x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 30 Januari 2023 15:02 WIB

Memanjakan Kepala Desa Demi Mendulang Suara

Bila di masa Orde Baru para kepala desa ditekan agar berpihak kepada partai tertentu, kini para kepala desa diiming-imingi perpanjangan masa jabatan dengan syarat mau memenangkan partai tertentu di wilayah desanya. Partai semakin terbiasa memakai segala cara untuk meraih dukungan warga tanpa peduli apakah cara tersebut merusak demokrasi atau tidak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah duduk lupa berdiri. Frasa ini sebenarnya bunyi iklan promosi sebuah merek funitur yang terkenal di waktu lalu. Isi pesan iklan ini: kalau Anda sudah duduk di kursi merk ini, Anda akan malas berdiri karena saking nyamannya duduk di situ. Anda tidak ingin kehilangan pengalaman duduk di kursi yang enak.

Dalam politik kekuasaan, iklan tersebut tampaknya mewakili keenakan dan kenyamanan serupa. Begitu sudah duduk di kursi kekuasaan apapun, orang yang duduk di situ akan malas berdiri, tidak mau diganti orang lain, bahkan meminta perpanjangan masa jabatan. Tentu saja, karena saking enaknya kursi jabatan tersebut, bukan karena pertimbangan idealistis apapun.

Perpanjangan masa jabatan itu pula yang jadi tuntutan sebagian kepala desa yang berdemonstrasi ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta beberapa waktu lalu. Para kepala desa ini menghendaki masa jabatan mereka yang semula 6 tahun untuk setiap periode diperpanjang jadi 9 tahun. Apa yang ingin dicapai dari perpanjangan masa jabatan ini? Apakah pertambahan masa jabatan ini akan memberi manfaat bagi masyarakat atau malah membebani? Bagaimana bila di tengah jalan, katakanlah dua  tahun pertama, kinerja kepala desa tidak bagus? Apakah rakyat desa harus menunggu setidaknya 7 tahun lagi untuk berpeluang mendapatkan kepala desa baru yang lebih baik? Alangkah lamanya warga desa harus menjalani hidup di bawah kepemimpinan yang tidak layak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tuntutan ini mengundang tanda tanya banyak pihak, terutama karena diajukan menjelang penyelenggaraan pilpres dan pileg 2024. Apakah tuntutan ini terkait dengan kepentingan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan politik? 

Dalam hal ini, pihak yang bisa ‘mengabulkan’ tuntutan perpanjangan masa jabatan kepala desa adalah pemerintah dan para anggota DPR, yang notabene kepanjangan tangan partai politik. Di tengah rencana revisi UU Desa, maka perpanjangan periode masa jabatan memang tampak bagaikan aspirasi murni para kepala desa. Namun karena revisi ini berlangsung menjelang pesta politik 2024, masyarakat justru bertanya-tanya kepentingan siapa yang mendompleng tuntutan para kepala desa itu?

Katakanlah jika sebagian kepala desa ini memang berhasrat untuk memerintah desanya lebih lama, maka butuh dukungan anggota DPR yang akan menggodog revisi undang-undangnya. Nah, partai politik yang jadi induk anggota DPR tentu tidak mau menyetujui tuntutan ini tanpa balas budi dari para kepala desa. Pendeknya, tidak ada makan siang gratis.

Karena itulah beredar kekhawatiran di masyarakat bahwa para kepala desa nanti akan diminta oleh parpol untuk memengaruhi wargadesanya agar memilih partai tertentu. Tuntutan tersebut jangan-jangan bukan murni berasal dari sebagian kepala desa, melainkan karena para kepala desa ini digosok-gosok atau dibujuk rayu oleh pihak tertentu agar menuntut perpanjangan masa jabatan. Mungkin saja, bujukan ini mula-mula berasal dari salah satu partai, tapi ketika tuntutan ini sampai ke DPR, anggota DPR dari partai lainnya mencium gelagat yang menguntungkan, sehingga mereka lalu ramai-ramai mendukung perpanjangan masa jabatan kepala desa itu.

Isu penting dari soal ini ialah adanya kegemaran partai politik untuk menggunakan beragam cara agar bisa mendulang suara dalam pemilihan umum. Di antara cara-cara tersebut ialah melakukan perubahan aturan yang diperkirakan dapat memberi keuntungan politik bagi partai, sebagian partai ataupun seluruh partai beramai-ramai alias bancakan. Perubahan aturan itu dilakukan bukan demi kepentingan rakyat banyak, melainkan untuk mengakomodasi kepentingan sebagian orang yang kemudian dibarter dengan kepentingan politik partai agar dapat mendulang suara pemilih.

Bujukan oleh partai politik, jika ini memang benar terjadi seperti diakui oleh sebagian kepala desa, merupakan sinyal bahaya bagi perkembangan demokrasi kita, karena partai tidak bekerja secara jujur dalam membangun dukungan warga, melainkan dengan mengarahkan dan memanfaatkan aparat desa untuk memengaruhi warga. Praktik ini, bila nanti terjadi, mengulangi apa yang berlangsung pada masa Orde Baru ketika aparat pemerintahan dari pusat hingga desa dikerahkan untuk memenangkan partai pemerintah. Bila di masa lalu, para kepala desa ditekan agar berpihak kepada partai tertentu, kini para kepala desa diiming-imingi perpanjangan masa jabatan dengan syarat mau memenangkan partai tersebut di wilayah desanya. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler