x

Iklan

Riandy Kadwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Senin, 24 April 2023 22:35 WIB

Sebuah Refleksi Lebaran

Atas alasan apapun, Idul Fitri bukan tameng untuk dijadikan pembenaran terhadap tindakan belanja yang berlebihan atau pemborosan. Lagipula, apa yang salah dengan memakai pakaian tahun lalu?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari raya Idul Fitri tahun ini saya berefleksi. Ada beberapa tradisi dalam berlebaran di Indonesia, yang menurut saya tidak perlu-perlu amat dilakukan. Saya merasa ada yang ganjil dari perayaan Idul Fitri yang memiliki makna kembali fitrah atau kembali suci dan bersih setelah melakukan amalan puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.

Semangat Idul Fitri juga biasanya melakukan silaturahmi dengan keluarga dan kerabat. Tradisi seperti ini memang menjadi ciri khas Idul Fitri. Mungkin tidak hanya di Indonesia, tetapi juga beberapa negara lain. 

Namun,dari hasil refleksi berlebaran tahun ini, saya baru menyadari bahwa ada beberapa hal yang ternyata bertentangan dengan makna Idul Fitri dan ajaran agama Islam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa tradisi lebaran orang Indonesia yang saya pahami sejauh ini ternyata punya dampak negatif terhadap cara berpikir masyarakat yang kemudian berdampak pula pada lingkungan.



  1. Lebaran berarti harus pakai yang serba baru

 

Tradisi memakai pakaian baru saat lebaran menjadi keliru ketika dianggap sebagai keharusan. Entah dari mana tradisi pakai baju baru ini muncul. Tetapi di masyarakat kita tradisi itu terus dilestarikan setiap momen Idul Fitri tiba.

Saat itulah kecenderungan masyarakat untuk melakukan pemborosan muncul. Ditambah adanya diskon besar-besaran di pusat perbelanjaan yang merayu agar masyarakat terus merogoh kocek mereka. Bahkan khusus tiap bulan puasa selalu disebut dengan istilah BBN, “Bulan Boros Nasional”.

Tren busana yang terus berubah tiap tahun, membuat kita akan berbelanja lagi di tahun depan. Itupun tak cukup hanya satu stel pakaian. Biasanya, pakaian lebaran hari pertama berbeda dengan hari kedua. Umur pakaian lebaran bahkan tidak pernah mencapai sehari. Setelah itu bertumpuk debu dalam lemari karena tidak akan pernah dipakai lagi.

Atas alasan apapun, Idul Fitri bukan tameng untuk dijadikan pembenaran terhadap tindakan belanja yang berlebihan atau pemborosan. Lagipula, apa yang salah dengan memakai pakaian tahun lalu? Apakah orang-orang yang bertemu dengan kita di momen lebaran mengetahui kita mengenakan pakaian baru atau pakaian lama?

 

  1. Mubazir Makanan dan Dampak Lingkungan

Tidak hanya pemborosan, mubazir makanan juga sangat ditentang oleh agama Islam. Tetapi herannya, di momen Idul Fitri itulah banyak masyarakat yang berlomba-lomba memperlihatkan ‘kemubaziran’ mereka. 

Hampir setiap rumah pasti menyediakan kue lebaran seperti nastar, kastengel, kacang, bolu dan berbagai macam kue lain yang saya yakin kue itu tidak pernah habis dimakan. Alih-alih menjamu tamu, kue-kue lebaran yang tersusun di toples itu lebih sering berakhir di tong sampah. 

Menurut Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas, Medrilzam, sampah makanan di Indonesia berada di angka 184 kilogram setiap orang per tahun, atau sekitar setengah kilogram setiap hari. Walaupun Idul Fitri hanya beberapa hari saja, sangat tidak bijak jika dijadikan alasan untuk memaklumi tindakan mubazir makanan.

Lebih parahnya lagi sisa-sisa makanan yang berakhir di tempat pembuangan akhir, Medrilzam menambahkan, akan menghasilkan gas metana. Semakin mubazir, manusia akan terus menyumbang gas metana dalam jumlah besar. Sudah jelas akan mempengaruhi Bumi dan sistem iklim.

 

  1. Uang THR Menguap Entah Kemana

Nasib THR umat Islam seperti uang hasil menang judi, tiba-tiba habis tidak jelas untuk apa. Pada akhirnya banyak yang gigit jari setelah THR ludes tanpa sisa. Kerja keras selama setahun lenyap dalam hitungan hari saja.

Menurut Mike Rini Sutikno, CFP, perencana keuangan dari Mike Rini & Associates, ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Salah satunya adalah kenaikan harga menjelang bulan puasa dan lebaran terutama sembako, karena adanya lonjakan permintaan terhadap barang dan jasa ini. Selain itu, masyarakat kita juga memiliki kebiasaan serba baru, tradisi mudik, ngabuburit di pusat perbelanjaan atau di luar rumah, hingga tradisi memberikan hadiah lebaran.

Euforia lebaran membuat kebanyakan orang lupa akan prioritas dan rencana jangka panjang yang sedang dibangun. Selain itu ada rasa tidak enakan ataupun kecemasan mendapat predikat pelit jika tidak memberi hadiah lebaran.

 

Sangat disayangkan jika momen yang dianggap kembalinya insan pada kesucian diri dirusak dengan tindak pemborosan dan kemubaziran massal. Idul Fitri akhirnya hanya menjadi ajang seremonial tahunan belaka, yang secara esensi tidak ada apa-apa. Kebaruan dan kesucian diri tidak diperlihatkan dengan pakaian atau barang baru, melainkan perubahan adab yang lebih baik lagi.



Ikuti tulisan menarik Riandy Kadwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler