x

Iklan

Dewi Anggraini

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Mei 2022

Senin, 24 Oktober 2022 07:54 WIB

Feminisme Perempuan Melalui Resensi Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini

Penulis Wanita Indonesia, Oka Rusmini menghadirkan karya novel berjudul Tarian Bumi. Dalam Novel ini Oka Rusmini banyak membahas feminisme perempuan dalam lingkungan budaya Bali. Penasaran kan seperti apa isi dari novel tersebut? Yuk simak tulisan ini

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Novel Tarian Bumi merupakan salah satu karya Oka Rusmini yang mengusung tema patriarki serta stigmatisasi yang membelenggu budaya masyarakat Bali. Dalam Tarian Bumi secara nyata digambarkan berada dalam tekanan ketidakadilan terhadap gender tokoh perempuannya. Juga dengan pengelompokkan kasta serta kemiskinan yang membatasi di antara mereka menjadi cikal bakal konfliknya. Ida Ayu Telaga Pidada adalah sang tokoh utama yang lahir dari rahim Luh Sekar, seorang sudra yang menikahi kasta brahmana dan berganti nama menjadi Jero Kenanga. “Kebahagiaan itu tidak memiliki pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Semua orang memiliki warna yang berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup."
 
IDENTITAS KARYA
Judul : Tarian Bumi
Penulis : Oka Rusmini
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 176 halaman
 
SINOPSIS
Luh Sekar seorang yang lahir dengan sebatas label Sudra berniat memutar balikkan kehidupannya dengan cara menikah dengan lelaki Brahmana yang dapat menjamin kehidupannya, ia lelah terus-terusan menopang karma warisan dari sang ayah yang antah berantah di mana keberadaannya. Ambisinya tegak bak pohon yang hidup beratus-ratus tahun lamanya, susah untuk ditebang. Luh Sekar selalu menganggap enteng hal-hal yang akan datang, hingga datang di mana keinginannya terkabul lantas ia menderita karena harus meninggalkan lingkungan di mana ia dibentuk menjadi perempuan sesungguhnya. Tidak cukup berhenti di situ saja penderitanya, mertua Luh Sekar—Ida Ayu Sagra Pidada sejatinya tidak senang kepada Luh Sekar karena anaknya mendapat wanita dari kaum Sudra, sampai datang di mana saat suami Luh Sekar meninggal dunia, Ida Ayu Sagra Padada pun ikut menyusul selang satu bulan.
 
Satu-satunya harapan yang tersisa ialah Ida Ayu Telaga Pidada, putri semata wayangnya. Harapan Luh Sekar besar: mulai dari menjadikan Telaga wanita paling cantik dan penari handal, lalu menikahkan anaknya dengan laki-laki Brahmana. Katanya itu adalah pilihan terbaik untuk masa depan Telaga. Selama ini Telaga menurut pada ibunya, tapi kali ini Telaga menolak memenuhi impian ibunya. Alih-alih menikah dengan lelaki Brahmana, ia pilih membantah rantai tradisi dan jadi satu dengan Wayan Sasmitha yang berasal dari kasta Sudra tanpa pamit. Hal ini membuat ibu Wayan tidak senang dan adik Wayan bisa puas mencurahkan rasa iri dengkinya yang sudah meluap.
 
Telaga cukup sabar menghadapi hal itu karena ia sangat percaya pada Wayan. Hingga keberadaannya itu dibayar dengan dikaruniai buah hati, Luh Sari namanya. Tak lama kebahagiaan mekar, dunia telah merenggut lelaki kesayangan milik Telaga. Ia meninggal di dalam studio, karena kelainan jantung yang ia derita sejak kanak-kanak. Selama itu pula Putu Sarma—adik ipar Telaga—mulai menatap Telaga haus, membuat Telaga risih. Gumbreg menyarankan Telaga untuk menjalani upacara Patiwangi untuk melepas status Brahmananya juga agar terbebas dari segala kesialan.
 
Kelebihan dari novel ini adalah dikaji dengan penggambaran suasana yang realistik serta pesan moral yang terselip di antara tulisannya membuat pembaca merasa karya ini memiliki ilmu juga, bukan sekadar fiksi namun pesan yang disampaikannya oleh penulis lewat tokoh-tokoh. Khususnya pesan terhadap perempuan. Alurnya mayoritas mundur, sehingga pembaca seperti dibuat penasaran dengan apa yang terjadi pada tokohnya.
 
Kekurangan dari karya ini, menggunakan diksi yang cukup vulgar membuat buku ini rawan jika dibaca anak usia minor atau belum legal. Beberapa juga ada adegan yang tidak senonoh. Apabila menilik karya penulis yang sama, penggunaan bahasa vulgar adalah salah satu ciri khas gaya menulisnya.
 
Buku ini lebih banyak membahas tentang perempuan, ketidakadilan gender, serta penekanan patriarki dalam lingkungan budaya Bali. Tarian Bumi juga merupakan buku yang sangat direkomendasikan karena cantiknya alur serta gaya bahasa yang dialirkan membuat seakan ikut larut dalam ceritanya. Sayangnya, untuk umur dibawah tujuh belas tahun disarankan untuk tidak membacanya, sebab beberapa keilmuan di novel ini tidak bisa ditelan mentah-mentah juga terdapat sedikit unsur dewasa dan pelecehan terhadap perempuan.

Ikuti tulisan menarik Dewi Anggraini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler