-pihak terkait. Daripada gaduh saling menyalahkan, lebih baik melakukan evaluasi dan mencari solusi. Dimulai dari lingkup pesantren dan orang tua. Kasus yang terjadi di PMDG harus diusut tuntas demi keadilan korban dan kredibilitas ponpes itu sendiri.

 Toh, pelaku sudah cukup umur di mata hukum. Rerata anak kelas 6 KMI berada di rentang usia 17-18 tahun, bahkan lebih bila mereka berasal dari kelas taksifi/intensif atau santri yang masuk setelah SMP. Di sisi lain, penulis merasa prihatin dengan pelaku. Apa yang membuat mereka dan anak muda lainnya berani melakukan kekerasan hingga menghilangkan nyawa seseorang?

 Dari kronologis yang berseliweran, para pelaku jelas menyalahgunakan tampuk senioritas dan mengalami ketidakstabilan meregulasi emosi. Faktor tersebut diperparah kultur kekerasan dalam maskulinitas beracun yang selama ini dilanggengkan dan diglorifikasi. Sejak kecil, pasti kita tidak asing dengan narasi “laki-laki jantan berani berkelahi”, “laki-laki tidak menangis”, dan lain sebagainya. Harus segera dihentikan, masalah struktural ini nyatanya amat merugikan perempuan maupun laki-laki.

Ikuti tulisan menarik Aqeera Danish lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB