x

Iklan

Mohammad Imam Farisi

Dosen FKIP Universitas Terbuka
Bergabung Sejak: 17 Februari 2022

Kamis, 18 Agustus 2022 22:56 WIB

Apa Kabar RUU Sisdiknas?

Sejak awal, penyusunan RUU Sisdiknas pengganti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sudah menimbulkan kontroversi di ranah publik. Apakah masih dalam tahap "perencanaan" (tahap I) atau sudah memasuki tahap "penyusunan" (tahap II). Sejak heboh tiga bulan lalu (Mei 2022), kini tidak ada lagi gegap gempita terkait dengan pembahasan Draft RUU Sisdiknas. Suaranya nyaris tak terdengar lagi. Publik pun tidak tahu bagaimana progres terkini dari revisi/penyempurnaan Draft RUU Sisdiknas berdasarkan hasil Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT)/ Uji Publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Awal tahun 2022 publik dihebohkan dengan beredarnya Draft RUU Sisdiknas yang didesain akan menjadi omnibus law yang akan mengintegrasikan norma-norma pokok tiga UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Revisi dan integrasi ketiga UU tersebut menurut pihak Kemdikbudristek dimaksudkan: (1) melaksanakan amanah UUD 1945 tentang satu sistem pendidikan yang lebih sederhana, dan tidak tumpang tindih; (2) merespon perkembangan yang cepat, sehingga RUU disusun lebih fleksibel, dan tidak terlalu rinci; dan (3) untuk mengakomodasi semua putusan Mahkamah Konstitusi terkait tiga UU yang diintegrasikan.

Heboh, karena pihak Kemdikbudristek menyatakan bahwa pembentukan RUU Sisdiknas masih “tahap perencanaan” (tahap I), dan belum disusun Draftnya (Tahap II). Draft RUU akan disusun dan dipublikasikan setelah disetujui masuk Prolegnas DPR (siaranpers, 24/02/2022). Tetapi anehnya, draft RUU justru sudah beredar di publik, yang mungkin saja dalam beberapa versi draft yang berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari dokumen Lembar Disposisi pimpinan DPR ke Kapus PUU Badan Keahlian DPR (21/01/2020), pembentukan RUU Sisdiknas sebenarnya sudah disetujui dan diputuskan dalam rapat internal Komisi X DPR RI masuk dalam Program Legislasi Prioritas Tahun 2020. Pimpinan DPR juga telah meminta mereka untuk Menyusun Draft Naskah Akademik dan RUU Sisdiknas. Sesuai dengan keputusan tersebut, maka pembentukan RUU Sisdiknas sudah masuk pada tahapan penyusunan (Tahap II), bukan tahapan perencanaan (Tahap I) sebagaimana siaran pers Kemdikbudristek, atau klarifikasi dari pihak Sekjen Kemdikbudristek (31/05/2022). Penelusuran pada portal DPR RI (https://www.dpr.go.id/) pada menu “legislasi”, juga menemukan bahwa RUU tentang Perubahan UU 20/2003 Sisdiknas telah telah diusulkan pada tanggal 17 Desember 2019, dan terdaftar pada nomor 151 sebagai Prolegnas Tahun 2020—2024.

Inilah fakta yang sesungguhnya. Apalagi, bulan Januari—Februari 2022 Kemdikbudristek telah menyelenggarakan empat kali Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT)/ Uji Publik terhadap Draft RUU Sisdiknas. Uji publik melibatkan perwakilan pemangku kepentingan, seperti perwakilan organisasi dan asosiasi profesi guru, akademisi, organisasi kemasyarakatan, penyelenggara pendidikan, dan pemerintah daerah.

Hal-hal pokok yang menjadi bahan diskusi/uji publik awal terkait dengan kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antardaerah dan inovasi, kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar, kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional, dan kebijakan peningkatan otonomi serta perbaikan tata kelola pendidikan tinggi.

Heboh, karena pada draft RUU Sisdiknas tersebut juga ada beberapa hal penting dan krusial tidak ada atau “hilang/raib”, sehingga memunculkan sejumlah ktitik keras dari publik.

Misalnya, hilang/raib pasal-pasal yang memuat tentang “madrasah”, hal mana dipandang akan menguatkan dikotomi sistem pendidikan nasional, membangun kesenjangan mutu pendidikan antara sekolah dan madrasah, dan dapat mengusik kesatuan bangsa (Isom, 01/04/2022). Persoalan tentang madrasah atau secara umum tentang “pendidikan agama” sesungguhnya sudah menjadi isu dan objek tarik-menarik kepentingan di kalangan masyarakat sejak RUU SPN 1988, dan RUU Sisdiknas 2003 (Assegaf, 2003).

Ketentuan lain yang hilang/raib adalah tentang “pendidikan jarak jauh” dan “pendidikan terbuka”. Hal mana telah menghilangkan salah satu prinsip dalam sistem pendidikan nasional, yaitu prinsip fleksibilitas. Sebuah prinsip yang memungkinkan seseorang untuk mengikuti studi secara lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system) dan prinsip pendidikan sepanjang hayat (Farisi, 2022a; 2022b).

Selain itu, Draft RUU Sisdiknas juga dikritisi oleh Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI), karena tidak disertai dengan peta jalan atau road map Pendidikan nasional yang jelas yang memuat arah pengembangan sistem Pendidikan nasional Indonesia (Republika, 30/05/2022). Yang lebih menghebohkan lagi, ternyata Presiden Jokowi “tidak tahu ikhwal proses pembentukan RUU Sisdiknas”, sebagaimana terungkap saat beraudiensi dengan APPI (30/05/2022).

Tiga bulan telah berlalu, sejak Mei 2022. Kini tidak ada lagi gegap gempita terkait dengan pembahasan Draft RUU Sisdiknas. Suaranya nyaris tak terdengar lagi. Publik pun tidak tahu bagaimana progres terkini dari revisi/penyempurnaan Draft RUU Sisdiknas berdasarkan hasil Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT)/ Uji Publik. Pada portal DPR RI (https://www.dpr.go.id/) juga belum ada satupun dokumen draft awal Naskah Akademik dan RUU Sisdiknas. Demikian pula tidak ada catatan atau rekam jejak terkait dengan perkembangan terkini dari penyusunan RUU Sisdiknas.

Status Penyusunan RUU Sisdiknas

Semoga saja senyapnya pemberitaan tentang pembahasan penyusunan Draft RUU Sisdiknas tidak melenakan publik untuk terus memantau dan mengkritisinya baik secara formal maupun materiil (substansi). Dalam proses pembentukan legislasi, partisipasi publik sejak awal mutlak harus dilakukan sebagai implementasi dari asas “keterbukaan”, dan merupakan komitmen demokratis untuk menjalankan good governance dalam setiap pengambilan keputusan atau “a democratizing decision-making” (Gundling, 1980). Tujuannya tidak lain adalah agar setiap peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk UU benar-benar mencerminkan kebutuhan, kepentingan, serta keinginan masyarakat luas.

Jangan sampai terjadi, sejumlah persoalan partisipasi publik yang menggelayut pada proses pembentukan sejumlah RUU, terjadi lagi pada RUU Sisdiknas. Apalagi kemudian diresonansi oleh sejumlah pihak terkait adanya persekongkolan kepentingan eksekutif dan legislatif, serta berbagai pihak terkait oligarki politik dan oligarki bisnis, yang memerlukan kewaspadaan publik (Azra, 2022).

Jika proses legislasi abai terhadap partisipasi publik, dan terjebak dalam semangat elitisme, maka materi muatan undang-undang tersebut akan mengambil jarak dengan kepentingan hukum masyarakat. Dampaknya amat jelas, UU tersebut rentan dibatalkan melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (Isra, 2016). UU tersebut juga tidak efektif mencapai tujuan yang diharapkan (misalnya: UU 22/1999); tidak implementatif sejak diundangkan atau gagal sejak dini (misalnya: UU 31/1999); tidak responsif dan mendapatkan penolakan yang keras dari masyarakat (misalnya: UU 24/2007, UU 23/2014, UU 11/2020); dan menimbulkan kesulitan baru di masyarakat (misalnya: UU 28/2004) (Setyowati, 2012; Farisi, 2019).

Jangan sampai terjadi pula, proses legislasi distigmasi sebagai yang “paling berdarah dalam sejarah Indonesia”, seperti pada pembentukan UU 24/2007  (Zaenal, 2020).

 

Tangsel, 18 Agustus 2022

Ikuti tulisan menarik Mohammad Imam Farisi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB

Terpopuler

Orkestrasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 13 Maret 2024 11:54 WIB