x

Aksi 350 ID di depan kantor ESDM

Iklan

Cak Daus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Juli 2021

Rabu, 17 Mei 2023 08:03 WIB

Mencari Keadilan Ekologi di Dalam Proyek JETP

Negara memiliki kewajiban untuk menghadirkan keadilan ekologi bagi warganya. Meletakan kata kadilan dalam konteks transisi energi dalam JETP tentu saja merupakan hal yang tepat. Tapi pertanyaannya adalah dimana keadailan ekologi dalam proyek JETP?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada 2022, Indonesia berhasil menggalang pendanaan untuk transisi energi. Skema pendanaan itu adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Jika dilihat dari istilahnya, maka yang disasar bukan hanya transisi energi namun juga ada aspek keadilannya, tentu saja termasuk keadilan ekologi. Lantas dimanakah letak keadilan ekologi dalam proyek JETP?

Setiap orang memiliki hak untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Hak itu menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Hak atas lingkungan hidup itulah yang menjadi dasar bagi sebuah keadilan ekologi.  Negara memiliki kewajiban untuk menghadirkan keadilan ekologi bagi warganya. Meletakan kata kadilan dalam konteks transisi energi dalam JETP tentu saja merupakan hal yang tepat. Tapi pertanyaannya adalah dimana keadailan ekologi dalam proyek JETP?

Untuk mencari keadilan dalam proyek JETP ada beberapa langkah untuk menemukannya. Pertama, terlebih dahulu kita lihat komposisi dari pendanaan transisi energi dalam JETP ini. Seperti banyak diberitakan di media bahwa JETP senilai Rp 310 triliun. Dari jumlah itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, mayoritas dana tersebut akan berbentuk pinjaman lunak dan komersial, sedangkan porsi hibah hanya sekitar 3% dari total dana JETP (Sri Mulyani Janji Dana JETP Tidak Jadi Jebakan Utang Baru Buat RI). Pertanyaan apakah adil bila pembiyaan transisi energi dari negara-negara maju untuk negara berkembang, termasuk Indonesia, ternyata didominasi oleh utang luar negeri?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jawabnya jelas tidak adil. Bagaimana tidak, negara-negara maju yang menjadi negara-negara donor dalam JETP memiliki jejak ekologi yang buruk. Mereka yang sejak revolusi industry mengotori atmosfir dengan emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim. Lantas, mereka hendak menebus dosa ekologi itu dengan memberikan utang baru kepada negara berkembang untuk melakukan transisi energi. Padahal untuk membayar utang luar negeri, pemerintah di negara berkembang harus membuka lebar pintu investasi yang salah satu caranya adalah melonggarkan perijinan lingkungan hidup. Dapat dikatakan, jebakan utang luar negeri, termasuk utang yang diberi label hijau untuk transisi energi, akan memperpanjang siklus perusakan alam di negara berkembang.

Kedua, salah satu proyek unggulan JETP adalah pensiun dini PLTU batu bara. Sekilas tidak ada persoalan dengan pensiun dini PLTU ini, karena memang batu bara adalah bagian dari problem krisis iklim. Persoalannya adalah di Indoensia ada banyak PLTU batu bara, apa kriteria PLTU batu bara yang akan dipensiunkan secara dini?

Hingga kini belum jelas kriteria PLTU batu bara yang akan dipensiunkan dini. Ketidakjelasan ini akan menjadi persoalan ketidakadilan, bagaimana tidak tanpa kriteria yang jelas, pensiun dini hanya akan menjadi ajang talangan bagi PLTU batu bara dengan menggunakan uang utang  luar negeri yang akan dibayar melalui pajak warga negaranya. Lantas dimana letak keadilannya?

Masih terkait dengan pensiun dini PLTU batu bara yang akan didanai JETP. Data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di tahun 2019 mengungkapkan bahwa kasus pencemaran lingkungan yang paling banyak ditangani sepanjang tahun tersebut akibat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

PLTU Batubara menyebabkan masyarakat terpapar bahan beracun, ozon dan logam berat. Dampak kesehatan yang berat disebabkan partikel mikroskopik (PM2.5) yang terbentuk dari emisi sulfur, nitrogen oksida dan debu. Partikel halus ini menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah, menyebabkan kematian dan berbagai masalah kesehatan.

Laporan Greenpeace Indonesia  di 2015 mengungkapkan bahwa hasil pemodelan atmosfer GEOS-Chem yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard University - Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) menunjukkan bahwa polusi udara dari operasi PLTU Batubara saat ini telah menyebabkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun. Penyebab utamanya adalah stroke (2.700), penyakit jantung iskemik (2.300), penyakit paru obstruktif kronik (400), kanker paru-paru (300) serta penyakit kardiovaskular dan pernapasan lainnya (800). Ekspansi PLTU Batubara yang baru di Indonesia akan menyebabkan estimasi angka kematian dini naik menjadi 15.700 jiwa/tahun di Indonesia dan total 21.200 jiwa/tahun termasuk di luar Indonesia.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah biaya kesehatan yang muncul akibat kerusakan lingkungan hidup yang dialami warga di sekitar PLTU yang dipensiunkan juga akan diganti rugi melalui skema JETP?

Jawabnya lagi-lagi tidak jelas. Warga yang menjadi korban kerusakan lingkungan hidup akibat operasional PLTU batu bara belum menjadi perhatian dari proyek JETP. Jika kemudian warga yang menjadi korban kerusakan lingkungan ini tidak mendapatkan ganti rugi, pertanyaannya kembali lagi, dimana letak keadilan dari proyek JETP ini?

Ketiga, terkait proyek energi terbarukan yang dibiayai JETP. Proyek JETP bukan hanya pensiun dini PLTU batu bara. Ada pembiayaan proyek untuk pembangunan energi terbarukan. Di Indonesia, dari Sabang sampai Marauke ada terdapat energi terbarukan yang dikelola oleh komunitas.

Dusun Manik Aji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Karangasem Bali misalnya, terdapat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik rumah tangga, 17 KK dan 3 fasilitas publik dan tempat ibadah.

Bukan hanya di Bali, di Jawa Barat, tepatnya di Kasepuhan Ciptagelar terdapat Pembangkit Listrik Mikro Hidro (PLTMh).  Sejak tahun 1988 masyarakat sekitar  memanfaatkan aliran air Sungai Cisono dan Sungai Ciboreno menjadi energi listrik untuk dialirkan ke ribuan rumah yang ada di Ciptagelar.

PLTS juga sudah ada di Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. PLTS berkapasitas 30 kilo watt peak (KWp) itu sudah beroperasi sejak 1 Februari 2015. Pelanggan listrik PLTS tersebut sebanyak 152 rumah tangga dan sisanya untuk fasilitas umum.

Tentu masih banyak pembangkit listrik berbasiskan energi terbarukan yang tersebar di seluruh nusantara. Pertanyaannya adalah apakah pendanaan transisi energi di JETP akan diarahkan ke energi terbarukan yang dikelola komunitas masyarakat? Jawabnya lagi-lagi belum jelas. Namun, bila kemudian pendanaan JETP justru diarahkan ke pembangkit-pembangkit listrik berbasiskan energi terbarukan yang dikelola korporasi besar dengan melupakan pembangkit yang di komunitas, bisa dikatakan keadilan telah hilang di dalam proyek JETP.

Semua ketidakjelasan aspek keadilan ekologi dalam JETP sebenarnya bermuara pada satu sebab, yaitu tidak adanya keterbukaan informasi di dalamnya. Pengelolaan dana JETP sejak dari perencanaan seperti berada di ruang yang gelap gulita. Publik tidak diberikan informasi yang mencukupi terkait JETP. Tanpa ada informasi yang mencukupi, keterlibatan publik pun menjadi minimal.

Pengeloaan JETP minus keterbukaan informasi dan keterlibatan publik adalah sebuah ironi. Bagaimana tidak, persoalan energi, termasuk transisi energi, menyangkut hajat hidup orang banyak. Bagaimana mungkin persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak justru dikelola di ruang yang gelap gulita dan hanya melibatkan segelintir elite tanpa ada publik didalamnya?

Tanpa ada keterbukaan informasi dan keterlibatan publik, apakah masih relevan bila kita masih mencari keadilan ekologi dalam proyek transisi energi yang didanai JETP? Jawabnya dengan jelas adalah tidak. Tidak ada keadilan ekologi tanpa keterbukaan informasi dan keterlibatan publik. Tanpa ada keadilan ekologi, transisi energi hanya sekedar transaksi antar elite.

 

Ikuti tulisan menarik Cak Daus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler