x

Pecihitam.org

Iklan

atha nursasi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 November 2021

Jumat, 26 Agustus 2022 10:53 WIB

77 Tahun Merdeka, Indonesia Masih dalam Cengkraman Oligarki-Korup

artikel ini ditulis dalam rangka merefleksikan 77 Tahun kemerdekaan Indonesia. usia yang cukup tua dan pada usia tersebut, biasanya orang-orang berupaya memperbaiki diri dan menjadi lebih baik. nampaknya, perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa ini belum menunjukan tanda-tanda itu. dimana, penjajahan secara politik ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana terjadi pada pra kemerdekaan, belum sepenuhnya dihapuskan dari bumi pertiwi. Sebaliknya, realitas sosial ekonomi politik bangsa ini secara dinamis mempertontonkan praktik penjarahan dan penjajahan dalam wujud baru yang lebih kompleks. dari perampasan lahan, mengeruk perut bumi, penggusuran, serta peminggiran yang nyaris selalu diwarnai konflik menyejarah adalah wujud penindasan itu sendiri. kenyataan ini membuktikan pesan bung karno, bahwa “Perjuangan mengusir penjajah jauh lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Salah satu problem menyejarah bangsa ini adalah Korupsi. dalam banyak literatur sejarah, termasuk sejarah tentang korupsi, para ahli sejarah dan pengamat politik berkali-kali mengingatkan betapa bahaya korupsi bagi kehidupan bangsa. tidak saja bagi sosial ekonomi dan politik, korupsi dapat menyusup dalam relung sejarah kebudayaan hingga menjadi sebuah laku baru dalam kehidupan sosial, yang umumnya disebut sebagai budaya Korupsi. meski akhirnya terma “budaya korupsi” mensimplifikasi makna asali budaya itu sendiri.

Rimawan Pradiptyo, salah satu ahli yang memberi pengantar pada buku Korupsi dalam Silang Sejarah, Karya Peter Carey, cetakan kedua Tahun 2017, mengatakan bahwa, “Korupsi adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, korupsi sangat merugikan dan melemahkan sendi-sendi negara. dalam naskah akademik Prakarsa Bulaksumur menunjukan bahwa korupsi menurunkan kinerja institusi dalam tatanan demokrasi. hal tersebut berdampak negatif pada bidang ekonomi, memperburuk kesenjangan pendapatan, dan meningkatkan instabilitas pemerintah." (Pradiptyo dkk, 2015).

Sekalipun Indonesia telah lama merdeka dari jajahan politik bangsa kolonial yang penuh penindasan itu, sejak tanggal 17 Agustus 1945 hingga memasuki usianya yang ke 77 tahun kemerdekaan secara sosial ekonomi, politik dan kebudayaan masih jauh dari panggang api. Ibarat perjalan hidup seorang manusia, 77 tahun merupakan usia yang cukup tua dan pada usia tersebut, biasanya orang-orang berupaya memperbaiki diri dan menjadi lebih baik. nampaknya, perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa ini belum menunjukan tanda-tanda itu. dimana, penjajahan secara politik ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana terjadi pada pra kemerdekaan, belum sepenuhnya dihapuskan dari bumi pertiwi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebaliknya, realitas sosial ekonomi politik bangsa ini secara dinamis mempertontonkan praktik penjarahan dan penjajahan dalam wujud baru yang lebih kompleks. dari perampasan lahan, mengeruk perut bumi, penggusuran, serta peminggiran yang nyaris selalu diwarnai konflik menyejarah adalah wujud penindasan itu sendiri. kenyataan ini membuktikan pesan bung karno, bahwa “Perjuangan mengusir penjajah jauh lebih mudah ketimbang melawan bangsa sendiri”. Bangsa Penjajah yang dimaksud adalah para elit politik-birokrat dan elit ekonomi yang secara dominan dan berangsur-angsur menguasai hampir sebagian kekayaan sumber daya alam yang karenanya, mereka dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.

Merayakan di tengah dominasi Oligarki!

Kekayaan Alam Indonesia merupakan sumberdaya utama dan pokok dalam upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa yakni, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. pasal 33 UUD menjelaskan bahwa, Sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. negara dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah diberi mandat untuk mengatur, mengelola, dan mendistribusikan kembali seluruh kekayaan sumber daya alam kepada rakyat sebagai pemilik daulat atau pemberi mandat. dengan kata lain, pemerintah sebagai pihak yang diberi kuasa, hanya berfungsi sebagai penyelenggara layanan kepada rakyat.

Kendatipun mereka diberi kewenangan untuk mengatur seluruh kepentingan rakyat berdasarkan perintah perundang-undangan, namun sekali lagi mereka bukanlah pemilik, melainkan pelaksana kekuasaan. oleh karenanya, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi semua, posisi dan peran pemerintah hanyalah mengatur dan mengelola, bukan menguasai apalagi memilikinya secara serta merta. tetapi kenyataan telah menunjukan bahwa pemerintah dalam hal ini para elit politik telah berkhianat kepada konstitusi dengan cara menciptakan ketimpangan penguasaan sumber daya alam melalui hubungan kekuasaan mereka dengan para pengusaha/taipan, baik dalam skala multinasional, nasional, dan regional yang kini kita sebut sebagai kapitalis-oligarki.

Para ahli teori oligarki seperti Jeffrey Winters, Vedi Hadiz dan Robison telah mengkonseptualisasikan teori oligarki sebagai sebuah relasi kekuasaan ekonomi politik dominan. Winters (2010) dalam tesisnya menjelaskan oligarki sebagai entitas yang mempunyai sumber daya material yang ekstrem dan melakukan bentuk politik untuk mempertahankan kekayaan (Wealth Defence), bahkan tingginya konsentrasi kekayaan pada segelintir orang (oligark) dalam struktur masyarakat di sepanjang sejarah sehingga menciptakan ketimpangan ekonomi. sementara Robison dan Hadiz (2004), memaknai oligarki sebagai sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif terhadap keduanya. menurut mereka, penjelasan mengenai oligarki dan dinamika sosial politik yang terjadi tidak bisa dilepaskan dari perkembangan kapitalisme di suatu negara. dengan kata lain, dinamika sosial politik dalam struktur relasi oligarki tidak lain merupakan proses akumulasi kapital yang melibatkan institusi negara.

kenyataan bahwa relasi kekuasaan oligarki dalam struktur ekonomi dan politik pemerintahan yang diwujudkan melalui penguasaan institusi demokrasi seperti institusi sosial, ekonomi, politik dan hukum telah melahirkan kesenjangan penguasaan sumber daya alam serta dampaknya terhadap ketimpangan dan kemiskinan, akhirnya membuat kita perlu memikirkan ulang tentang makna kemerdekaan yang sesungguhnya. paling tidak, hasil kajian kolaborasi antara Auriga Dan Walhi, 2022 tentang ketimpangan penguasaan sumber daya alam memberi perhatian bagi kita untuk merefleksikan ulang tujuan kemerdekaan atau mempertanyakan kembali bagaimana pasal 33 UUD diimplementasikan. Hasil kajian Auriga dan Walhi menyebut Penguasaan SDA pada konsesi diberikan dalam beberapa bentuk. Pertama, Penguasaan kawasan hutan dalam bentuk konsesi logging HPH (kini disebut PBPH-HT). kedua, pelepasan kawasan Hutan (PKH) yang berujung pengalihan penguasaan kepada konsesi, terutama perkebunan sawit. dan ketiga, untuk pertambangan yang dibagi dalam tiga bentuk: Kontrak Karya untuk tambang mineral; PKP2B untuk Batubara; dan IUP yang merupakan penyeragaman konsesi tambang setelah reformasi.

penjelasan mengenai jumlah penguasaan lahan berdasarkan sektor sebagai berikut. pertama, dari keseluruhan perizinan, konsesi logging HPH (PBPH-HT) merupakan penguasaan lahan terbesar yakni 47%. Pada tahun 2022, Konsesi Logging seluas 19 Juta Hektar dikuasai oleh 258 Badan Usaha dan seluas 4,3 Juta hektar (22%) konsesi logging dimiliki oleh 10 grup usaha. selain itu, masih menurut sumber yang sama, pada tahun 2022, terdapat 11 Juta hektar lahan kebun kayu yang seluruhnya dimiliki 297 badan usaha, lebih dari separuh badan usaha ini terkonsolidasi dengan 20 grup usaha. integrasi vertikal juga terjadi, utamanya penguasaan pada sektor industrinya. dengan menghitung hubungan horizontal dan vertikal, praktis sektor kebun kayu dikuasai oleh Sinar Mas dan APRIL. dalam penguasaan lahannya, kedua grup ini memegang kendali penguasaan lahan 3,8 juta atau 61% dari seluruh lokasi lahan penguasaan kayu.

Kedua, Penguasaan Lahan oleh korporasi di sektor perkebunan sawit-PKH yang dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan (PKH) untuk perkebunan sawit dan atau Penerbitan usaha perkebunan (IUP) pada arena penggunaan lain. hingga pada tahun 2022, pelepasan kawasan hutan untuk (perusahaan) sawit seluas 6 juta hektar, lebih dari seperempat (28%) pelepasan kawasan hutan untuk konsesi sawit diberikan kepada 10 grup usaha. selain itu, penguasaan lahan oleh korporasi di sektor perkebunan sawit dalam bentuk HGU, laporan ini menyebut hingga kini HGU Sawit tercatat setidaknya 7,4 juta hektar perkebunan sawit. seperempat dari HGU ini dikuasai oleh 10 Grup usaha. dan ketiga, Penguasaan Lahan oleh Korporasi di sektor pertambangan. dimana, pada juli 2022, konsesi tambang tercatat seluas 10 Juta Hektar. lebih dari seperlima (21%) konsesi tambang tersebut milik 10 grup usaha yang didalamnya termasuk perusahaan milik BUMN melalui PT Timah dan PT Antam merupakan dua grup teratas yang menguasai hampir sejuta hektar izin pertambangan. 

Selain itu jika dibandingkan, penguasaan lahan oleh korporasi di berbagai lini dan sektor berimplikasi terhadap ketimpangan distribusi pengelolaan lahan antara rakyat dengan korporasi. Wilayah kelola rakyat dalam wujud perhutanan sosial misalnya, Presiden Jokowi menjanjikan perhutanan sosial untuk rakyat seluas 12,7 Juta Hektar, dan 4,9 juta hektar tanah objek reforma agraria, tetapi hingga kini baru tercapai 3 juta hektar, termasuk 2,9 Juta hektar yang telah diterbitkan pada era presiden Jokowi. ketimpangan semakin tajam dari luas lahan yang diperuntukan untuk wilayah kelola rakyat dengan wilayah kelola korporasi. dalam dokumen yang sama disebutkan bahwa, dari 53 juta hektar penguasaan/pengusahaan yang diberikan oleh pemerintah, hanya 2,7 juta hektar yang diperuntukan bagi rakyat, sementara 94,8% bagi korporasi.

lantas bagaimana pemerintah dapat meraih cita-cita kemerdekaan: kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sementara kekayaan alam sebagai sumber penghidupan utama bagi rakyat telah dikuasai dan dimiliki hanya oleh segelintir elit oligark? sebuah kenaifan yang terus menerus dipertontonkan oleh rezim. pada saat bersamaan, kebijakan dan regulasi yang mengatur tentang penguasaan/pengusahaan sektor sumber daya alam semakin memberi jalan lapang bagi oligarki pada satu sisi, sambil “memaksa” rakyat tanah air untuk mematuhinya pada sisi yang lain. Kita baru melewati benteng penjajahan, dan baru merangkak menuju gerbang kemerdekaan. kemerdekaan yang sesungguhnya: Merdeka secara politik, ekonomi, dan kebudayaan belum juga terwujud, lantas kepada siapa siapakah kemerdekaan ini  dirayakan?

Belum Merdeka Dari Korupsi.

Seperti telah disinggung di atas, bahwa korupsi menjadi salah satu problem struktural yang menyumbat saluran distribusi dan redistribusi kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat tanah air. kendatipun ia bukan satu-satunya penyumbat, tetapi cukup dominan menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. termasuk ketimpangan penguasaan sumber daya alam tak terlepas dari hubungan kekuasaan yang korup. Rumusan umum korupsi seperti dikatakan oleh Robert klitgaard, bahwa korupsi terjadi karena adanya diskresi kekuasaan secara monopoli oleh segelintir penguasa yang minim akuntabilitas. Seperti fakta diatas bahwa para penguasa mengalokasikan penggunaan lahan kepada korporasi jauh lebih dominan ketimbang diperuntukan bagi rakyat merupakan bentuk dari penggunaan kekuasaan secara diskresi. dimana, atas kekuasaan yang dimiliki, pemerintah secara sewenang-wenang memberi konsesi kepada korporasi untuk mengoperasikan bisnis mereka. selanjutnya, mereka memonopoli sumber daya alam tersebut dengan maksud mempertahankan serta memperluas penguasaan atas sumber daya alam yang ada yang, secara berangsung-angsur mencederai mandat konstitusi. dengan kata lain, pertanggungjawaban mereka terhadap perintah konstitusi nyaris tak ada.

Perizinan di sektor pengelolaan sumber daya alam merupakan salah satu mekanisme kontrol negara yang syarat dengan korupsi. hal tersebut dikarenakan setiap perizinan memiliki syarat prasyarat izin yang panjang. hal ini tentu tidak efektif dan efisien bagi pengusaha. akibatnya, cara-cara praktis dan syarat koruptif menjadi alternatif. Laode M Syarif, mantan komisioner KPK periode 2015-2019, menjelaskan bahwa, dari 10.000 lebih izin usaha pertambangan yang ada, sedikitnya 6.000 kasus terkait ketidakpatuhan terhadap semua ketentuan. meskipun temuan itu tidak selalu korupsi namun bisa ditindak karena tidak patuh pada perizinan yang ada. karena itu, korupsi di sektor ini selalu melibatkan banyak elit politik-birokrat dengan elit pebisnis, (Baca; Korupsi SDA, Mongabay/2021).

Sebagai akibat dari pengelolaan sumber daya alam yang timpang nan korup, negara mengalami kerugian keuangan negara yang tak sedikit nilainya. Secara keseluruhan, tren angka kerugian keuangan negara akibat korupsi selama 5 tahun terakhir memiliki kecenderungan meningkat meskipun terjadi secara fluktuatif. secara nasional, ICW melaporkan total kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp 62.93 Triliun, bertambah 10.91% dari tahun sebelumnya (2020) yakni Rp 56.74 Trilliun. melonjaknya angka kerugian pada tahun 2021 ini sekaligus menjadi yang tertinggi. dari sumber yang sama, tren kerugian keuangan negara tiga tahun belakangan, (2017-2019) terjadi secara fluktuatif. misalnya, Pada tahun 2017, Kerugian keuangan negara pada angka 29.42 Trilliun, menjadi 9.29 Triliun pada tahun 2018, lalu meningkat lagi pada angka 12 Triliun di tahun 2019. 

di tengah dinamika kekuasaan politik-ekonomi yang semakin oligarkis kini, korupsi secara linier beroperasi dalam setiap program pembangunan dan investasi sehingga memungkinkan kerugian keuangan negara berpotensi terus terjadi di tahun-tahun selanjutnya. salah satu indikator untuk melihat relasi kekuasaan oligarkis secara dominan menyokong korupsi terus terjadi adalah praktik politik ijon, rente dan bentuk hubungan transaksional lainnya yang subur di setiap musim pemilu/pilkada.

Pada konteks yang spesifik, kekuasaan oligarki linier dengan praktik korupsi dapat dipelajari dari setiap kasus korupsi kepala daerah. secara umum, para kepala daerah yang terbukti “memaling” uang rakyat berkaitan dengan proses politik. para calon kepala daerah membutuhkan modal politik dan karenanya harus meminta dukungan dari para pengusaha. sebagai konsekuensi, para calon kepala daerah terpilih harus mengembalikan sejumlah pinjaman modal kepada si pengusaha dalam wujud yang beragam. dari kontrak proyek, konsesi izin, jual beli jabatan hingga cara lain yang menguntungkan. Data Litbang Kemendagri menyebut, modal rata-rata yang diperlukan untuk setiap calon kepala daerah adalah antara 20-30 Miliar dan untuk gubernur 20-100 Miliar, (Baca: Biaya Pilkada Tinggi, KPK 2019).  Tingginya biaya politik tersebut memaksa para calon kepala daerah mau tidak mau membangun kontrak-kontrak informal dengan para pengusaha. toh, tak ada pengusaha yang mau memberi pinjaman gratis bukan!

Penelitian KPK pada tahun 2017 menyebut 82.3% calon kepala daerah dibantu oleh para sponsor. sementara untuk jumlah kasus korupsi kepala daerah di Indonesia memiliki tren terus meningkat. KPK menyebut, sejak tahun 2004 hingga januari 2022 telah terdapat 22 Gubernur dan 148 kepala daerah yang terjerat korupsi. data ini belum termasuk dari Kejaksaan dan Kepolisian. sementara itu, hasil monitoring ICW didapati bahwa sepanjang 2010-juni 2018 terdapat 253 kepala daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka. dari total kepala daerah korupsi tersebut, Jawa timur termasuk salah satu provinsi yang menyumbang kasus korupsi kepala daerah sebanyak 16 kepala daerah. jumlah ini setara dengan provinsi jawa barat yakni 16 kasus kepala daerah hasil pemilu terbukti korupsi.

Tingginya angka kerugian keuangan negara secara linier berpengaruh terhadap kesenjangan sosial dan kemiskinan. sebuah penelitian berjudul “Pengaruh korupsi terhadap kemiskinan: analisis data 75 Negara” penelitian tersebut menggunakan data panel dengan time series selama periode 2008-2017 dan cross-section 75 negara di dunia. Metode yang digunakan adalah kuantitatif menggunakan pendekatan Fixed Effect Model. Berdasarkan Hasil regresi data panel yang diperoleh dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa “korupsi memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan kemiskinan di 75 negara yang diteliti. Artinya, semakin tinggi korupsi akan menyebabkan tingkat kemiskinan semakin tinggi dalam suatu negara”, (safitri dkk, 2020). 

di Indonesia, penjelasan mengenai dampak korupsi terhadap sosial dan kemiskinan telah dirumuskan oleh Pusat Edukasi Anti Korupsi. dimana, Praktek korupsi menciptakan ekonomi biaya tinggi yang membebankan pelaku ekonomi. Kondisi ekonomi biaya tinggi ini mempengaruhi harga jasa dan pelayanan publik. Hal tersebut dikarenakan harga yang ditetapkan harus  menutupi kerugian akibat besarnya modal yang dilakukan karena penyelewengan yang mengarah ke tindak korupsi. umumnya dampak ril dari hubungan koruptif ini menyasar pada mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, pengentasan kemiskinan berjalan lambat, terbatasnya akses layanan dasar bagi masyarakat miskin, meningkatnya angka kriminalitas, solidaritas sosial semakin langka, dan demoralisasi karena ekonomi biaya tinggi akibat korupsi. 

Dengan demikian, kemerdekaan bukanlah tentang seluruh rakyat dapat menikmati kekayaan sumber daya alam secara adil dan setara melainkan demi dan untuk seluruh elit politik-birokrat dan ekonomi-pengusaha yang telah “merampok” dan menjarah kekayaan alam secara dominan. mereka yang memiliki sumber daya kekuasaan (politik dan ekonomi) secara sewenang-wenang mengambil alih penguasaan sumber daya alam guna mengakumulasi kekayaan, mempertahankan kekuasaan serta memperluas jangkauan penguasaannya. lantas kemerdekaan seperti apakah yang mesti dirayakan?

Ikuti tulisan menarik atha nursasi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu