x

Iklan

Jaka Hendra Baittri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Kamis, 25 Mei 2023 12:18 WIB

Tidak Ada Kebahagiaan dalam Transisi Energi

Indonesia menandatangani kesepakatan untuk menangani perubahan ikllim. Namun dalam rentang waktu yang tak jauh juga menggenjot produksi batubaranya. Beberapa saham perusahaan batubara nasional kemudian mengalami kenaikan signifikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya


Aida mengemas baju anak-anaknya. Memasukkannya dalam tas dan memanggil anak-anaknya untuk bersiap. Keputusannya sudah buat untuk pulang ke Wonosobo, kampung halamannya. Dia menghela napas dan melihat sekeliling rumah. Sawahlunto sebagai perantauannya bertahun-tahun ternyata bukan rumah tempatnya menikmati usia sampai tua.

Dia keluar rumah dan melihat cerobong raksasa milik Pembangkit Listrik Tenaga Uap Ombilin. Pagar area pembangkit itu hanya sekitar 2 meter dari rumahnya. Sebuah bedeng kontrakan yang ukurannya tak sampai rumah subsidi di kota-kota. Suara-suara berisik mesin PLTU memekakkan telinganya dan masyarakat sekitar, mengganggu PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang bangunnya berada di depan gerbang PLTU, mengganggu konsentrasi belajar sekolah dasar yang juga tak jauh dari sana, abu bertebaran di mana-mana. Dahulu hitam pekat, kini putih, namun debu tetap debu, membuat paru-paru layu.

Ibu yang memiliki dua anak itu sudah lelah bersuara agar perusahaan yang berada di bawah kendali PLN ini dapat bertanggungjawab atas kesehatan dan udara bersih warga sekitarnya. Manajemen PLTU sempat melakukan pemeriksaan paru-paru terhadap 53 anak sekolah dasar setempat. Hasilnya 66 persen mengalami gangguan seperti bronkitis sampai tubercolosis atau TB. Dengan kata lain anak-anak Desa Sijantang, Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat, terancam kesehatan parunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak hanya itu. Ada lagi Yulisar. Perempuan yang berusia setengah abad ini tak pernah tidur nyenak sejak mesin besar ini beroperasi. Alergi udara kotor membuatnya seperti terkena salesma. Harus ada handuk basah tersedia setiap akan tidur untuk mendinginkan hidungnya. 

Semua cerita singkat itu seperti bertolak belakang dengan alasan pendirian mesin produksi listrik ini. Mobil batubara terus-terusan bolak-balik ke objek vital nasional ini untuk menyalurkan listrik ke penjuru Sumatera Barat. Demi berjalannya ekonomi dan kebahagiaan orang-orang kota menjalankan kehidupannya.

Sama halnya dengan ambisi transisi energi negara. Saudara-saudara di Pulau Obi, Pomalaa, Konawe Utara dan daftar panjang lokasi yang dikeruk habis-habisan kemudian mengalami krisis ekologis. Udara mereka kotor, sumber air tercemar, laut tempat mereka mencari ikan pun jadi kotor dan membuat sepi ikan. Kalau pun ada ikan, bukan tak mungkin ada racun yang akan tertelan manusia saat mengonsumsinya.

Berbeda dengan Aida yang punya kampung halaman di Wonosobo. Saudara-saudara di lokasi pengerukan nikel untuk baterai yang diharapkan mengurangi emisi itu mungkin tak punya lagi tempat pulang. Apa yang mereka sebut sebagai rumah sudah tak lagi menjadi rumah. Sebuah ruang privat yang dapat menjadi tempat penumpahan ekspresi manusiawi.

Semua demi energi dan kebahagiaan, kata pemerintah.

Meninjau kata ‘energi’ dalam sejarah

Jauh sebelum revolusi industri di Inggris, sebuah masa yang menjadi contoh buruk perlakuan terhadap buruh bagi Karl Marx, energi punya definisi yang berbeda. Definisi yang belum dibekukan oleh kepentingan-kepentingan industrial menjadi rumus-rumus termodinamika dan bahasa-bahasa rumit milik fisikawan.

Adalah Aristoteles menyebut kata Energeia dalam bahasa Yunani semasanya hidup sekitar 384 hingga 322 sebelum masehi. Cara New Dagget dalam bukunya The Birth of Energy mengatakan murid Plato ini menggunakan istilah energeia sebagai cara untuk menyampaikan soal-soal kebahagiaan dan kebaikan. Sebab menurut Aristoteles, kebaikan adalah proyek yang sedang berlangsung dan dinamis, bukan pencapaian statis.

Daggett kemudian mengatakan seorang ilmuwan lain bernama Sach menuliskan perbedaannya dengan entelechy yang berarti bekerja secara statis atau begitu-begitu saja. Seiring waktu energeia mengalami penyempitan makna, bahkan mungkin tak lagi dapat dibedakan dengan entelechy. Harus bekerja terus menghasilkan hal yang sama seperti keuntungan misalnya atau kebutuhan-kebutuhan yang berbau material seperti listrik dan semacamnya.

Definisi itu dari Aristoteles yang tak lain merupakan kata dan pandangan dunia barat. Sementara itu pada peradaban lain, Tiongkok memiliki konsep Qi yang punya definisi apa saja yang eksis dan kemampuan untuk menjadi. Sedangkan dalam Hindu ada istilah prana yang berkaitan dengan napas hidup di alam. Sedangkan dalam pandangan Stoic ada istilah pneuma yang berarti gabungan api dan udara yang menjadi medium kosmis dan menjadi dasar kehidupan. 

Menurut Daggett semua konsep it terhubung sebagai sebuah visi dari semesta dan batasan-batasan moral dalam hidup. Semuanya terbentuk menjadi harmoni dan perubahan yang konstan dan dinamis.


Ruwetnya Sikap Indonesia

Indonesia menandatangani kesepakatan untuk menangani perubahan ikllim. Namun dalam rentang waktu yang tak jauh juga menggenjot produksi batubaranya. Beberapa saham perusahaan batubara nasional kemudian mengalami kenaikan signifikan.

Bisa jadi karena perang Ukraina menjadi alasan beberapa negara Eropa membeli batubara ke Indonesia ke perusahaan yang sahamnya naik tadi. Belum lagi ambisi mobil listrik yang mengeruk tanah-tanah Indonesia Timur. Sementara janji transisi energi dan mengurangi efek perubahan iklim juga terus digaung-gaungkan.

Pemerintah kemudian membuat JETP atau Just Energy Transition Partnership. Skema JETP ini termasuk dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). Ada dana 20 miliar Dolar Amerika dan hingga sekarang belum ada informasi terbuka soal itu. Non Government Organization (NGO) 350 ID menganggap JETP belum transparan. 

Entah berapa banyak uang mengalir ke negara ini. Baik dari konsumen energi kotor hingga untuk mencuci tangan mereka karena dosa-dosanya atas pengrusakan lingkungan di Indonesia. Kebahagiaan dan kebaikan siapa yang mereka utamakan?

Upaya Gagap Praktik Energi Baru Terbarukan

Mentawai sebagai surga para peselancar ombak punya cerita lain yang tak kalah kusut masai. Permasalahan energi dalam arti bahan bakar jadi masalah sejak jaman kemerdekaan. Harga bensin mahal karena fasilitas minim. Listrik belum sepenuhnya mengalir ke semua desa dan desakan industri membuat masyarakat Mentawai harus berubah.

Sebuah ide ambisius untuk menegaskan proyek Mentawai Terang dijalankan sejak 2017. Pembangkit-pembangkit raksasa dibangun dan akan beroperasi dengan bahan bakar bambu. Masyarakat juga disuruh menanam bambu dan nantinya akan mendapat insentif. 

Saya bertemu Malaikat. Seorang lelaki tua yang sempat bersemangat untuk menanam bambu. Namun belum panen bambunya mesin pembangkit rusak. Entah alih teknologinya yang bermasalah atau apa, dia kemudian menggunakan solar. Agar listrik masyarakat hidup.

Ambisi-ambisi tanpa menarik historis dan kebutuhan energi di sebuah daerah membuat langkah tertatih-tatih. Distribusi besar yang menjadi target membuat rumit situasi. Bagaimana seharusnya setiap wilayah punya potensi energi sendiri, seharusnya menjadi perhatian dari pengambil kebijakan. Semisal daerah yang memiliki angin harus ada pembangkit listrik tenaga bayu yang tidak berlebihan, selanjutnya solar sell dan seterusnya. Sesuai dengan kebutuhan dan harmonis.

Sementara itu masih di Mentawai masih banyak yang memiliki solar panel untuk mendapat energi panas dari matahari dan dikonversi jadi listrik. Namun banyak yang terbengkalai. Sebab PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa) datang dan diharapkan memudahkan kerja-kerja masyarakat. Namun seperti keluar mulut buaya masuk mulut harimau. Memutuskan pindah sumber listrik tak serta merta membuat mereka dapat menikmatinya 24 jam.

Environmental Paper Network (EPN) yang merupakan jaringan internasional bertujuan membuat perubahan untuk lingkungan berkelanjutan mempunyai posisi yang tegas. SAya mencoba menghubungi Sophie dari EPN. Mereka mengatakan model energi terbarukan perlu punya pendekatan progresif dan adil secara sosial terhadap otonomi dan keberlanjutan energi daripada inisiatif milik industri.

Dia mengatakan sebaiknya energi dimiliki per komunitas yang artinya memiliki sistem tenaga terdesentralisasi dan aset terkait energi dimiliki dan dikelola oleh kepemilikan kolektif. Artinya setiap lokasi yang memiliki potensi unik dapat menggunakan energi yang berbeda. Bisa jadi sebagian dari angin dan sebagian lainnya dari panas matahari.

Para pemangku kebijakan mungkin perlu turun, sebab seperti kata Albert Camus bahwa kebenaran hanya ada di jalanan. Pada jalanan mereka tahu apa kebutuhan dari masyarakat dan betapa rentan manusia menjadi korban industri ekstraktif yang buas ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Jaka Hendra Baittri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler