x

Ilustasi kegiatan tambang.

Iklan

Norilla

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 08:37 WIB

Perempuan dalam Muara Tambang Gumuk dan Tembakau Jember

Tambang gumuk dan menipisnya lahan menanam tembakau Jember sebagai sumber utama tersedianya sandang pangan, amat jarang dipersoalkan terlebih dalam sudut pandang perempuan yang kerap dipandang pincang dalam kehidupan sehari-hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sulit rasanya mendamparkan ingatan tentang Jember pada era 10-20 tahun silam. Bukan apa-apa, gedung-gedung tinggi mulai penuh sesak, pabrik industri mulai berserakan, serta perumahan yang akhir-akhir ini begitu masih dibangun, telah mengubah wajah Jember yang teduh dan rindang. Semuanya seolah berlomba menyulap Jember sesuai keinginan komoditi.

Selaku daerah yang sejarah lahirnya masih terus diperdebatkan, Jember memiliki potensi luar biasa dari segi kekayaan alam. Diapit Gunung Raung di sebelah timur, Hyang Argopuro yang memanjang di wilayah utara, ganasnya Samudera Hindia di sisi selatan atau gagahnya Semeru di tepi barat, menjadikan Jember sebagai primadona bagi investor.

Tambang kapur di Gunung Sadeng, misalnya. Telah jatuh di tangan korporasi dan menjadi pemasok utama pabrik semen. Belum lagi tambang emas di wilayah Paseban dan Silo yang ditolak masyarakat, namun kementrian ESDM memberi izin diam-diam adalah segelintir potensi kekayaan alam Jember. Terlebih tambang gumuk yang kini tak bisa dikendalikan, seakan memperkuat kesimpulan bahwa tambang akan terus menjadi tantangan masyarakat ke depannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena Gumuk, Fenomena Alam Langka di Dunia

Berbicara tentang gumuk, berarti berbicara tentang fenomena alam langka di dunia. Gumuk di Jember bukan sembarang bukit. Gumuk di Jember terbentuk akibat longsoran gunung api pada zaman lampau, yakni ketika Gunung Gadung—gunung api tua di sebelah barat Gunung Raung—meletus.

Hal ini mengacu pada bentuk gawir bekas longsoran di sebelah barat Gunung Gadung, di mana material dan lahar yang disertai banjir bandang pada zaman itu, ditengarai menerjang Jember lalu mengendap bertahun-tahun. Endapan yang disebut hillocks ini adalah fenomena geologi langka di dunia yang terbesar dan terpanjang. Perkiraannya terjadi ketika Gunung Gadung aktif sekitar 40.000–100.000 tahun yang lalu, jauh sebelum Gunung Raung aktif seperti sekarang.

Fenomena ini membentuk gumuk atau bukit-bukit yang menyebar di Jember terutama wilayah utara yang berdekatan dengan Gunung Raung. Sialnya, status gumuk yang menjadi hak milik perorangan seolah jalan mulus untuk pertambangan. Kini, sebutan Seribu Gumuk bagi Jember seolah kenangan belaka.

Sebagaimana kompeni mengambil kekayaan alam sebanyak-banyaknya, begitulah penguasa bertabiat. Izin pertambangan gumuk seolah diobral. Mudah, murah dan gumuk-gumuk dikeruk habis-habisan. Materialnya yang berupa batu dan pasir dikirim ke mereka-mereka yang membangun pabrik industri dan perumahan yang saat ini marak terjadi. Ke-enggan-an pemerintah meminimalisir akibat tambang yang bergandengan tangan dengan keuntungan, seolah udara yang mesti dihirup masyarakat sehari-hari.

Perumahan, Tembakau dan Hilangnya Sumber Pangan

Sebagai penghasil cerutu yang menduduki peringkat kedua di dunia setelah Kuba, Jember memiliki peranan penting soal tembakau. Pembagian wilayahnya pun terbagi dua. Wilayah selatan Jember mayoritas menanam tembakau jenis Na-oogst yang merupakan bahan utama cerutu, sementara wilayah utara yang mayoritas berkultur Madura, menanam tembakau jenis Voor-oogst yang merupakan bahan rokok kretek di pasaran.

Pembagian ini berkelindan akan sejarah masa silam di mana George Birnie mendirikan perusahaan tembakau paling luas pada masanya yang bernama Landbouw Maatschapij Oud Djember (LMOD). Didirikan pada tahun 1859, perusahaan ini memanjang dari wilayah utara sampai selatan Jember. Konon, apabila semua gudang disatukan, akan menutupi jalanan Rotterdam hingga Schveningen. Dan gudang-gudang itu masih bisa kita temui hingga sekarang.

Bahkan, gudang tembakau yang fokus pemasarannya berupa rokok kretek, berserakan di wilayah utara Jember. Mulai dari gudang yang menampung pembelian dari petani, pemilahan dan penyortiran, sampai pembuatan rokok. Entah anak gudang milik Sampoerna, Djarum, atau Gudang Garam. Belum lagi gudang-gudang kecil yang bertebaran di sudut-sudut padukuhan.

Ironisnya, akhir-akhir ini gegap gempita petani tembakau mulai menyusut. Selain naiknya cukai yang berimplikasi terhadap harga di pasaran, ada isu kesehatan, penolakan terhadap merokok yang  berkepanjangan, serta lahan menanam yang kian menipis yang menjadi soal utama. Sawah-sawah produktif yang dulunya tempat berpetak-petak padi menguning, kini telah beralih menjadi tempat huni berkotak-kotak. Padahal tembakau memiliki dampak siklus kehidupan ke depannya.

Selaku tanaman yang mengandalkan terik matahari, tembakau kerap ditanam saat akhir musim hujan menjelang kemarau. Dari proses perawatan, panen, dijemur hingga dijual ke gudang, tembakau butuh waktu sekitar 3-4 bulan. Puncak musim panen biasanya jatuh dari bulan Juli hingga Oktober. Bagi petani Jember, tembakau tak ubahnya urat nadi. Jika buntung hari ini, maka akan menanam seribu kali lagi.

Hal ini terjadi lantaran hasil yang diperoleh dari menanam tembakau amat menggiurkan. Tembakau dapat menghidupi kehidupan berbulan-bulan ke depan bahkan menjadi modal menanam musim mendatang. Baik padi, jagung atau sayur, tak jarang modalnya berangkat dari hasil panen tembakau. Maka, dalam ranah petani Jember, tembakau adalah kunci rumah tangga.

Tapi kini, hal ini tak lagi berlaku mengingat sawah-sawah yang menjadi tempat menanam tembakau sekaligus pusat tersedianya sandang pangan, telah beralih menjadi perumahan. Entah sawah yang di dekat kota bahkan di desa-desa, semua telah beralih tangan. Umumnya dalam bentuk perumahan, pabrik industri, gedung-gedung mewah nan menjulang di pusat kota atau dialihkan menjadi tempat wisata.

Sialnya, seluruh bangunan itu membutuhkan bahan baku berupa batu dan pasir yang diambil dari gumuk di desa yang telah ditambang habis-habisan. Maka, secara garis lurus, gumuk yang dikeruk dan beralihnya sawah menjadi pabrik industri dan perumahan, seakan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan pihak korporasi.

Perempuan Dijerat Kebungkaman

Hubungan antara gumuk dan sawah yang berkelindan, telah mengantarkan satu kenyataan yang tak bisa dipungkiri yakni perempuan menjadi korban pertama yang merasakan akibatnya. Dalam ranah gumuk yang ditambang, misalnya. Hal ini berakibat dari banyaknya bencana alam yang menimpa Jember akhir-akhir ini. Mulai dari banjir, puting beliung sampai hilangnya serapan air sehingga menambah jerit tangis perempuan saat mendapati alam kian rapuh.

Selaku kaum yang kerap diperlakukan rendah daripada lelaki, para perempuan yang bertempat tinggal di dekat gumuk kelimpungan saat sumber mata air mengering. Sumur-sumur tak lagi berair. Padahal air memiliki fungsi krusial dalam urusan sehari-hari. Sementara perempuan memiliki beban domestik dalam mengurus rumah tangga. Mulai dari masak, mencuci bahkan mandi, seluruhnya membutuhkan air. Tak ayal, mereka mengamini ucapan orang-orang tua zaman dulu yang menyebut gumuk sebagai Pakoh Bhumi atau pakunya bumi. Bila paku yang tertancap dicabut, maka habislah riwayat hidup.

Pepatah ini adalah gambaran betapa fungsi gumuk tak bisa disepelekan. Ia memiliki peran penting sebab segala tanaman di sana menyimpan kadar air. Secara turun temurun, masyarakat telah menggantungkan sumber mata air di sumur yang berasal dari penyimpanan air di akar pohon-pohon gumuk. Sayangnya, pertambangan yang kian menjadi-jadi di mana pihak korporasi terus menerus mengeruk gumuk sedalam-dalamnya, mengakibatkan sumber mata air terputus begitu saja.

Begitu pula dengan perempuan yang dulunya memiliki sawah, tapi kini lahan tersebut telah jatuh ke tangan korporat dan disulap menjadi bangunan. Maka, secara otomatis, mereka kehilangan sumber pangan yang biasanya didapat dari sawah. Kini, mereka harus membeli beras dan sayur yang dulunya bisa diperoleh dari lahan sendiri. Belum lagi lepasnya sawah yang menyebabkan hilangnya sumber mata pencaharian. Tak jarang para perempuan memilih merantau mencari kerja. Entah ke Bali atau menjadi TKI, dan di antara mereka tak sedikit yang menjadi korban human trafficking.

Dalam keadaan begini, tak ada yang bisa dilakukan para perempuan selain berupaya bertahan dan mencoba bersuara. Sialnya, suara mereka kerap dibungkam keluarga dan lelaki sendiri. Mereka dianggap membangkang dan tak patuh terhadap suami. Maka, kedudukannya yang telah lunglai, kian lunglai serupa tali kutang dan celana dalam. Lantas, sampai kapan perempuan selalu dipandang sebatas lubang farji yang harus siap dikeruk dalam-dalam sebagaimana gumuk yang disesap habis-habisan?

Ikuti tulisan menarik Norilla lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler