x

Tambang Batu Bara

Iklan

Rian Harahap

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Kamis, 25 Mei 2023 08:19 WIB

Legasi Masyarakat Adat Melawan Tambang Batu Bara Peranap

Lomba ini ditulis dalam rangka HARI ANTI TAMBANG.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

      Alunan musik dan tarian Rentak  Bulian mengalun di Kota Rengat dalam salah satu helatan kebudayaan. Tarian Rentak Bulian adalah tarian yang menjadi ikon Indragiri Hulu. Ide dan spirit tarian ini berasal dari sebuah suku asli di Kabupaten Indragiri Hulu yaitu Talang Mamak. Suku ini berdiam disini semenjak ratusan tahun yang lalu, mendiami hutan demi hutan berpindah dari satu sungai ke sungai lain sebagai sumber kehidupannya. Begitulah anak-anak yang merupakan siswa sekolah dasar itu memainkan tarian Rentak Bulian dengan rapi dan lincah. Jauh dari hiruk pikuk dan tepukan tangan penonton di Kota Rengat, muncul suara mesin-mesin mengeruk sebuah galian lubang baru di Kabupaten Indragiri Hulu. Lebih tepatnya di Peranap salah satu kecamatan yang menjadi proyek besar dalam pertambangan batu bara di Riau.

      Inilah yang menjadi situasi paradoksal dimana industri tambang menjadi satu-satunya jalan energi bersifat ekstraktif yang dipaksa hidup di tengah masyarakat adat yang masih jauh dari kata sejahtera. Masyarakat adat punya legasi untuk hidup dengan aman dan nyaman. Hal ini berkaitan dengan air bersih, pangan dan wilayah tinggal masyarakat adat sebagai pemilik hutan asli. Hutan dibabat oleh perusahaan tambang, lalu dibuka dan digali oleh perusahaan-perusahaan tambang di Riau.

       Berdasarkan data terbaru, usaha hilirisasi batu bara di mulut tambang batu bara Peranap ini memiliki kapasitas 1,4 juta ton DME per tahun dengan kebutuhan batu bara sebesar 9,2 juta ton per tahun. Data ini menjadi  sebuah angka yang sangat besar. Munculnya lubang tambang adalah sebuah bentuk penindasan terhadap masyarakat adat Talang Mamak. Hutan yang menjadi sumber air bersih dan menjadi pangan mesti tercemar oleh nalar sesat dari stakeholder serta perusahaan-perusahaan yang rakus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertambangan di Peranap hari ini menjadi industri yang sangat seksi. Dimana orang-orang menjadi ambisius untuk mendapatkan upah besar dan meniadakan hati nurani. Air yang menjadi sumber kehidupan dari Batang Indragiri pun harus tercemar karena penggalian tambang. Lihat saja lubang-lubang bekas galian tambang yang memakan korban yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagaimana anak-anak kita dihisap oleh lubang dalam itu dan tak pernah kembali lagi. Dua lubang galian tambang yang ada di Desa Kelesa adalah bukti masa silam galian tambang itu tidak pernah ditutup oleh mereka yang berkepentingan.

      Masyarakat Adat punya otoritas atas hutannya. Mereka berhak menolak apapun invasi yang masuk dalam sendi-sendi kehidupan mereka. Kehidupan masyarakat Talang Mamak mesti dipandang secara utuh sebagai pemilik ulayat. Apapun motif perusahaan tambang untuk menggali lubang di Peranap mestinya mereka melakukan diskusi mendalam dengan Masyarakat Adat Talang.

      Pertambangan batu bara hari ini tidak lepas dari entitas merusak ekosistem. Hal ini bisa dilihat dari skema awal hingga akhir. Bagaimana cara mereka membebaskan lahan, membuka, menggali, distribusi, dan hilirisasi. Tidak ada bagian dari proses tersebut yang ramah alam apalagi dengan penghuni alam tersebut yaitu masyarakat adat. Krisis air bersih hari ini menjadi entitas isu besar dimana kapitalisme tambang batu bara hidup di tanah-tanah ulayat. Riau yang memiliki tanah subur, serta menyimpan energi  yang besar harus digali dengan paksa. Beginilah wajah Riau hari ini dimana tambang batu bara menghilangkan wilayah kehidupan. Hutan-hutan dibabat habis, ekologi terancam, jalan-jalan rusak. Tidak ada keuntungan dari pertambangan batu bara untuk masyarakat banyak.

LEGASI MASYARAKAT ADAT

            Talang Mamak adalah suku asli yang mendiami hutan-hutan Indragiri Hulu jauh sebelum mesin-mesin tambang itu bermunculan. Otoritas mereka sebagai makhluk Tuhan penjaga hutan yang telah beratus tahun lalu mendiami hutan tersebut. Maka tidak ada kata lain selain menolak pertambangan di Peranap. Talang Mamak yang hidup dengan adat tradisi menjaga setiap jengkal hutan, sungai dan keanekaragaman hayati harus berdiri di depan mesin-mesin tambang. Menolak galian-galian tambang yang menganga dan membuat negeri ini penuh lubang jika dilihat dari angkasa. Lubang-lubang itu seperti blackhole yang akan mengisap dan membuat masyarakat adat kehilangan legasinya.

            Talang Mamak hari ini mesti berbenturan dengan mesin industri. Air yang mereka minum hari ini sudah tak lagi sama semenjak galian tambang tersebut merusak saluran-saluran dan mata air. Tanah-tanah telah berubah menjadi gersang semenjak dibuka untuk siasat kapitalisme. Hewan-hewan pun sudah bermigrasi jauh sebelum mesin-mesin itu membabat pohon-pohon. Semenjak mesin-mesin itu hidup masyarakat terpolarisasi akibat materialistis yang dijanjikan perusahaan. Ekosistem kehidupan manusia yang telah harmonis kini harus saling diadu kepentingan.

            Alam yang menyediakan limpahan energi harus berhadapan dengan canggihnya teknologi yang tidak sesuai dengan hati nurani. Eksploitasi batu bara di Peranap merupakan Big Agenda dari mereka yang tidak peduli dengan pemeliharaan alam. Alienasi yang terjadi tatkala tambang telah masuk ke halaman rumah masyarakat adat mesti dilawan. Talang Mamak akan berhadapan langsung dengan metal dan metaloid dengan kadar konsentrasi yang cukup tinggi. Hal ini akan berpengaruh bukan hanya struktur yang adat namun kesehatan dan lingkungan yang terpapar radiasi. Kita tidak ingin melihat anak-anak Talang akan terkena paparan emisi karbon dan menderita gangguan pernapasan serius seperti pneumoconiosis, silicosis dan asbestosis. 

      Negeri ini berhutang banyak pada masyarakat adat, namun pihak-pihak yang punya kepentingan masih saja tutup telinga terhadap legasi Talang Mamak. Bisa dibayangkan jutaan butiran halus kuarsa dan silika yang dihirup oleh masyarakat adat hidup dalam tubuh mereka. Masyarakat adat adalah penopang ekosistem di negeri ini. Di Kabupaten Indragiri Hulu, Suku Talang Mamak akan selalu menjadi orang-orang yang bekerja dan menjaga dengan ikhlas sesuai dengan apa yang mereka percayai bersama leluhurnya.

    Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwasanya selama dikategorikan B3, fly as dan bottom ash disebut tidak dapat dimanfaatkan. Ini bukanlah hal kecil yang mesti ditawar lagi, penolakan harus terus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai masyarakat yang peduli dengan alam. Masyarakat adat yang halaman depan rumahnya telah terampas harus berani mengangkat tangan, menolak apapun itu bentuk pertambangan. Alasan-alasan yang dikemukakan akan selalu klise dan tidak masuk nalar para pejabat publik di negeri ini. Masyarakat Adat harus berdiri tegak, menarikan Rentak Bulian seperti apa yang siksa. Eksploitasi secara besar-besaran akan membuat punahnya nilai-nilai adat. Warisan budaya yang hidup selama ratusan tahun tentu hanya akan menjadi bagian cerita di buku-buku pelajaran.

     Talang Mamak adalah cerminan air yang membentang di seluruh hutan. Ia adalah penjaga pintu rimba yang tak perlu lagi ditanya kesetiannnya. Sementara, mesin-mesin tambang akan bekerja dalam beberapa waktu lalu pergi meninggalkan lubang kematian yang tak pernah dikubur hingga akhir zaman. Tanggung jawab atas tambang bukan hanya untuk mereka yang berjaga di pintu rimba. Jangan biarkan negeri ini semakin luka dengan penuh kudis-kudis menganga di tengah-tengah jagawana. Selamatkan Talang, Selamatkan Alam, Selamatkan Peranap.

Ikuti tulisan menarik Rian Harahap lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler