Dari Belobatang ke Amerika Serikat
Sabtu, 30 Juli 2022 15:08 WIBKamis, 19 Mei 2021, ruas jalan sebelum masuk desa Belobatang, Kecamatan Nubatukan. Saya dan seorang teman jurnalis TVRI berjumpa dengan sekelompok warga yang sedang gotong royong (bahasa Lamaholot: gemohing) menambal jalan rusak.
Orang-orang ini adalah warga desa Belobatang, sebuah kampung kecil yang subur, sekitar 15 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Mereka berkerja dengan semangat memperbaiki ruas jalan rusak sebelum masuk kampung. Namun jangan salah, ini bukan proyek jalan yang dikerjakan pemerintah daerah. Bukan juga dikerjakan memakai dana desa. Kalau bukan proyek pemerintah atau dana desa, lalu darimana uang untuk memperbaiki jalan tersebut?
Uangnya berasal dari warga desa Belobatang, Pubokol dan Udak yang berada di perantauan. Atas dasar keprihatinan karena tidak pernah disentuh pembangunan oleh pemerintah, warga diaspora ini secara sukarela mengirim uang kepada satu kelompok yang namanya; Panitia Peduli Jalur Tengah, yang dibentuk awal tahun 2021. Dari uang yang dikirim dari tanah rantau itu, Panitia Peduli Jalur Tengah kemudian membeli material untuk membuat jalan rabat semen.
Nah, Panitia Peduli Jalur Tengah diinisiasi oleh Penjabat Kepala Desa Belobatang, Paskalis Udak (sekarang sudah jadi kepala desa Belobatang) karena pada tahun 2021, tidak ada anggaran dari dana desa yang bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ruas jalan kabupaten. Dana desa tahun 2021 lebih difokuskan untuk kebutuhan pengadaan dan instalasi air bersih. Panitia ini juga dibentuk untuk memupuk semangat gotong-royong atau gemohing masyarakat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang.
Jalur Tengah sendiri adalah sebutan orang Lembata untuk wilayah yang mencakup desa Bakalerek, Paubokol, Belobatang dan Udak. Wilayah ini berkontur lembah dan pegunungan subur dan cocok untuk lahan pertanian. Beberapa komoditi seperti kemiri, mente, tanaman-tanaman holtikultura dan porang tumbuh subur di kawasan ini. Maka tidak heran, mayoritas warga yang tinggal di sana bekerja sebagai petani, menggarap tanah sebisa mereka dan berharap hidup dari jual-beli komoditi pertanian.
Jalur Tengah adalah surga pertanian di Kabupaten Lembata. Rupa-rupa tanaman pertanian tumbuh subur di sana. Memilih menjadi petani adalah jalan menuju surga sebenarnya. Seorang petani bisa menanam pelbagai jenis tanaman dengan pola pertanian holtikultura seperti singkong, ubi jalar, bengkuang, jagung, padi, bawang merah, wortel, jahe, tomat, dan kentang. Di atas lereng-lereng bukit dan hamparan tanah yang tinggi, tanaman-tanaman ini tumbuh subur hanya dengan mengandalkan tetesan embun malam hari.
Sayangnya, kesuburan tanah dan segala jenis potensi di wilayah Jalur Tengah tidak setali tiga uang dengan kondisi infrastruktur di sana. Ruas jalan di wilayah ini sangat memprihatinkan. Jalannya sempit di antara rimbunnya pepohonan; berpasir, berbatu dengan medan yang berliku-liku dan penuh tanjakan. Di saat musim hujan, situasinya bahkan lebih parah. Akses jalan antar kampung atau menuju ke Kota Lewoleba bisa saja putus total. Ini menyulitkan warga mengangkut komoditi dari kampung ke pasar di Kota Lewoleba atau bahkan keluar pulau.
Seperti yang dialami Padensius Rimon, seorang sopir angkutan dari desa Belobatang, pada Desember 2020 yang lalu. Hujan lebat memutus akses jalan Trans Wulandoni melalui Jalur Tengah. Terdapat satu ruas jalan tanjakan antara desa Belobatang dan Pubokol yang terkikis air hujan hingga tidak bisa dilalui kendaraan sama sekali. Kondisi akses jalan yang putus total ini membuat Padensius khawatir. Masalahnya, tiga hari lagi dia harus mengantar ribuan buah nenas ke Kupang melalui Pelabuhan Feri Waijarang. Itu buah nenas milik warga desa Belobatang yang dipesan khusus oleh pengusaha selai di Kota Kupang. Waktu itu pesanan selai meningkat di sana menjelang Hari Raya Natal yang berpengaruh pada meningkatnya permintaan buah nenas sebagai bahan baku selai.
Rimon hanya bisa pasrah, sambil berharap ada alat excavator yang datang dan membuat normalisasi supaya jalan tersebut bisa dilintasi kendaraan roda dua atau roda empat. Namun, membayangkannya hanya membuang-buang waktu. Ribuan nenas dari Belobatang yang dibawa oleh Rimon tidak jadi dikirim ke Kupang. Ya, karena pemerintah telat membuka akses jalan tersebut.
Sejak tahun lalu, pemerintah akhirnya memperbaiki ruas jalan putus yang dikeluhkan oleh Rimon itu, kira-kira sepanjang 100 meter, dengan rabat semen. Perbaikan jalan cukup membantu, namun tetap saja ada sejumlah kerusakan serupa di ruas lainnya.
Saat Thomas Ola Langoday menjabat bupati, pemerintah daerah mengajukan pinjaman daerah kepada pemerintah pusat sebesar Rp 225 miliar untuk kepentingan perbaikan infrastruktur fisik di seluruh pulau Lembata. Meski pinjaman ini akan berdampak pada kemampuan keuangan daerah untuk melunasi utang, paling tidak kita sejenak bisa membayangkan mulusnya jalan aspal sampai ke kampung-kampung terpencil di Boto, Puor, Lamalera, Wulandoni, atau pun dalam Kota Lewoleba itu sendiri. Membuka akses, frasa yang sering digaungkan oleh para politisi di hadapan warga, setidaknya bisa menjadi kenyataan, bila memang terwujud dan terlaksana secara baik.
Lalu, apakah pinjaman daerah ini juga akan berdampak pada wilayah subur Jalur Tengah Lembata? Jawabannya tidak.
Saat berkunjung ke desa Paubokol, 26 Januari 2022, Bupati Thomas kala itu berujar bahwa ruas jalan jalur tengah akan diperbaiki menggunakan dana bencana alam dari BNPB. Ruas jalan dimaksud juga diusulkan beralih status dari jalan kabupaten menjadi jalan negara. Entahlah, dengan segala jenis kebijakan apa saja, warga hanya perlu peningkatan kualitas pembangunan di wilayah mereka. Tapi kalaupun tidak terlaksana, setidaknya pemerintah sudah kembali menegaskan kesukaan mereka; bikin janji yang sudah sering menjadi santapan warga selain nasi dan jagung.
Dari potret kehidupan semacam inilah, di Paubokol, sebuah kampung kecil di kawasan Jalur Tengah, saya berkenalan dengan seorang anak muda berbakat. Pemuda cungkring hitam manis yang sedang menyelesaikan studi hukum di sebuah kampus swasta di Jakarta. Dia punya minat pada dunia fotografi dan videografi, dan untuk itu pun sedang merintis karier sebagai youtuber.
Kami berkenalan sejak dua tahun lalu karena kesamaan minat pada dunia film, seni, dan musik. Kepada saya dan beberapa teman, dia memperkenalkan diri sebagai Yoris Wutun. Kami berdiskusi juga berdebat banyak hal, lintas disiplin ilmu dan tema. Kadang sampai larut malam hanya dengan segelas kopi. Kadang pula sampai matahari terbit lagi.
Yoris, 22 tahun, paling muda di antara lingkaran diskusi kami, menunjukkan kalau dia punya pemikiran kritis terutama pada agama dan tradisi-tradisi yang dia anggap diskriminatif. Pada agama, dia tegas menguji dalil-dalil agama tentang eksistensi Tuhan, meskipun kadang dia perlu lebih banyak referensi untuk memperkuat tesisnya. Tapi, untuk ukuran anak seusia dia, seorang teman saya, Aldino, pernah berujar, 'bagaimana bisa di kampung terpencil, subur dan dan jauh dari kiblat kemajuan dunia, lahir anak yang unik ini?'
Pada September 2022, Yoris akan terbang ke Amerika Serikat. Anak petani dari desa Belobatang ini terpilih mewakili Indonesia menjadi salah satu anggota Global Youth Panel atau panelis muda Plan Internasional bersama seorang temannya dari Bali. Dia menyisihkan puluhan peserta yang melamar dari seluruh Indonesia.
Yoris akan berbicara dalam sebuah forum internasional tentang pendidikan di masa tanggap darurat di Lembata yang dilanda bencana dan pagebluk Covid-19.
Ada banyak orang yang turut berbangga dengan prestasinya ini. Orangtua, keluarga, sahabat dan orang-orang di kampungnya.
Anak ini masih sangat muda, punya banyak mimpi dan obsesi. Masa depannya masih panjang dan tidak bisa ditebak. Yang pasti alam sudah memastikan bahwa, dari sebuah kampung yang subur dan luput dari sentuhan pembangunan, telah lahir seorang pemuda yang suaranya akan didengar dunia.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Seember Kerang dan Siput di Rumah Mama Yoram; Cerita Dari Lembata
Selasa, 26 Desember 2023 13:05 WIBDoa Ibu di Sepanjang Usia
Sabtu, 11 Maret 2023 06:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler