Komitmen dalam suatu hari pada delapanbelas Agustus. Ya, bisa jadi, itulah yang tertanam di proses hidup paska pesta akbar tentang peristiwa merdeka. Pun, pada satu-satunya komitmen, yang terbaik takkan mudah terpatahkan, mengukir bagaikan endapan pertahanan kesadaran tanpa membutuhkan filosofi terumit selain praktek nyata menjadi merdeka dalam kebersamaan. Mungkin dalam hal ini, cinta menjadi bukti sumpah darah sampai pagut di mati tubuh. Selebihnya, berjalan mengheningkan cipta dan menatap pembangunan dari peristiwa kemerdekaan.
Apakah saya telah jujur memahami rasa para veteran tentang “merdeka” dan “cinta”?
Hari tingginya pancang kepala luruh tertunduk dalam-dalam atas sebuah negeri yang telah merdeka. Sementara, masih banyak nisan-nisan tanpa nama yang terabaikan enggan meminta harta negara. Di proses ini, saya selalu mempertanyakan satu hal yang telah menjadi kekacauan diri paling personal. “Apa Arti Cinta?” Apakah cinta menjadi sesuatu yang dinilaikan dalam pelunasan? Manakala ia dihadapkan pada prinsip kepemilikan berlandaskan ragam pertanyaan yang konyol tentang cinta? Saya rasa tidak demikian. Ini bukan tentang nilai yang dapat tergantikan, tetapi, sebuah komitmen atas eksistensinya di kehidupan.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Betapa mudahnya kehidupan yang tidak benar-benar mengalami medan perang dan angkat senjata. Bahwa komitmen pada kematian bukanlah momok yang mengerikan. Ini mengingatkan saya kepada suatu “cry over the wars”. Suatu entropi memang tidak ada yang cukup maksimal ketika memberi efek material mulai mendominasi pembangunan. Terkadang, keteguhan terguncang hingga fractal, serupa lubang hitam penggumpalan eforia kebutaan atas dampak radiasi pecah selang. Tentang satu proses penyempurnaan seluruh rencana Persatuan Indonesia, hingga Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kembali pada pertahanan kesadaran dalam kebersamaan, di nisan-nisan tanpa nama telah memapah pencarian diri serta kedirian yang paling mendasari jalan hidup dalam mutual bersosial: “Apa Arti Cinta?”, “Apa Arti Merdeka?”, dan “Apa Makna Komitemen Hidup?”, bahwa pernah ada yang telah mencatat sebagaimana merdeka dalam De Rerum Natura tentang Bhinneka Tunggal Ika.
Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.