x

Iklan

trimanto ngaderi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 September 2022

Kamis, 25 Mei 2023 14:13 WIB

Fenomena Memiskinkan Diri

Selama hampir delapan tahun menjadi seorang Pendamping Sosial bagi program PKH, penulis sering menjumpai orang-orang dengan tipikal memiskinkan Diri. Sebenarnya mereka tidaklah miskin, tapi merasa miskin. Sejatinya mereka sudah sejahtera, tapi mengaku sebagai orang miskin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

FENOMENA “MEMISKINKAN DIRI”

 

“Orang miskin saja malu apabila disebut miskin. Mengapa ada orang yang tidak miskin (bahkan sudah lebih sejahtera) tanpa malu-malu mengaku sebagai orang miskin. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu program kerja pemerintah secara nasional adalah mengentaskan kemiskinan. Beberapa kementerian memiliki program-programnya sendiri dalam rangka pemberdayaan masyarakat untuk mengurangi angka kemiskinan. Kementerian Sosial misalnya, meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu program bantuan tunai bersyarat untuk keluarga miskin yang memiliki komponen pendidikan, kesehatan, maupun kesejahteraan sosial. Penerima program ini disebut Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Beberapa faktor penyebab mengapa sebuah keluarga menjadi miskin dan atau rentan miskin di antaranya:

  • Faktor minimnya sumber daya alam; misalnya tanah yang tandus dan gersang, tidak adanya irigasi pertanian, hutan yang gundul, lahan yang tidak subur lagi, alih fungsi lahan, dll.
  • Faktor sosial ekonomi dan politik; misalnya inflasi, krisis moneter, PHK, kenaikan harga pangan, kekisruhan politik, konflik sosial, dsb.
  • Faktor ketidakadilan di bidang sosial ekonomi;
  • Faktor kemalasan;
  • Dan lain-lain

Faktor poin 1 sampai 3 adalah faktor eksternal, sedangkan poin 4 adalah faktor internal atau yang sering disebut sebagai “kemiskinan kultural”.

 

Memiskinkan Diri

Sebenarnya, untuk mengatasi masalah kemiskinan tidaklah terlalu sulit, terlebih apabila faktornya adalah eksternal. Yang sulit adalah jika faktornya internal, karena hal itu menyangkut pola pikir, cara pandang, sikap dan perilaku. Tidaklah mudah menghilangkan rasa malas pada diri seseorang. Dorongan, motivasi, persuasi dari orang lain belum tentu mempan apabila tidak dibarengi oleh kemauan dan tekad dari orang tersebut untuk membuang rasa malas itu.

Ternyata, di atas kemalasan masih ada sikap mental yang cukup berbahaya, yaitu “memiskinkan diri”. Selama hampir delapan tahun menjadi seorang Pendamping Sosial bagi program PKH, penulis sering menjumpai orang-orang dengan tipikal tersebut. Sebenarnya mereka tidaklah miskin, tapi merasa miskin. Sejatinya mereka sudah sejahtera, tapi mengaku sebagai orang miskin.

Mengapa mereka melakukan hal itu?

Sudah barang tentu jawabannya adalah agar mereka mendapatkan bantuan dari pemerintah sebagaimana yang diterima oleh orang-orang miskin.

Diawali oleh rasa cemburu, mengapa orang lain bisa mendapatkan bantuan sosial (bansos), sedangkan dirinya tidak mendapatkan. Selanjutnya tanpa malu-malu mereka ikut mendaftar ke balai desa agar dirinya bisa masuk ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Setelah terdaftar di DTKS, mereka tidak sabar menunggu panggilan (giliran) untuk mendapatkan bansos, padahal yang orang miskin beneran saja sabar menanti. Tak jarang mereka marah-marah kepada perangkat desa, Pendamping Sosial, atau pihak lain karena sudah lama mengusulkan tapi tak kunjung menerima bantuan.

Parahnya lagi, demi keserakahan, mereka rela berbuat tidak jujur. Ketika ada petugas yang datang untuk melakukan verifikasi dan validasi kelayakan, mereka memberikan keterangan yang tidak sebenarnya. Punya beberapa perhiasan emas, tapi mengaku tidak punya. Memiliki tanah yang cukup luas, mengaku hanya punya lahan sedikit, atau bilang itu masih punya orang tua. Punya rumah bagus katanya hanya pemberian (warisan) orang tua. Punya tiga sepeda motor mengaku hanya punya satu (kebetulan yang sedang ada di rumah hanya satu). Usahanya berjalan dengan baik dan maju, namun berkata usahanya sedang bermasalah (macet). Dan berbagai kedustaan lainnya.

Lebih parah lagi, ketika turun bantuan dan yang muncul orang-orang yang Memiskinkan Diri tadi. Sementara orang miskin sungguhan dan sudah mengantre lama justeru namanya tidak muncul. Tentu hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial dan keresahan di masyarakat.

Ada lagi yang unik. Ini menimpa mereka yang sudah menerima bantuan. Mereka SENGAJA tidak merenovasi rumahnya (padahal dia mampu) dengan tujuan agar ia dapat terus menerima bantuan. Dalam hal ini, bansos telah membuatnya ketergantungan.

 

Tanda Orang Tak Beriman

Dalam Islam, sikap mental Memiskinkan Diri pertanda orang yang tidak bersyukur. Tidak puas terhadap apa yang telah ia terima dan telah ia miliki. Ia masih iri terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Bahkan, cemburu terhadap bansos yang diterima oleh orang yang lebih miskin dari dirinya.

Dia mengaku beriman, padahal sesungguhnya belum ada iman di dadanya.

Jikalau beriman, ia akan memahami dengan baik ajaran Islam, yaitu “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”. Dengan lain kata, memberi lebih baik daripada menerima. Pemberi derajatnya lebih mulia daripada penerima. Bahkan, Allah menganjurkan untuk memberi (bersedekah) baik dalam keadaan rejekinya lapang maupun rejekinya sempit (Q.S. Ali Imran: 134).

Jikalau beriman, seharusnya ia percaya bahwa rejeki itu datangnya dari Allah. Dan bahwasannya setiap orang telah memiliki jatah rejekinya masing-masing. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait rejeki, apalagi sampai iri terhadap rejeki yang diterima oleh orang lain.

Sebagai seorang yang beriman, sepatutnya ia merasa senang jika ada orang miskin yang menerima bansos dari pemerintah. Ia meyakini bahwa pemerintah hanya sebagai perantara Tuhan dalam memberikan rejeki kepada orang miskin. Dengan landasan ini, membuat ia terdorong pula untuk ikut membantu orang-orang miskin.

Semestinya ia merasa malu terhadap orang lain, terlebih terhadap Allah Sang Pemberi Rejeki, kalau dirinya mengaku-ngaku sebagai orang miskin, padahal tidak miskin, bahkan lebih dari sejahtera.

 

*****

Dalam melakukan pemberdayaan, seorang Pendamping Sosial sudah cukup kerepotan dihadapkan pada kemalasan penerima bansos yang menjadi dampingannya. Kini ditambah lagi harus menghadapi orang-orang yang bermental Memiskinkan Diri.

Dengan keterbatasan pengetuan dan keterampilan yang dimiliki oleh seorang Pendamping Sosial, maka dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk “mengobati” penyakit kronis itu. Dukungan dari para alim-ulama, sesepuh-pinisepuh, psikolog, konsultan, hipnoterapis, dan ahli-ahli lainnya.

Namun, dukungan-dukungan itu menjadi tidaklah berguna apabila yang bersangkutan tidak ada kemauan dan tekad untuk merubah sikap mentalnya.

Tulisan ini saya tutup dengan:

“Apabila sikap mental Memiskinkan Diri itu diafirmasi dan masuk ke dalam alam bawa sadar, suatu saat nanti, ia akan benar-benar menjadi orang miskin”.

 

Trimanto

(Pendamping Sosial Kecamatan Andong, Boyolali)

 

Ikuti tulisan menarik trimanto ngaderi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler