x

alat mengkap sirib\xd

Iklan

Try Adhi Bangsawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 19 Mei 2022

Sabtu, 27 Agustus 2022 07:07 WIB

“Impun” di Kampung Penyamaran Terakhir Tan Malaka

Di Bayah, Lebak, Banten Selatan, terdapat kebudayaan lokal untuk panen ikan Impun tiap sebulan sekali ditanggal 25 (Bahasa Sunda: Salawena) bulan Hijriyah. Konon aktivitas ini sudah muncul sejak Bayah ada. Menangkap ikan Impun tidak saja menjadi medium silaturahmi warga Bayah dan sekitarnya, tapi ada roda ekonomi yang berputar dan denyut kebudayaan yang terjaga. Di sinilah penyamaran terakhir Tan Malaka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bayah, Lebak, Banten Selatan, konon katanya menjadi tempat penyamaran terakhir tokoh revolusioner Tan Malaka. Selama hidupnya, Tan hidup dalam pelarian yang sungguh panjang. Selama 20 Tahun hidup dalam penyamaran, memiliki 23 tiga nama berbeda, bisa berbicara dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Rusia, Filipina, dan lainnya, serta menjelajah Benua Asia, Eropa, dan Rusia. Tetapi sayang seribu sayang, kematiannya menyisakan banyak pertanyaan yang besar.

Bayah, tidak saja dikenal sebagai wilayah yang disinggahi oleh Ilyas Hussein (nama Tan Malaka ketika di Bayah), Bayah juga masuk dalam sebaris kisah kekejaman Jepang di zaman Romusha 1942-1944. Ambisi Jepang dalam perang Asia Timur Raya, menyeret Bayah menjadi saksi dari semua itu. Bahkan hingga kini, sejarah Romusha masih hangat terdengar menjadi perbincangan warga lokal Pantai Selatan ini.

Bukan saja soal sejarah, di Bayah terdapat kebudayaan masyarakat lokal untuk panen ikan Impun tiap sebulan sekali ditanggal 25 (Bahasa Sunda: Salawena) Bulan Hijriyah. Konon katanya, aktivitas bulanan warga Bayah ini sudah ada sejak Bayah ada, dan sampai sekarang juga masih ada walau tidak sebanyak dulu, 15 Tahun ke belakang. Dalam perjalanannya, Ngala (mengambil/menangkap) Ikan Impun tidak saja menjadi medium silaturahmi warga Bayah dan sekitarnya. Ternyata dulu (saat uang masih susah, 1990-an), ikan Impun menjadi alat tukar (barter) dengan makanan lokal, seperti Papais, Cuhcur, dan lainnya. Terdapat soal kebudayaan sampai dengan ekonomi yang berputar berkat ikan Impun.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Ngala Impun” Dengan Apa?

IMPUN

 Ada dua alat yang digunakan masyarakat Bayah untuk mengambil ikan Impun. Pertama ada sirib dan, kedua, ada Dokdok. Gambar cover tulisan ini adalah penampakan Sirib, seperti jaring ikan, tetapi bahannya lebih lembut. Ukurannya rata-rata persegi empat yang kemudian diikat ke Jango, kayu berdiameter 15cm, dengan panjang kurang lebih satu meter. Cara penggunaannya dari samping, bisa kiri juga kanan.

Dok. Penulis, Bayah 2018 (Dokdok)

Nah, ini adalah penampakan Dokdok. Cara penggunaannya maju ke depan, dorongan dari belakang, berbeda dari Sirib yang penggunaannya menyamping. Dokdok ini terhitung baru digunakan masyarakat Bayah secara umum, karena sepuluh tahun ke belakang alat ini susah didapatkan, bahkan kadang harus beli di Pelabuhan Ratu.

 Ikan Impun Pengganti ‘Uang’

Dulu, sekira Tahun 1990-an Ikan Impun di Bayah sangatlah banyak. Bahkan, dalam satu orang bisa mendapatkan sekarung ikan Impun (Bahasa Sunda: Ngarungan). Saking banyaknya, ditambah zaman itu susah duit, Ikan Impun menjadi alat tukar dengan makanan yang dijual oleh warga sekitar Bayah. Impun ini ditukar dengan makanan lokal seperti Cuhcur, Papais, dll.

Pada dasarnya, sistem jual beli (barter) ini menjadi awal mula perkembangan adanya uang sebagai jembatan jual-beli yang digunakan oleh manusia. Sistem barter ini telah digunakan sejak masa 6000 SM, terutama oleh bangsa Mesopotamia. Bangsa ini berada di antara dua sungai, yaitu Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Alasan masyarakat menerapkan sistem barter karena mereka telah memiliki perasaan membutuhkan pihak lain dan barang yang dimiliki pihak lain. Mereka menyadari bahwa kebutuhan hidupnya semakin meningkat, sehingga muncullah pemikiran untuk saling menukarkan barang, (Arum, 2022).

Kini sistem barter telah tergerus oleh zaman, uang menjadi alat utama dalam transaksi jual beli. Pun yang terjadi di Bayah kekinian, sependek pengetahuan penulis jual-beli ikan Impun dilakukan menggunakan uang, biasanya warga lokal menjual ikan Impun mentah segelas 10rb, ada juga yang sudah diolah seperti dendeng ikan, warga lokal menyebut Jarangking, ada juga Jaringkang.

Ulasan Penutup

Impun tidak saja menjadi variabel pembentuk sosial-budaya di Bayah yang berlangsung setiap bulan, serta berpuluh tahun ke belakang. Keberadaannya tidak saja menjadi tradisi tipa bulan Warga Bayah, tapi juga menjadi pemasukan tambahan bagi sebagai warga Bayah. Selain itu, Impun juga dulu sekali menjadi alat tukar (jual-beli) masyarakat lokal. Terdapat ukuran ekonomi didalamnya.

Keberadaan impun, tentu sangat erat kaitannya dengan keberlangsungan lingkungan hidup yang layak. Mulai dari Sungai Cimadur, sampai pesisir Pantai Selatan. Berkurangnya tangkapan Ikan Impun atau jenis ikan lainnya, adalah penanda bahwa ada yang tidak beres dari keberlangsungan lingkungan hidup di Bayah dan sekitarnya. Dan catatan ini menjadi pengingat.  

sirib

Ikuti tulisan menarik Try Adhi Bangsawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu