x

Mayang atau Bakal Buah dari pohon Lontar, salah satu bahan dari Moke. Foto: Wikipedia

Iklan

Ricko Blues

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Jumat, 9 Desember 2022 21:14 WIB

Dari Lamahelan, Kita Minum Arak dengan Rasa Bangga

Beda Kia, ayahnya dan orang Lamahelan menyelipkan pesan bahwa arak harus dinikmati dengan rasa bangga.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Beda Kia bangun pagi buta, di awal bulan Maret, dengan satu harapan; awan tak mendung, pertanda akan turun hujan. Dia tak begitu gelisah. Sebab kehendak alam tak bisa diubah. Tapi, air hujan yang turun terlalu deras membuat buah-buah koli (lontar) basah dan tak baik dijadikan tuak putih. Ini hukum alam. Harga arak, hasil dari tuak putih yang disuling, bisa menurun drastis di pasaran.

Hari itu, rupanya alam masih berpihak padanya. Matahari cerah bersinar di punggung Ile Boleng. Seperti biasa, dia menunggang sepeda motor sembari memikul dua jeriken 20 liter yang masih kosong. Dari rumahnya, di desa Lamahelan, Beda Kia beranjak pergi ke barat, 10 kilometer menuju hamparan perkebunan, tempat ratusan pohon koli tumbuh menghadap laut Adonara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelum matahari naik lebih tinggi, pemuda tangguh berusia 29 tahun itu dengan lincah menjajal satu per satu pohon koli. Mengiris buah lontar hingga mengeluarkan tetesan tuak putih yang masih segar. Dari atas pohon, tuak putih dipindahkan ke dalam jeriken.

Sehari Beda Kia mampu memanjat lima sampai sepuluh pohon koli pada pagi dan sore hari. Pada tengah hari, dia kembali ke kampung dengan jerigen sudah terisi penuh. Tuak putih dalam jerigen ini yang disuling di ‘tempat masak arak’ di belakang rumahnya.

Wujud ‘tempat masak arak’ ini sederhana. Periuk tanah diletakkan di atas tungku, lalu sebuah instalasi bambu berbentuk semacam cerobong asap disambungkan pada periuk tanah tersebut. Di dalam rongga-rongga bambu inilah, uap dari tuak putih yang dimasak disuling secara kimiawi menjadi butir-butir arak yang ditampung ke dalam botol kaca.

Beda Kia adalah represenatasi sempurna dari orang Lamahelan. Sebagian besar warga desa itu adalah pengiris tuak dan pemasak arak terkenal, yang diwariskan turun temurun. Tempat masak arak dengan bambu-bambu yang melintang jamak ditemukan di setiap belakang rumah warga Lamahelan. Namun bukan perkara itu saja Lamahelan kesohor sampai ke seberang pulau.

Lamahelan mengajarkan tentang kebanggaan dari setiap tetesan arak. Orang menegak arak Lamahelan dengan rasa bangga, kadang bercampur perasaan angkuh jika sudah mabuk. Kualitas araknya memang terjaga dari dulu sampai sekarang.

Arak Lamahelan melegenda, bahkan jadi patron dari puluhan minuman tradisional beralkohol di NTT yang beredar di pasaran, tenda-tenda pesta dan lapal-lapak dua sampai tiga orang berkumpul.

Ayah Beda Kia yakni Thomas Kopong Bura sedikit membocorkan rahasia di balik kualitas arak Lamahelan. Orangtua berusia 65 tahun ini juga seorang pengiris tuak dan pemasak arak sejak muda.

“Rahasinya ada pada kayu bakarnya,” begitu kata Thomas, singkat. Ada rahasia lain? Bisa jadi.

Entah apa yang dia maksud kemudian, tapi semua orang Lamahelan tahu kayu bakar yang dipakai untuk memasak arak bukan sembarang kayu. Beda Kia mengangguk setuju pada ucapan ayahnya.

Beda Kia dulu pernah pergi merantau ke Malaysia, sebelum dia punya istri dan anak. Banting tulang di negeri orang tak membuatnya menemukan siapa dirinya sebenarnya. Dia kemudian pulang kampung dan deretan pohon koli seperti memanggilnya kuat-kuat. Lalu, Beda Kia tak bisa berpaling lagi. Takdir menggariskan, dia harus kembali ke Lamahelan dan meneruskan peran yang sudah dilakoni nenek moyangnya.

Di Flores, arak atau moke punya peran penting dalam ritus-ritus adat dan dalam semua jejak kebudayaan. Keduanya dilestarikan dalam satu rentang sejarah yang sama. Sebab itu, dua-duanya tak terpisahkan. Arak bukan sekadar material dalam ritus, dia bukan simbol. Bukan juga tanda. Arak menyatu di dalam setiap ritus. Para tetua adat menenggaknya dengan kesadaran penuh bahwa itu minuman yang diinginkan leluhur, Lera Wulan, dan atas restu semesta, dia ada.  Arak mengalir di dalam darah seolah menyatukan manusia dengan kekuatan-kekuatan alam di sekeliling.

Pada suatu sore, di belakang rumah, di antara bambu dan tungku masak arak, Beda Kia dan ayahnya duduk bersama dan melihat ke masa lalu. Hidup mereka memang tak lepas dari tuak dan arak. Dan yang menyulut rasa kagum ialah kebanggan yang mereka utarakan dan terpancar dari wajah bapak-anak itu.

Menjalani panggilan hidup sebagai pengiris tuak dan pemasak arak secara bertanggungjawab adalah cara mereka menghormati alam. Jika tak ada rasa bangga dari para pembuatnya, mustahil arak Lamahelan menjadi buah bibir, entah sampai kapan.

Beda Kia, ayahnya dan orang Lamahelan menyelipkan pesan bahwa arak harus dinikmati dengan rasa bangga.

 

 

Ikuti tulisan menarik Ricko Blues lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB