x

Iklan

Cahyo Prayogo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Mei 2023

Rabu, 24 Mei 2023 06:14 WIB

Sepenggal Kisah dari Porong, Sidoarjo


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di tengah kemacetan sore itu, saya melaju dengan motor menuju Sidoarjo, menjumpai salah satu kawan lama, yang hampir kurang lebih satu dekade tak bertemu. Sambil ngabuburit, perjalanan sore itu nampak sekali berbeda. Barisan angkot dan bis kota ramah berjejer menjamur di tepian jalanan. Maklum, pada jam tersebut banyak sekali pekerja dari luar Surabaya yang sedang dan akan pulang ke tempat asalnya masing-masing, seperti Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Malang, dan beberapa kota lainnya di Jawa Timur.

Selama 45 menit, perjalanan sore itu penuh sekali pertanyaan. Menjelang maghrib akhirnya sampai juga di Sidokare, rumah kawan lama saya tinggal, salah satu kawasan di selatan Sidoarjo. Sambil berbuka puasa, kami ngobrol kesana kemari hingga larut malam, hingga suatu ketika saya mencium beberapa kali bau di sela obrolan. Bau itu beberapa kali muncul dengan aroma yang khas, kadang hampir dalam satu jam tercium lebih dari tiga kali, atau bahkan lebih. Awalnya saya mengira bau itu berasal dari dapur, namun saya ingat betul itu bau apa.

Setelah ragu dan bertanya, ternyata memang betul, bau itu terbawa angin yang berasal dari selatan rumahnya. Sekitar 15 km, dimana pusat semburan lumpur panas Lapindo berada. Aroma asam bercampur gas seperti itu sering kali tercium oleh kami, kadang seperti belerang, terkadang juga seperti buih kubangan air payau di penghujung musim penghujan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lalu dalam hati saya hanya bisa bergeming, “Tentu bau ini sangat jauh berbeda jika berada lebih dekat dengan sumbernya”. Di tengah malam setalah kami ngobrol panjang lebar, kami sepakat membeli makanan untuk sahur. Kami beruntung menemukan Lontong Kupang yang sebetulnya tak masuk akal tersedia di jam tersebut, karena kebanyakan makanan tersebut hanya tersedia siang hari, terlebih makanan tersebut bagi saya sudah menjadi salah satu kuliner yang cukup mahal untuk saat ini.

Selain prosesnya yang cukup rumit, kerusakan ekosistem laut di pesisir sebagai rumah bagi Kupang cukup sulit dicari. Makan sahur kami waktu itu masih dibumbui bau yang sama, yang sesekali muncul lagi, lagi.. dan lagi. Paska sahur setelah malas balik ke Surabaya, saya pun memutuskan untuk meminta izin menumpang bermalam, tiba-tiba saja, ada keberanian mendadak, mengunjungi salah satu tempat yang saya takuti, yakni semburan lumpur panas Lapindo. 

Sekitar pukul 10.00 WIB saya pun bergegas menuju Porong, merogoh kocek 10 ribu untuk sampai ke pangkalan ojek, tepat diatas tanggul sebelah barat. Sebagai salah satu orang yang awan dan hanya sekedar tahu, namun lebih banyak takutnya, kedatangan saya pun tak ada rencana pasti mau ngapain, hanya mengamati keseharian yang ada disitu, ngobrol di warung bantaran rel kereta api, nongkrong di pangkalan ojek, hingga merasakan bau yang semalam saya hirup, namun lebih pekat. Sesekali memasang masker jika arah angin berhembus kencang menghampiri, sesekali pula mengamati beragam pengunjung yang datang, mampir, lalu pergi.

Tak lama kemudian hujan tiba, berlarilah semua orang mencari tempat yang lebih teduh. Perhatian saya tertuju pada sepasang suami istri yang tetap bertahan di pangkalan ojek. Sang istri membawa kepingan DVD untuk dijual ke pengunjung, per keping DVD dijual 75.000,- hingga 100.000,- tergantung serinya. Sementara sang suami bertugas mencari pembeli, sesekali menawarkan jasa berkeliling dengan motornya. Setelah berkesempatan mengobrol dengannya, saya tertegun, karena ongkos ojek yang ditawarkan waktu itu ialah bayar sukarela.

Berbeda dengan yang lain, saya pun menanyakan kenapa jasa ojeknya tak bertarif? Tak ada kedatangan pengunjung menjadi satu-satunya faktor, lalu bisa jadi karena musim hujan, atau ditengah bulan puasa. Jika biasanya bisa memperoleh 2 hingga 3 penumpang minimal dalam sehari, waktu itu tak satupun pengunjung ada, terkecuali pengunjung yang hanya sekedar mampir, ber swafoto sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.

Namanya Cak Min, lelaki paruh baya yang kemudian saya kenal sebagai salah satu warga korban semburan lumpur panas Lapindo belasan tahun silam, dan masih tetap berjuang penuh diatas tanah kelahirannya, yang kini nasibnya disematkan pada laju roda motornya. Jika ada pengunjung yang menggunakan jasa ojeknya berkeliling melintasi tanggul menuju titik pusat semburan lumpur, beliau mendapatkan ongkos per orang sekitar 25.000,- hingga 50.000,-. Selebihnya bisa berdasarkan rikues, atau keberuntungan berkata lain jika ada penambahan rute, dan lain sebagainya. Belakangan selain sebagai pengemudi ojek tanggul, beliau juga bekerja sebagai buruh lepas pabrik gula yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggalnya.

Tak lama berselang, kami pun menelusuri punggungan tanggul lumpur hingga ke pusat semburan. Selain “kecemasan”, sepanjang perjalanan Cak Min lebih banyak bercerita tentang “kehilangan”. Bahkan ketika menjumpai rombongan Timnas BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo), yang terucap hanyalah kemarahan, ketidakpercayaan, dan kepalsuan. Sependek ingatan saya, beliau selalu berucap bahwa BPLS hanya meredam persoalan, bukan menyelesaikannya. Beliau ingat betul ketika awal bagaimana kampung halamannya “ditenggelamkan” lumpur panas; berwarna hitam pekat, marangsek pelan-pelan mendekati rumahnya. Hari-harinya dipenuhi kegelapan, banyak orang mengalami ketakutan, kehilangan teman tongkrongan, sekolah anaknya tiada, warga saling curiga satu sama lain, hingga rasa gotong royong yang cukup melekat di kampungnya pun pelan-pelan terkubur oleh lumpur.

Selama rumahnya tenggelam, beliau sempat bertahan di posko pengungsian pasar Porong. Namun tak bertahan lama, karena kesulitan mendapat air bersih dan beliau lebih memilih tinggal dirumah sodaranya yang berbeda desa. Selama bertahan disana, beliau tak henti-hentinya mengingatkan kalau desa yang ia tinggali waktu itu cepat atau lambat akan tenggelam pula, maka beliau berusaha memperkuat barisan warga agar tetap mawas diri dan bersiap menunggu giliran tenggelam. Memang betul, beberapa bulan setelahnya desa tersebut bernasib sama, maka ia dan istrinya berpindah lagi ketempat yang agak lebih jauh dari tempat semula. Setelah mengalami masa berpindah dari satu tempat ketempat lainnya, pada akhirnya beliau memilih untuk nge kos dekat pasar Porong, dan bekerja serabutan sebagai buruh pabrik gula sekaligus menjadi pengemudi ojek lumpur panas Lapindo.

Ketika berada didekat pusat semburan lumpur, kami menjumpai rombongan keluarga turun dari mobil sambil mengantongi bungkusan bunga. Tak lama kemudian mereka Nyekar, menabur bunga, dan berdoa untuk leluhur. Setelah doa bersama, masing-masing satu sama lain berebut posisi, berusaha mengingat, mencari dimana kira-kira letak kuburan leluhurnya. Pada tepian air, bunga-bunga itu ditabur dan bersemayam diatas tanah yang akan terus mereka ingat, meski akan tetap mengering dan tak membekas.

Bagi seseorang yang tak punya cukup keberanian datang ke salah satu situs perusakan bumi atas industri pengeboran migas yang sangat menakutkan itu, nampaknya hari itu akan mewujud jadi satu pesakitan bersama. Ada ongkos yang sangat mahal di balik segala macam industri ekstraktif hari ini, yang sudah tentu berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan, dan keselamatan seluruh makhluk di bumi. Maka tak jarang, Cak Min dan beragam rentetan kisah lainnya di banyak tempat adalah salah satu kisah yang “sering” dikorbankan.

Langit gelap kembali berkelayun, maka kami pun segera mengakhiri perjalanan. Setelah sampai di pangkalan, tiba-tiba saya berucap “Apakah Nia Ramadhani pernah kesini?” dan Cak Min pun kembali menatap desanya yang hilang, sambil membayangkan lebaran tiba, sepertinya..

 

Porong,

Menjelang Lebaran 2023

Ikuti tulisan menarik Cahyo Prayogo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler