x

Penampakan yang diduga bantuan sosial (bansos) presiden yang ditimbun di kawasan Kampung Serab, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Minggu, 31 Juli 2022. Sejumlah barang diduga bansos presiden ditemukan tertimbun di dalam tanah. TEMPO/M Taufan Rengganis

Iklan

Geovanny Calvin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Senin, 8 Agustus 2022 21:31 WIB

Menalar Kuburan Beras Bansos Depok

Penggudangan beras selama lebih dari setahun sebenarnya mengindikasikan adanya hambatan operasional. Ada masalah dalam proses distribusi sehingga mekanisme penyaluran sedikit terhambat. Keterlambatan operasional dalam pendistribusian perlu mendapat perhatian serius. Hal ini akan sangat berkaitan dengan kualitas dan profesionalitas PT bersangkutan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepekan ini ada kasus yang menarik perhatian saya, yakni penemuan timbunan beras sebanyak 1-2 ton di sebuah lahan di Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Sudah sekitar setahun lebih timbunan beras itu dikubur sedalam tiga meter di bawah lahan milik warga. Selama itu pulalah sebuah masalah tersembunyi dari mata publik dan media.

Dalam penyelidikan lebih lanjut, diketahuilah bahwa beras itu adalah Bansos dari pemerintah pusat pada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Rencananya subsidi beras tersebut akan disalurkan ke rumah-rumah warga untuk menyokong kebutuhan selama pandemi berlangsung. Adalah PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir, selanjutnya cukup disingkat JNE, yang dipercayakan untuk menjadi distributor utama.

Sebagaimana telah diklarifikasikan oleh pihak JNE, bantuan yang sengaja ditimbun tersebut adalah beras yang sudah rusak dan tak layak konsumsi. Subsidi beras tersebut sempat disimpan selama 1,5 tahun di dalam gudang sebelum akhirnya ditemukan dalam kondisi rusak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jumlah subsidi beras yang ditimbun itu hanya sekitar 0,05% dari total subsidi yang diterima distributor dari pemerintah pusat. Sebagian besar subsidi justru sudah tersalurkan secara merata di kalangan masyarakat yang memang membutuhkannya di masa krisis global tersebut.[1](1)

Beberapa media melansir berita tentang penghentian proses penyelidikan kasus tersebut oleh Polda Metro Jaya. Terlepas dari tuduhan dan asumsi publik tentang adanya tindakan pidana korupsi (tipikor) dalam kasus tersebut, pihak Polda Metro Jaya menyatakan ketiadaan tindak pidana pasca penyelidikannya. Kasus berakhir dan berita tersebut menjadi sekedar isu minor yang terlupakan oleh isu-isu yang lebih besar skalanya dan lebih sensasional citranya.

Melalui tulisan ini, saya tidak sedang membangun narasi tandingan terhadap keputusan lembaga keamanan dalam hal ini Polda Metro Jaya. Saya hanya sekedar membangun sebuah asumsi dan penalaran kritis yang barangkali sempat meleset dari amatan banyak pihak. Barangkali ada sejumlah gagasan dan buah pikiran yang patut dipertimbangkan. Ada tiga poin penting yang melandasi nucleus penalaran kritis saya sebagai berikut.

Revitalisasi Operasional

Beras rusak yang ditimbun telah sebelumnya berada di gudang JNE selama kurang lebih 1,5 tahun.  Beras menjadi rusak karena tersimpan dalam jangka waktu yang lama di JNE.

Dalam kurun waktu lebih dari setahun, penimbunan beras dapat mengurangi kualitasnya atau bahkan merusaknya sama sekali sehingga tak layak konsumsi. Dalam proses penyimpanan, apabila kemasan beras terbuka dan terkontaminasi dengan faktor-faktor eksternal seperti kutu atau tingkat kelembapan ruangan, ia akan menjadi segera rusak.

Barangkali aspek sanitasi dan kelayakan gedung penyimpanan milik JNE perlu mendapat perhatian yang lebih proporsional dalam seluruh kerja distribusinya.

Kasus yang sama pernah dialami oleh Bulog (Badan Urusan Logistik) pada tahun 2019 silam. Sebanyak 20.000 ton beras cadangan pemerintah terancam busuk setelah mendekam lebih dari empat bulan di gudang penyimpanan dengan kondisi yang kurang kondusif.[2](2) Konteks ini memberi gambaran tentang pentingnya kelancaran sebuah proses distribusi agar komoditas dimanfaatkan secara optimal oleh semakin banyak konsumen.

Penggudangan selama lebih dari setahun sebenarnya mengindikasikan adanya hambatan operasional. Ada masalah dalam proses distribusi sehingga mekanisme penyaluran sedikit terhambat. Keterlambatan operasional dalam pendistribusian perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini akan sangat berkaitan dengan kualitas dan profesionalitas PT bersangkutan.

Pihak PT perlu merevitalisasi mekanisme internalnya agar setiap komoditas disalurkan dan dimanfaatkan sehabis-habisnya, bukan ditimbun hingga kehilangan daya fungsionalnya.

Menurut saya, revitalisasi teknis ini menjadi begitu penting saat itu karena realitas pandemi yang sedang dihadapi rakyat dengan dampak terbesarnya pada sector ekonomi domestik. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, sebagaimana ditulis Kompas.com, melaporkan kenaikan presentasi pengangguran dari 4,9% ke 7% atau setara dengan 9,7 juta jiwa selama pandemi.[3](3)

Angka ini akan diikuti dengan menurunnya daya beli masyarakat, bahkan untuk membeli beras untuk konsumsi harian. Subsidi pemerintah, untuk tidak dikatakan memenuhi, barangkali sedikit membantu rakyat terdampak, dan oleh sebab itu proses distribusi tak boleh terhambat dan harus profesional.

Taat Perda

Secara ironis, beras yang yang dianggap rusak dibuang secara sembarangan dengan cara ditimbun di sebuah lahan yang bukan berfungsi sebagai tempat pembuangan akhir. Tindakan ini jelas berseberangan dengan Perda yang berlaku terkait menejemen pengelolaan sampah.

Kalau tidak salah, Kota Depok memiliki Perda yang mengatur pembuangan sampah sebagaimana termaktub dalam Perda No. 16 tahun 2012 dan No. 5 tahun 2004. Perda ini mengatur secara jelas isu terkait sampah dan pengelolaannya yang lebih ramah lingkungan. Ada sanksi yang dikenakan bagi pribadi atau sebuah badan usaha yang melanggar pasal-pasal di dalamnya.[4](4)

Tindakan penimbunan sembarangan subsidi oleh JNE jelas melanggar pasal-pasal dalam Perda setempat. Jeratan ini tak bisa dianggap remeh sebab ada sekitar 3 ton beras yang tertumpuk dan butuh penanganan lebih lanjut. Barangkali kemasan beras yang tertimbun dibuat dari bahan yang tidak bisa terurai secara alamiah. Bukanlah berlebihan jika saya melihatnya sebagai sebuah tindakan pencemaran lingkungan.

Alih-alih dibuang, beras yang rusak sebenarnya masih memiliki daya kemanfaatan bila diolah menjadi komoditas lain seperti pakan hewan, tepung dan penghasil ethanol sebagai alternatif pengganti bahan bakar bensin.[5](5) Pengelolaan kembali semacam ini dapat mereduksi intensitas produksi sampah berlebih dan lebih bernilai ekonomis.

Beras dan ‘Kerja’ Kemanusiaan

Beras rusak yang tertimbun di lahan antah berantah hanya 0,05% dari total jumlah beras yang diterima dari pemerintah. Persentase ini terkesan mendorong kita untuk tidak terlalu khawatir dengan ‘sedikit’ beras yang terbuang tersebut.

Saya melihatnya dengan kacamata filosofis. Beras tersebut bukan sekedar komoditas yang bisa diukur dalam kalkulasi ekonomi. Saya cenderung melihat beras Bansos tidak hanya sebagai sebuah komoditi, melainkan sebuah hasil kerja kemanusiaan sekelompok petani. Kantong-kantong beras itu lahir dari kerja dan keringat petani, yang juga pada saat yang sama terdampak oleh pandemi Covid-19.

Aspek ‘kerja’ ini dikhianati dan dilenyapkan makna terdalamnya karena tindakan sewenang-wenang penimbunan beras di Depok. Hal ini dimungkinkan karena tiga ton beras tersebut hanya dimengerti sebatas sebuah komoditas yang bisa dibuang dan dibeli lagi, tanpa punya nilai perjuangan kemanusiaan di dalamnya. Ada tiga aspek, sebagaimana pemahaman Franz Magnis-Suseno atas kerja, yang terkhianati secara berbahaya; reproduksi material, integrasi sosial dan aktualisasi diri.[6](6)

Pertama, pengabaian terhadap kasus ini sama halnya dengan pengabaian terhadap kerja para orang kecil dan kaum marginal untuk mereproduksi material (beras) demi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Memproduksi beras adalah manifestasi paling konkret dari kerja para petani untuk memelihara hidupnya. Menimbun dan membuang beras secara sewenang sama saja dengan menimbun dan membuang makna hidup mereka.

Kedua, kerja untuk menghasilkan beras merupakan usaha integrasi sosial. Dengan cara tersebut, petani memiliki peran sosial dalam rantai ekonomi lebih luas. Ia berkontribusi terhadap kebutuhan masyarakat dan diterima sebagai bagian esensial darinya. Pembuangan beras di Depok mencederai peran sosial mereka dan mengkhianati kontribusi besar petani di masa krisis global.

Ketiga, usaha menghasilkan beras, yang kelak jadi subsidi pemerintah, mengandung di baliknya usaha aktualisasi diri para petani kecil. Mereka mengembangkan kemampuan dan potensi untuk menghasilkan komoditas yang tidak hanya bermanfaat bagi orang lain tetapi juga memajukan makna kemanusiaan mereka sendiri. Mari kita hargai hasil kerja mereka dengan pemanfaatan yang optimal. 

Di atas segalanya, kita patut bersyukur bahwa berton beras yang ditimbun itu telah diganti dengan beras yang lebih layak dan telah diterima oleh masyarakat pada masa klimaks pandemi Covid-19, sekitar Mei-Juni 2020 silam. Seluruh Bansos dari pemerintah telah didistribusikan secara tuntas, terlepas dari yang ditemukan tertimbun di Depok. Sejauh ini tidak ada pihak yang dirugikan, baik pemerintah pusat melalui Bulog, penerima bantuan, maupun pihak distributor. Mari kita kawal kebijakan negara bersama-sama.

 

 

 

[1] (1)Herdi Alif Al Hikam, “Menguak Kronologi Kasus Beras Bansos yang Ditimbun di Depok”, detikfinance, edisi 03/08/22, diakses pada 06/08/22.

[2] (2)Yayu Agustini Rahayu, “3 Penyebab 20.000 ton Beras Bulog Terancam Busuk”, Merdeka.Com, edisi 3 Desember 2019, diakses pada 6 Agustus 2022, https://www.merdeka.com/uang/3-penyebab-20000-ton-beras-bulog-terancam-busuk.html).

[3] (3)“Pandemi Covid-19, “Jumlah Pengangguran di Indonesia Naik 9,7 Juta Orang”, KOMPAS.COM, edisi 10 Maret 2021, diakses pada 6 Agustus 2022.

[4] (4)“Buang Sampah Sembarangan di Depok Bisa Kena Denda Rp. 25 Juta”, KOMPAS.COM, edisi 4 Maret 2019, diakses pada 6 Agustus 2022.

[5] (5)Efrem Siregar, “Buwas Sulap Beras Rusak Bulog Jadi Tepung Hingga Ethanol”, CNBC Indonesia, edisi 5 Desember 2012, diakses pada 6/08/22.

[6] (6)Franz Magnis-Suseno, Kota dan Kerja (Jakarta: Rangkaian Studium Generale, 2009), hlm. 4.

Ikuti tulisan menarik Geovanny Calvin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler