Keukeuh Tiga Periode, Mengapa?

Senin, 13 Februari 2023 05:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Upaya mencari celah-celah yang dapat dimasuki agar hasrat tiga periode dapat terwujud terus dilakukan. Argumentasi untuk mendukungnya mungkin juga tengah dipersiapkan. Bahkan, mungkinkah skenario pun telah dipersiapkan?

Wacana Presiden Jokowi tiga periode jabatan kembali dimunculkan ke tengah masyarakat. Setelah sempat redup, tiba-tiba disuarakan kembali. Ini menandakan bahwa hasrat untuk tiga periode jabatan itu tidak hilang, dan keredupan itu boleh jadi karena para pengusung wacana ini sedang memikirkan jalan untuk mewujudkannya. Apa strategi baru ini?

Apapun strategi dan cara yang ingin ditempuh, persoalan pokoknya tidak tersentuh. Para pengusung wacana ini bersikukuh mewujudkan keinginan tiga periode dengan mengabaikan hal yang lebih fundamental, yaitu menjaga amanah Konstitusi bahwa masa jabatan presiden hanya dua periode. Padahal, pasal dalam Konstitusi tersebut telah mempertimbangkan berbagai aspek terkait jabatan presiden dua periode dan mengapa tidak tiga periode atau lebih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dorongan memenuhi hasrat berkuasa lebih lama itulah yang menjadikan mereka bertekad untuk ‘menyesuaikan’ isi Konstitusi agar dapat menampung hasrat tersebut. Konstitusinyalah yang diubah agar sesuai dengan keinginan. Para pendukung perpanjang masa jabatan ini jelas mengabaikan isi Konstitusi yang telah disusun demi menjaga kepentingan yang lebih besar dan berjangka panjang—di antaranya penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.

Disuarakannya kembali wacana presiden tiga periode ini menunjukkan bahwa pragmatisme telah dijadikan filosofi kekuasaan dan politik. Pragmatisme kekuasaan juga semakin menguat, sebagaimana terlihat pada belum adanya calon presiden dan wakil presiden yang pasti diusung oleh koalisi partai politik yang masih gamang menetapkan pilihan pasangan calonnya karena khawatir kalah dalam pilpres.

Minggu-minggu ini elite politik masih berkeliling ke sana kemari untuk menjajagi kekuatan dan berusaha menemukan peluang terbesar untuk meraih kemenangan dalam pilpres maupun pileg. Jadi, pendekatan pragmatisme ini jelas: kekuasaan lebih lama. Dari pengalaman sejarah kita dapat belajar betapa kekuasaan yang lebih lama akan membuat penguasanya terlena oleh nikmat kekuasaan dan abai pada tugas kewajiban pokoknya.

Upaya mencari celah-celah yang dapat dimasuki agar hasrat tiga periode dapat terwujud terus dilakukan. Argumentasi untuk mendukungnya mungkin juga tengah dipersiapkan. Bahkan, mungkinkah skenario pun telah dipersiapkan?

Seorang pemimpin yang amanah akan mengerti benar bahwa mematuhi amanah Konstitusi merupakan tugas dan kewajiban utama. Jacinda Ardern, politikus Selandia Baru, telah memberi contoh terbaik bahwa ia harus berhenti ketika waktunya tiba, yaitu masa jabatan telah habis. Dia tidak ingin memperpanjang, sebab ia mengukur diri bahwa dibutuhkan kepemimpinan baru untuk menjawab tantangan di masa sesudah kepemimpinannya. Arden tidak bersikukuh mencalonkan diri kembali, sebab ia mengerti benar bahwa kekuasaan itu mempesona dan membius orang yang memegangnya bahkan tanpa disadari.

Apabila Presiden Jokowi menegaskan bahwa ia tidak mau menjabat tiga periode dan tidak mau dicalonkan lagi, maka ia telah memberi teladan terbaik bagaimana pemimpin bangsa ini menghormati amanah Konstitusi. Konstitusi lebih utama dibandingkan penilaian sementara pihak bahwa kepemimpinannnya baik, berhasil, masih dibutuhkan dan sebagainya, sebab semua itu penilaian yang tidak lepas dari kepentingan untuk mengambil keuntungan dari penambahan periode jabatannya. Tidak kalah penting ialah belajar dari langkah Ardern yang memilih untuk berhenti sebelum kekuasaan itu berubah jadi candu yang membuat dirinya ketagihan. >>

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler