x

Ratusan truk angkutan batubara memenuhi jalan umum di Jambi. Foto- Ist.

Iklan

Muhammad Beni Saputra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Selasa, 23 Mei 2023 14:09 WIB

Jejak Kotor Kendaraan Listrik Tidak Hanya Debu Hitam

Artikel ini membahas jejak kotor kendaraan listrik berupa dampak lingkungan, kesehatan, dan konflik sosial.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia memperlihatkan ambisi besarnya menjadi negara produsen sekaligus pengguna kendaraan listrik. Hal ini setidaknya ditunjukkan pada even-even internasional yang diselenggarakan di Indonesia. Dalam perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 tahun lalu, misalnya, Indonesia menyiapkan 1.452 kendaraan listrik sebagai armada operasional kegiatan. Begitu pula dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN Summit baru-baru ini, tidak kurang dari 245 mobil listrik disiapkan Indonesia.

Pada tataran kebijakan pun demikian, Indonesia getol mendorong penggunaan kendaraan listrik, baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat luas. Pada level pemerintah Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 yang mewajibkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menggunakan kendaraan listrik. Pada tataran publik pemerintah memberikan beragam diskon dan subsidi pembelian motor dan mobil listrik.

Ambisi dan kebijakan go green ini sayangnya tidak sehijau tampilan luar karena sumber listrik kendaraan listrik di Indonesia sebagian besarnya masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Tahun 2017 85.5% listrik nasional bersumberkan batu bara. Tahun 2028-2030, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN, proporsi batu bara untuk listrik akan naik drastis dari 90 juta ton (2019) ke 150-160 juta ton. Berdasarkan dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN) tahun 2014, batu bara diproyeksikan menyumbang 30% dari total bauran energi primer Indonesia tahun 2025. Sementara itu, energi terbarukan hanya mewakili 0.2% penggunaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Batu bara memainkan peran yang amat vital dalam menggerakkan roda kendaraan listrik Indonesia karena jumlah cadangannya yang relatif besar dibandingkan sumber daya fosil lainnya. Secara keseluruhan Indonesia memiliki 22.6 miliar ton batu bara atau sekitar 2.2% dari total cadangan global.

Pentingnya peran batu bara bagi kendaraan listrik sepertinya menjadi salah satu alasan kuat pemerintah meresentralisasi sektor pertambangan. Setidaknya ada tiga Undang-Undang (UU) yang memberikan akses resentralisasi ini. Pertama, UU No. 23 Tahun 2014 yang menggantikan UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 23 Tahun 2014 menghapus wewenang kabupaten dan kota dalam mengelola sektor pertambangan seperti yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004. Kedua, UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020. Kedua UU tersebut menghapus kewenangan pemerintah provinsi dalam mengeluarkan izin pertambangan yang sebelumnya dijamin dalam UU No. 4 Tahun 2009.

UU Minerba dan UU Cipta Kerja lebih menguntungkan pebisnis batu bara. UU Minerba menjamin perpanjangan kontrak bagi perusahaan tambang, meskipun terbukti tidak menjalankan tanggung jawab menjaga lingkungan. Warga yang menentang atau dianggap 'mengganggu' kegiatan pertambangan di wilayahnya dapat dipidana atau didenda berdasarkan UU Minerba. Sementara itu, UU Cipta Kerja menjamin royalti sebesar 0% kepada perusahaan yang dapat meningkatkan nilai tambah batu bara. UU Cipta Kerja juga tidak mewajibkan perusahaan memperoleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ini memudahkan perusahaan batu bara memulai bisnis tanpa standar lingkungan yang tinggi. Para taipan batu bara juga ketiban untung ganda dengan bisnis kendaraan listrik yang mereka jalani.

Sektor batu bara berkelit-kelindan dengan politik kotor, di mana pebisnis batu bara seringkali berperan sebagai pemodal politisi yang maju di Pemilu. Pola klientelisme ini ikut mendongkrak izin konsesi bisnis batu bara, dari hanya 750 di tahun 2001 menjadi 10.900 di tahun 2014. Tidak hanya itu, klientelisme membuat perusahaan batu bara melenggang bebas mencemari lingkungan tanpa tindakan tegas dari pemerintah. Klientelisme juga melemahkan daya tawar pemerintah di hadapan taipan batu bara. Kuatnya klientelisme antara penguasa dan pengusaha batu bara menyebabkan banyak kepala daerah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas beragam kasus korupsi terkait pertambangan.

Eksploitasi batu bara besar-besaran melahirkan dampak lingkungan hebat dan berimbas pada kesehatan masyarakat. Bukan itu saja, konflik sosial juga kerap terjadi, terutama di daerah penghasil batu bara.

Dari Lingkungan Sampai Kesehatan

Eksploitasi dan penggunaan batu bara telah menyebabkan pencemaran tanah dan air karena limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) hasil pembakaran batu bara kadang dibuang ke sungai, danau, bahkan perkampungan. Warga Kelurahan Komering Agung, Gunung Sugih, Lampung, misalnya, diresahkan oleh tindakan PLTU setempat yang mencemari lingkungan pemukiman mereka dengan limbah B3. Lebih lanjut, PLTU batu bara mengeluarkan beberapa polutan seperti merkuri, sulfur dioksida, nitrogen oksida, partikulat, dan berbagai logam berat lainnya. Zat berbahaya ini dapat menimbulkan beberapa penyakit kronis jika terhirup dalam jangka waktu lama.

Naasnya, sebagian besar batu bara Indonesia berkualitas rendah, dan menurut laporan the International Energy Agency Clean Coal Centre, organisasi yang konsen terhadap batu bara, batu bara berkualitas rendah menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi. Artinya, polusi yang dihasilkan oleh batu bara jenis ini lebih banyak dibandingkan batu bara berkualitas baik karena efisiensi pembakarannya yang rendah sehingga ada kenaikan CO2 di setiap MWh listrik yang dihasilkan. Dampak buruk lainnya beragam, dari kelangkaan air bersih sampai ke pencemaran air sawah. 

Tidak hanya lingkungan, kesehatan juga ikut terdampak. Telah banyak laporan di media yang mengisahkan penderitaan masyarakat akan polusi dan limbah batu bara. Masyarakat Dusun Winong, kabupaten Cilacap, misalnya, mengeluhkan limbah B3 dan udara kotor PLTU yang beroperasi di sekitar desa mereka. Akibatnya, banyak warga desa ini dilaporkan mengidap penyakit batuk, TBC, dan ISPA.

Hal serupa melanda warga Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Di empat provinsi Pulau Sumatera itu PLTU mengakibatkan aneka ragam penyakit, termasuk penyakit saluran pernafasan. Karena alasan ini, banyak penduduk terpaksa pindah rumah. Namun ada juga yang memilih tetap tinggal karena tidak memiliki biaya buat lari dari penderitaan.

Batu bara, sayangnya, tidak sebatas memberikan dampak lingkungan dan kesehatan, melainkan juga konflik sosial.

Lebih Panas Dari Neraka

Untuk memahami krisis sosial pelik industri batu bara tidak ada tempat yang paling pas kecuali Provinsi Jambi. Jambi masuk dalam lima besar provinsi di Indonesia dengan kekayaan batu bara terbanyak. Ada sekitar 6.81 miliar ton sumber daya batu bara di Jambi, atau sekitar 4.7% dari sumber daya nasional. Jumlah cadangannya juga lumayan, yaitu 2.13 miliar ton, setara dengan 5.5% cadangan nasional.

Besarnya potensi batu bara di Jambi membuat pemerintah memaksimalkan peluang. Izin pertambangan dikeluarkan dengan mudah. Aturan disederhanakan, meskipun sebagian besar Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Jambi bermasalah. Tidak sedikit pula perusahaan yang menabrak Amdal lalu lintas. Bahkan banyak perusahaan batu bara di Jambi menyandang status ilegal.

Kekayaan Jambi akan batu bara tidak serta-merta membuat masyarakat bahagia. Bahkan sebaliknya. Semenjak eksploitasi batu bara besar-besaran warga merasakan panasnya hidup melebihi neraka, terutama bagi mereka yang berdiam di pinggir jalan raya. Hampir saban hari puluhan ribu truk batu bara mengular berkilo-kilo meter di muka tangga mereka.  Pagi-pagi truk batu bara konvoi dalam keadaan kosong dari pelabuhan ke lokasi pertambangan. Siang dan malamnya mereka merayap dengan muatan penuh dari pertambangan ke pelabuhan. Begitulah terus tanpa henti, kecuali pada momen khusus seperti hari raya Idul Fitri. Udara di sekitar rumah warga pun kini dipenuhi kepulan asap solar dan debu hitam.

Kemacetan lalu lintas parah yang dipicu truk batu bara kini menjadi hal lumrah di Jambi. Salah satu (dari sekian banyak) contoh betapa horornya kemacetan di Jambi adalah pada awal Maret lalu. Tidak tanggung-tanggung, kemacetan itu berlangsung 28 jam. Imbasnya, pasien kritis meninggal di ambulans, anak-anak tidak bisa berangkat ke sekolah, sayuran pedagang membusuk, dan ikan-ikan mati.

Selain itu, kecelakaan yang disebabkan oleh truk batu bara telah merenggut ratusan nyawa. Tahun 2021 tidak kurang dari 56 korban tewas.  Di tahun 2022 tercatat 176 kali kecelakaan yang melibatkan truk batu bara, menewaskan 112 warga. Data ini yang terekam saja. Yang alpa dari pantauan bisa jadi lebih banyak lagi, sebab banyak supir yang kabur setelah menabrak.

Properti publik juga ikut menjadi korban, dari tiang PLN yang tumbang, rumah ringsek, sampai jalanan umum rusak parah. Semuanya karena truk batu bara.

Di sepanjang jalan juga sering ditemukan truk batu bara terjerumus ke dalam parit atau terhenti di pendakian. Penyebabnya adalah muatan terlalu banyak, jauh di atas batas maksimum yang diperbolehkan. Supir truk batu bara dipekerjakan dengan sistem tonase. Semakin banyak membawa batu bara semakin banyak pula rupiah dihasilkan. Untuk menutupi biaya pengangkutan, mencicil kredit truk, dan menghidupi keluarga para supir tidak memiliki pilihan lain kecuali membawa muatan melebihi batasan normal.

Bukan itu saja, truk batu bara juga memborong persediaan solar subsidi di SPBU karena perusahaan tempat mereka mengambil batu bara tidak menyediakan bahan bakar. Walhasil, warga yang ingin mengisi minyak tidak jarang harus gigit jari. Itu pun mereka harus mengantri panjang di belakang puluhan truk yang sudah duluan datang.

Masifnya jumlah truk batu bara serta beragam masalah yang tercipta menjadikan supir truk batu bara public enemy. Konflik antara supir truk dan masyarakat yang tinggal di sepanjang jalan umum pun kerap tidak dapat dielakkan.

Pemerintah provinsi dan kabupaten di Jambi sudah didesak untuk menyelesaikan persoalan pelik ini. Kebijakan yang diambil di antaranya adalah membuat jam operasional khusus untuk truk batu bara dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Di beberapa wilayah seperti daerah padat mahasiswa di Mendalo, Muaro Jambi, truk batu bara boleh melintas dari jam 9 malam sampai jam 6 pagi saja. Pemerintah juga mendirikan tenda lengkap dengan personel dari berbagai instansi untuk mengawasi pergerakan truk batu bara.

Mula-mula kebijakan ini ditaati oleh supir truk batu bara. Namun makin hari kian tidak terkendali. Lama-lama keadaan kembali seperti semula, macet di mana-mana.

Rapat persuasif juga dilakukan pemerintah dengan pebisnis batu bara. Bahkan pemerintah meminta mereka membangun jalan sendiri. Investor dikejar-kejar, dengan harapan mereka sudi membikin jalan. Sungai Batanghari masuk dalam rencana pengerukan agar batu bara bisa diangkut dengan transportasi air. Namun sampai hari ini tidak satu pun dari rencana itu terealisasi. Bahkan dalam beberapa rapat terakhir undangan pemerintah diacuhkan pebisnis batu bara. Akhirnya pemerintah Jambi merogoh kocek sendiri. Jalan yang rusak diperbaiki sendiri. Jalan alternatif dibangun sendiri. Semuanya dibiayai sendiri dengan dana APBD.

Kendaraan listrik memang tidak menimbulkan polusi, namun ia meninggalkan jejak kotor yang tidak terlihat di habitatnya di jalan raya perkotaan. Jejak kotor itu dijumpai di pelosok-pelosok Indonesia, di wilayah yang ‘diberkahi’ cadangan batu bara melimpah. Jejak kotor itu tidak hanya debu hitam, asap kelam, melainkan juga deraian air mata kehilangan orang-orang tercinta yang terlindas truk batu bara.

 

Ikuti tulisan menarik Muhammad Beni Saputra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler