x

Ilustrasi Memanah. Gambar oleh Efes dari Pixabay.com

Iklan

Priyadi

Watulemperisme
Bergabung Sejak: 8 April 2023

Senin, 17 April 2023 19:02 WIB

Arjuna, Ekalaya dan Orang Dalam

Ekalaya bisa saja disebut sebagai cermin dari orang-orang yang berada di pinggiran atau jauh dari pusat kuasa. Secara takdir, ia lahir dari kalangan rendahan yang bahkan tak memiliki akses ke sumur ilmu pengetahuan bergengsi. Kemandirian, ketekunan dan kekuatan imajinasilah yang membuatnya menjadi digdaya. Ia adalah mitos sekaligus narasi tentang pendidikan adalah hak semua orang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Arjuna sebagai tokoh pewayangan, menjelma dalam narasi keagungan sosok yang dipuja. Secara imaterial, ia santun, seorang pertapa dan pencari ilmu yang cerdas. Secara materil, Arjuna adalah keturunan berdarah biru dan juga digdaya.

Ia hampir sempurna sebagai seorang lelaki baik secara fisik dan batin, yang digandrungi banyak perempuan.

Kecerdasan, kegagahan, ketampanan dan kesantunan lelaki, dalam narasi di Indonesia, sangat lekat merujuk kepada sosok satu ini. Narasi tentang kehebatan Sang Arjuna, terus berulang di banyak tikungan kehidupan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ia jadi metafora tanpa henti untuk mengkultuskan sifat lelaki pujaan, baik itu dari cara pandang lelaki sendiri atau dari sisi perempuan.

Arjuna menjadi contoh, menjadi harapan, dan menjadi narasi utama sosok lelananging jagad, baik dalam teks maupun konteks. Ada banyak novel yang terbit dengan tokoh Arjuna yang digambarkan tampan, rupawan serta pintar.

Mungkin karena itu, nama Arjuna kemudian banyak mengejawantah pada bayi-bayi lelaki yang lahir di Indonesia, khususnya di tanah Jawa.

Kecacatan Arjuna

Salah satu kedigdayaan Arjuna adalah dalam ilmu memanah. Ia berguru pada Resi Dorna yang telah berjanji hanya mengajar para ksatria Hastinapura. Arjuna juga menjadi murid kesayangan Dorna.

Suatu ketika usai mengajar, ada lelaki bernama Ekalaya dari kasta pemburu yang datang untuk memohon jadi murid Dorna. Namun permohonan itu ditolak. Ini karena Dorna sudah berjanji hanya mengajar ksatria Hastinapura yang kalangan ningrat itu.

Kegandrungan Ekalaya pada ilmu memanah, membuatnya belajar secara otodidak. Tentu saja, saat itu belum ada saluran YouTube yang mengajarkan cara memanah dengan baik, atau TikTok yang memanah sambil diiringi jedag-jedug.

Tapi Ekalaya membuat patung Dorna sebagai sosok bayangan guru, menjadikannya sumber inspirasi. Dari patung itu, ditimbanya mimpi, imajinasi dan ketekunan, hingga ketrampilan Ekalaya mencapai tahap hampir paripurna.

Dalam satu peristiwa, Arjuna dan Ekalaya bertemu secara tidak sengaja di hutan ketika sedang berburu. Keduanya saling mengklaim babi hutan yang terpanah tepat di jantungnya. Perebutan itu berujung pada perang tanding ilmu memanah, yang rupanya Arjuna kalah.

Ketika Arjuna bertanya pada Ekalaya siapa gurunya, lelaki itu menjawab gurunya adalah Resi Dorna. Arjuna terkejut. Ia kesal dan marah karena menganggap Dorna ingkar janji.

Dorna yang dituduh, kaget bukan kepalang karena merasa tidak punya murid bernama Ekalaya. Dia kemudian mendatangi Ekalaya dan memerintahkan untuk memotong kedua ibu jari sebagai bakti sekaligus hukuman karena dinilai mencuri ilmu darinya.

Kepatuhan dan keta’dziman membuat Ekalaya memenuhi permintaan Dorna. Meski tak lagi memiliki ibu jari, tapi Ekalaya tetap lanjut belajar memanah dan tetap lebih unggul ketimbang Arjuna.

Konon Ekalaya adalah kita

Ada berbagai versi dalam kisah Arjuna-Ekalaya itu. Tapi pusarannya lebih dapat dibilang tentang kecengengan Arjuna yang ningrat itu, yang memiliki status istimewa bahkan di mata Sri Kresna.

Salah satu versi dari RA. Kosasih, Kresna menyamar menjadi patung Dorna yang dipuja Arjuna, dan meminta cincin Ekalaya yang juga merupakan kesaktiannya. Ketika cincin itu diberikan kepada patung Dorna alias Kresna, Ekalaya kehilangan kesaktian dan Arjuna bisa membunuh Ekalaya yang saat itu sedang tidur.

Ekalaya bisa saja disebut sebagai cermin dari orang-orang yang berada di pinggiran atau jauh dari pusat kuasa. Secara takdir, ia lahir dari kalangan rendahan yang bahkan tak memiliki akses ke sumur ilmu pengetahuan bergengsi.

Kemandirian, ketekunan dan kekuatan imajinasilah yang membuatnya menjadi digdaya. Ekalaya tak punya bakat, juga tak punya lingkungan sebagai habitus untuk menjadi pemanah ampuh. Tapi kerja keras dan ketekunanlah yang membuat ia bisa mencapai tangga ilmu memanah tertinggi.

Dalam sistem demokrasi, konon kesetaraan adalah hal yang utama. Itu termasuk janji bisa berkesempatan untuk jadi pemanah yang paling handal meski dari kalangan kere laknat.

Tapi meski orang kere itu memiliki kerja keras dan kerja cerdas serta punya kesempatan istimewa beasiswa memasuki sumur ilmu pengetahuan bergengsi, apa yang bisa diperbuat jika tersingkir karena tak punya orang dalem?

Jika dulu W.S Rendra menulis: Apakah gunanya seseorang/belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran/atau apa saja/bila pada akhirnya/ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata/Di sini aku merasa asing dan sepiiiiiiiii!

Bukan berarti ia tak berguna. Ia pulang karena tersingkir dan memilih untuk tidak mau menjilat. Ia juga tidak beruntung karena entah apa yang namanya sistem orang dalem itu dijejalkan secara samar menjadi tulangnya sistem demokrasi.  Meski bukan tulang samar, tapi korbannya terlalu banyak.

Di wiracarita, Ekalaya menuntut balas kepada Resi Dorna. Ini karena Dorna yang dikira telah membunuhnya, bukan persekongkolan Arjuna dan Kresna. Ekalaya kemudian menjelma Drestajumena di Bharatayuda untuk memenggal Resi Dorna.

Tapi di Konoha, cara itu mustahil dilakukan. Meski menggunakan Kage Bunshin no Jutsu sekalipun!

Ikuti tulisan menarik Priyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler