x

Iklan

Toto Sudiarjo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:13 WIB

Jalan Berliku Transisi Energi di Indonesia

Perbincangan mengenai transisi energi fosil ke energi terbarukan semakin menguat di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Presiden Jokowi mendorong komitmen Indonesia untuk segera melakukan transisi energi baru terbarukan dan meminta dukungan dari negara-negara lain. Tentu kebijakan ini merupakan kabar baik, namun apakah benar langkah ini dijalankan sesuai yang diharapkan atau justru menjadi ladang baru bagi para spekulan untuk meraup pundi-pundi dengan label ‘hijau’.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Energi Terbarukan (Renewable Energy) menjadi kosa kata baru yang cukup populer hari ini sebagai orientasi global untuk menuju bumi yang lebih baik bagi semua makhluk hidup. Di antara negara-negara maju seperti di Eropa, Amerika bahkan Asia, sudah menunjukkan geliat untuk melakukan kebijkan transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan. Hal ini tentu menjadi kabar baik untuk misi penyelamatan bumi dari kehancuran yang terus-menerus akibat modernisasi yang tunggang langgang tanpa henti. Bumi seolah terus-menerus dihisap dan ditaklukan oleh satu spesies yang bernama manusia. Di era industrialisasi, spesies yang bernama manusia ini semakin menguat dan menunjukkan watak antrophosentris untuk menguasai spesies lain di alam baik itu hewan, tumbuhan maupun penghuni bumi lainnya.

Revolusi industri di Inggris pada abad 18, menjadi babak awal dimulainya eksploitasi isi perut bumi yang melahirkan batu bara sebagai energi fosil. Momen sejarah ini menunjukkan bahwa dunia modern sarat dengan ekspansi industri dan birokratis. Manusia-manusia modern bersamaan dengan tumbuhnya berbagi industri membutuhkan suplai energi yang pada saat itu menggunakan batu bara. Lebih dari itu, revolusi industri bukan hanya menjadi babak awal pengerukan isi bumi atas batu bara, namun bagaimana segelintir manusia (elit) dapat menguasai manusia lainnya (kelas pekerja), dalam hal ini pekerja tambang batu bara. Bagaimana segelintir negara (kolonial) menguasai negara lainnya untuk terus dieksploitasi hasil buminya.

Dari sini kita dapat menelusuri bagaimana cerita soal energi batu bara begitu kompleks dengan segala aspek ekonomi, sosial dan ekologis. Melihat energi fosil batu bara yang kita konsumsi listriknya hingga hari ini, tentu tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja sebagai kebutuhan ekonomi. Akan tetapi harus dilihat dari segala aspek yang melingkupinya baik dari lingkungan maupun sosial, di mana ada orang-orang yang terdampak langsung dari pencemaran limbah maupun para pekerja tambang batu bara yang menggantungkan hidupnya dari sana. Tarik-menarik ini yang seharusnya menjadi pijakan dan catatan kritis bagi para akademisi, aktivis lingkungan dan ham hingga pengambil kebijakan. Rencana transisi energi terbarukan sudah semestinya mengacu pada kompleksitas yang ada di lapangan untuk dlihat secara sains sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak salah arah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Transisi atau Transaksi yang Berkelanjutan?

Dorongan internasional atas kondisi bumi yang semakin rentan membuat negara-negara di dunia termasuk Indonesia harus mengikuti gelombang transisi tersebut demi mengurangi emisi karbon dan risiko perubahan iklim. Laporan IPCC pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa konsumsi batu bara yang massif untuk kebutuhan listrik pada akhirnya akan mendorong peningkatan emisi baik dalam melakukan penabambangan batu bara maupun proses menghasilkan listriknya. Sedangkan dari transisi pekerjaan, laporan World Energy Employment edisi September 2022 yang mengacu pada International Energy Agency (IEA), gelombang transisi energi akan menciptakan 14 juta lapangan pekerjaan di bidang energi terbarukan pada 2023. Green jobs dalam transisi energi akan menjadi peluang besar bagi para pekerja di sektor kelistrikan. Namun sejauh mana komitmen ini akan dicapai di tengah masih banyak tenaga kerja yang menggantungkan hidup pada sektor energi fosil seperti batu bara.

Perumusan mengenai transisi energi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan di Indonesia baru dimulai sejak pemerintahan Jokowi. Komitmen Presiden Jokowi untuk menerapkan ekonomi hijau ditungkan dalam Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Umum Energi Nasional, dimana presiden Jokowi selaku Dewan Energi Nasional. Pemerintah menargetkan 23 persen untuk beralih ke energi baru terbarukan pada tahun 2025 dan akan menutup PLTU batu bara pada 2050. Komitmen ini membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak dan pembiayaan yang tidak sedikit tentunya.

Pemerintah Indonesia  memiliki beberapa catatan penting dalam keterlibatannya di forum dunia untuk mendorong pengurangan emisi akibat perubahan iklim.  Pertama, Indonesia menjadi peserta Paris Agreement pada tahun 2016, di mana negara-negara yang terlibat bersepakat untuk menekan emisi tidak di bawah 1,5 derajat celcius. Kedua, Indonesia turut menjadi peserta COP di Glasglow, Inggris, di mana presiden Jokowi dengan lantang menyatakan untuk mendorong transisi energi terbaruran. Ketiga, Indonesia ditunjuk sebagai presidium dalam forum G20 di Bali tahun 2022 dengan mempromosikan kendaraan listrik sebagai komitmen untuk melakukan transisi energi terbarukan yang mana secara bersamaan pertambangan nikel secara massif sedang belangsung di beberapa pulau di Indonesia.

Dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, Indonesia menyepakati perjanjian dengan AS dan negara-negara yang Uni Eropa yang tergabung dalam Inernational Partner Group (IPG) untuk membiayai transisi energi di Indonesia dengan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliyar dolar AS atau sekitar 314 triliun. Selain JETP, Indoneisa juga memiliki nota kesepahaman melalui Energy Transtition Mechanism (ETM) yang didukung langsung oleh Asian Development Bank (ADB). Dari sini kita dapat melihat geliat transaki pembiayaan besar-besaran untuk transisi energi yang di mana masih didominasi oleh pemain-pemain lama di sektor energi seperti Adaro, Toba Bara hingga Harita Group.

Mengacu pada Jakob dan Steckel (2016), ada tiga tantangan dasar yang harus diatasi dalam melakukan transisi energi berkeadilan untuk menyasar yang paling rentan, yaitu: mengatasi pengangguran, degradasi lingkungan dan ketidaksetaraan. Sedangkan aspek penting lain yang harus dipenuhi dalam melakukan transisi energi berkeadilan meliputi; tata kelola, diversifikasi ekonomi, dialog sosial, pendanaan dan pengembangan ketrampilan. Syarat-syarat tersebut tentu harus dipenuhi sebagai tolak ukur untuk melakukan proses transisi energi yang berkelanjutan sekaligus menerapkan inklusivitas maupun kesetaraan.  

Di tengah hingar-bingar wacana transisi energi di Indonesia, upaya untuk melakukan phase out batu bara harusnya dibarengi dengan komitmen yang nyata. Komitmen ini bisa diawali dengan melakukan pemulihan lingkungan sekitar yang sudah rusak seperti kondisi air, tanah dan udara. Pemulihan ini akan berdampak bagi kelangsungan ekosistem sumber penghidupan masyarakat sekitar yang terdampak baik dari segi  ekonomi, sosial maupun kesehatan. Di samping pemulihan lingkungan, hal yang harus dipenuhi juga adalah menyiapkan transisi para pekerja di sektor kelistrikan dari energi fosil ke energi terbarukan baik dari upskilling maupun newskilling agar tidak terjadi risiko pengangguran massal. Perubahan keahlian pekerja dalam green jobs tentu bukan perkara mudah, maka diperlukan persiapan yang cukup matang dengan melibatkan berbagai pihak, bukan hanya dilakukan para elit semata.

Ketergantungan Indoneisa akan energi fosil untuk kebutuhan listrik, khususnya batu bara harus dilihat ulang. Terutama bagi daerah-daerah yang menggantungkan PDRB dari batu bara akan mengalami dampak penurunan secara drastis jika tidak disiapkan diversifikasi ekonominya. Hal ini juga sejalan dengan nasib para pekerja di sektor kelistrikan khusunya di PLTU yang tidak dibilang sedikit jumlahnya. Maka dari itu, kebijakan soal transisi energi bagi Indonesia bisa menjadi buah simalakama jika pengelolannya tidak secara tepat.

Dalam targetnya, pemerintah Indonesia mempromosikan energi baru terbarukan seperti energi panas bumi atau geothermal, kendaraan listrik, co-firing atau biomass yang dianggap lebih ramah lingkungan. Padahal dalam kasus di Indonesia baik energi panas bumi yang rakus akan sumber air maupun kendaraan listrik yang menggunakan nikel dan menjarah beberapa wilayah di Indonesia, sama-sama bermasalah. Belum lagi penggunaan co-firing dengan mencampurkan serbuk kayu dengan batu bara yang mulai diterapkan ke beberapa pembangkit listrik.

Dari situ dapat dilihat bagaimana pemerintah Indonesia di bawah rezim Jokowi mempromosikan wacana transisi energi untuk menuju ekonomi yang lebih hijau perlu dilihat ulang. Akan tetapi solusi energi yang ditawarkan tersebut belum benar-benar bersih dari energi fosil, justru menjadi masalah baru yang daya rusaknya tidak kalah mengerikan. Selain itu, pembiayaan yang cukup besar dari skema JETP, menjadi celah korupsi bagi lembaga-lembaga yang terlibat dan anggaran tersebut hanya dinikmati oleh para elit pemain lama. Transisi energi yang diharapkan menjadi perubahan besar, justru menjadi solusi palsu dan masih jauh dari kata keadilan, dan lagi-lagi lingkungan dan kelompok rentan yang paling merasakan dampaknya.

 

Referensi:

Bruckner T., et all. (2014). Energy System. In: Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution of Working Group III to the Fifth Assesment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change [Edenhofer, O., et all. (eds)]. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.

Jakob and Steckel, 2016. The Just Energy Transition. WWF

https://iesr.or.id/memastikan-proses-transisi-energi-yang-berkeadilan-di-indonesia (Dikases 23/05/2023)

https://megapolitan.antaranews.com/berita/240033/soal-transisi-energi-bagi-indonesia (Dikases 23/05/2023)

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/11/18/risiko-transisi-energi-pekerja-sektor-energi-fosil-bisa-tersingkir (Dikases 23/05/2023)

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6699138/hari-buruh-dan-komitmen-transisi-energi/2 (Dikases 23/05/2023)

Ikuti tulisan menarik Toto Sudiarjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler