x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Senin, 8 Agustus 2022 21:39 WIB

Zarah

Pencarian dirinya dengan meninggalkan karnaval kehidupan bukanlah tentang menemukan segala hal yang pernah ditinggalkan dan dianggap hilang. Namun, menerima kehilangan dengan baik-baik saja. Altus, menyalinnya selentur alur yang masih acak pada setiap zarah di aorta. Kegelapan tidak pernah menawarkan suatu fobia selain gugat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pukul lima kosong dua, tanpa aroma lembab daun-daun serta tetes embun, berjalan meyusuri lorong yang begitu sempit. Tanpa penerangan pun penandaan yang mengarahkan akhir lorong ini. Pecahan batu-batu bercampur tanah basah digenang busa sisa cucian, juga buangan minyak sayur. Seseorang berjalan dengan harapan menemukan cahaya dari sebuah rumah. Namun, yang dilihatnya hanyalah bayangan dari tubuhnya sendiri, serupa pecah samar.

Nafasnya menggema dalam pantulan di dinding-dinding yang terayak tidak teratur dengan retakan yang terasa tajam dalam raba. Ada hati yang teremas cemas, ada pikiran yang teracak kalut, namun matahari belum kunjung hadir. Kedua kakinya berlomba dalam imajinasi yang meranggas perlahan.

Melawannya, adalah hal terkonyol tadi malam. Tidak seharusnya aku lakukan itu!”, gumamnya.

Dirinya berjalan dengan penuh kutukan pada diri sendiri. Tanpa menyadari bahwa dari arah tepian pada bagian atas dari dinding-dinding di lorong ini, beberapa mata bagaikan kilau tombak-tombak telah mengikuti langkahnya memancar jeli. Dirinya terus bergumam untuk menghalau gundah yang semakin menekan kewarasannya di lorong yang hanya dapat dilewati satu badan orang dewasa serta satu badan anak yang berusia sekitar tujuh tahun. Mungkin benar, bahwa kecepatan waktu bukanlah cara mengukur gelap yang sempit.

Dia melihat ada cahaya, mungkin kau harus menetapkan langkahnya, semua sudah terjadi.”

Gumam bunyi-bunyian perlahan terdengar lembut dari retakan dinding. Altus masih melangkahkan kedua kakinya yang mulai hilang di lepuh fobia. Tetap tatap memutar gentar sepanjang lorong gelap berganti jernih batu-batu sebagai alas melangkah. Terompah kayu ditinggalkannya sebelum langkah berdegup memasuki perjalanan yang teramat asing. Meninggalkan maraknya putar negeri bukanlah kehendak yang pernah diinginkannya, selain berjalan dalam penghabisan. Matahari memuai timbul bagaikan bangkit hati.

Pencarian dirinya dengan meninggalkan karnaval kehidupan bukanlah tentang menemukan segala hal yang pernah ditinggalkan dan dianggap hilang. Namun, menerima kehilangan dengan baik-baik saja. Altus, menyalinnya selentur alur yang masih acak pada setiap zarah di aorta. Kegelapan tidak pernah menawarkan suatu fobia selain gugat.

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB