x

Iklan

Luna Septalisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2022

Selasa, 13 Juni 2023 15:34 WIB

Gerakan Reclaim the Night; Harapan Perempuan untuk Tetap Aman Saat Bepergian di Malam Hari

Di masyarakat kita, perempuan keluar rumah di malam hari masih sering mendapat stigma negatif. Selain itu, perempuan juga dianggap lebih berisiko menjadi korban kejahatan di jalan atau ruang publik saat malam hari. Sebagai bentuk dukungan agar perempuan mendapat hak atas rasa aman saat keluar rumah di malam hari, muncul gerakan Reclaim the Night yang merupakan bagian dari Gerakan Pembebasan Perempuan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perempuan sudah terbiasa menghadapi berbagai bentuk pembatasan. Ketika anak laki-laki bisa keluar atau pulang larut malam tanpa kena omel orangtua dan nyinyiran tetangga, anak perempuan tidak bisa demikian.  Ndak ilok (baca: tidak pantas) kata orangtua, kalau anak perempuan keluyuran malam-malam. 

Hal inilah yang membuat saya dan tentu anak perempuan lain di luar sana terbatasi. Jangankan keluyuran, nongkrong apalagi clubbing, maghrib saja sudah harus ada di rumah. Di atas jam 10 malam baru pulang, pasti bakal dimarahi orangtua meski sebelumnya sudah izin dan memberitahu kemana kita pergi serta keperluannya. 

Untungnya, saat kuliah aturan jam malam yang diberlakukan pada saya agak longgar. Kalau tidak, saya pasti bakal kesulitan ketika harus ikut kerja kelompok atau mengikuti kegiatan study club yang biasanya diadakan di malam hari. 

Bahkan, larangan terhadap perempuan untuk keluar rumah di malam hari ada yang dilegalkan melalui peraturan daerah. Di Provinsi Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Utara, sekitar 28 ormas yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Ormas se-Aceh Utara menggelar dan menandatangani deklarasi bersama tentang larangan anak-anak dan perempuan berkeliaran saat malam hari. Sontak saja aturan ini mengundang kehebohan karena dinilai diskriminatif. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada berbagai faktor yang kerap dijadikan alasan untuk melarang perempuan keluar rumah di malam hari seperti masalah keamanan dan stigma dari masyarakat. Masyarakat kita masih sering menganggap perempuan bepergian di malam hari sebagai ‘perempuan nakal’. Stigma ini juga pernah dijelaskan oleh Gail Pheterson (1994, p.46) dalam artikelnya yang berjudul The Whore Stigma: Female Dishonor and Male Unworthiness. 

Dalam artikelnya, Gail menyebutkan bahwa perempuan yang keluar malam sering dianggap sebagai salah satu ciri pekerja seks komersial (PSK). Secara spesifik, maksudnya adalah perempuan yang berkeliaran sendiri di jalanan saat malam hari dan berpakaian yang mengundang hasrat laki-laki. 

Meski tak sedikit tindak kejahatan terjadi pada malam hari, sebenarnya kejahatan terhadap perempuan di ruang publik bisa terjadi kapanpun. Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik pada akhir tahun 2018 yang dibuat oleh Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (JFGD) dan Change.org Indonesia menunjukkan bahwa waktu korban mengalami pelecehan seksual mayoritas terjadi di siang hari (35%) dan sore hari (25%). Angka tersebut sekaligus mematahkan anggapan bahwa perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual adalah perempuan yang suka keluyuran malam-malam. Namun, kuatnya stigma di masyarakat akhirnya membuat para orangtua menetapkan jam malam yang lebih ketat pada anak perempuan mereka. 

Keresahan atas kondisi serupa juga dirasakan oleh para perempuan di berbagai belahan dunia hingga akhirnya melahirkan gerakan Reclaim the Night sebagai bagian dari Gerakan Pembebasan Perempuan (Women’s Liberation Movement). Gerakan ini diselenggarakan pertama kali di Leeds, Inggris, pada 12 November 1977 dan diinisiasi oleh Leeds Revolutionary Feminist Group. Sekitar 150 perempuan turun ke jalan dan memprotes aturan kepolisian yang mengharuskan perempuan untuk berada di rumah saat malam hari sebagai respon atas kasus pembunuhan berantai “Yorkshire Ripper”. 

Sumber masalah sebenarnya adalah seorang laki-laki berbahaya yang melakukan pembunuhan keji terhadap sejumlah perempuan sehingga mengganggu keamanan dan ketenangan hidup masyarakat. Alih-alih memberantas sumber masalah, justru perempuan yang dikurung di rumah. Kira-kira begitulah yang para perempuan itu rasakan sehingga memicu kemarahan dan protes. 

Gelombang protes kemudian menyebar ke dua belas kota lainnya di Inggris dan kembali menguat setahun kemudian. Namun, aksi protes di Soho pada tahun 1978 sempat diwarnai oleh bentrokan dengan polisi yang menyebabkan 13 perempuan tertembak dan sejumlah perempuan lainnya terluka. Pada tahun 1979, lebih dari 2.000 orang memprotes tindakan polisi Soho sebagai bentuk solidaritas. 

Setelah sempat berhenti di tahun 1990-an, pada tahun 2004 gerakan Reclaim the Night dibangkitkan kembali di London melalui sebuah agenda yang dihelat oleh London Feminist Collective dan diikuti oleh 30 perempuan. Setahun kemudian, seiring dengan menguatnya dukungan atas gerakan tersebut, baik di tingkat nasional maupun global, jumlah partisipan bertambah secara signifikan hingga mencapai 1.000 orang. 

Meski terus mengalami perkembangan setiap tahun, Reclaim the Night tidak selalu diselenggarakan sebagai agenda tahunan. Misalnya, aksi protes pada 2006 di Ipswich yang dilakukan sebagai reaksi atas “Ipswich Serial Murders”, dimana seorang laki-laki telah melakukan pembunuhan terhadap 5 perempuan dalam jangka waktu 3 bulan. Yang terbaru adalah agenda penjagaan nasional yang digelar oleh Reclaim the Night Leeds dan kampanye “Reclaim the Streets” sebagai bentuk solidaritas atas peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan Sarah Everard oleh polisi elite Inggris, Wayne Couzens, pada Maret 2021. Meskipun polisi dan otoritas pengadilan menghentikan aksi tersebut, kampanye yang mereka lakukan telah menarik banyak perhatian media mengenai kurangnya keamanan di jalan pada malam hari. 

Gerakan Reclaim the Night di Berbagai Negara 

Sebagai akibat dari meluasnya pengaruh feminisme progresif dan interseksional, gerakan Reclaim the Night tidak hanya fokus pada solidaritas dan menentang kekerasan terhadap perempuan, tapi juga berlaku untuk semua gender. Reclaim the Night juga dikenal secara internasional sebagai ‘Take Back the Night yang jadi agenda tahunan di lebih dari 30 negara di seluruh dunia. 

Di Amerika, para perempuan yang berpartisipasi dalam gerakan ini membentuk Take Back the Night Foundation pada 2001, sebuah yayasan amal yang fokus membantu dan memberi dukungan pada korban kekerasan seksual. 

Di India, gerakan Reclaim the Night diramaikan oleh ratusan perempuan di lebih dari 20 kota. Mereka mengadakan pawai dan menuntut hak atas rasa aman di ruang publik setelah terjadinya peristiwa penganiayaan massal terhadap perempuan di Bengaluru saat malam Tahun Baru.

Kampanye digital dengan tagar #IWillGoOut pun mewarnai jagat media sosial seperti Twitter dan Facebook. Kelompok-kelompok pejuang hak perempuan, badan amal, asosiasi pelajar dan individu dari beberapa kota seperti Delhi, Mumbai, Chennai dan Bengaluru ikut meramaikan kampanye digital ini. 

Di Australia, tepatnya di Canberra, dukungan atas gerakan Reclaim the Night diwujudkan melalui jalan solidaritas yang dimulai di Garema Place. Kegiatan yang diselenggarakan tiap tahun ini juga diisi oleh live performance, orasi, pawai dan BBQ-an. 

Hak untuk Merasa Aman di Jalan atau Ruang Publik 

Stigma dan kurangnya keamanan di jalan atau ruang publik pada malam hari sering membuat perempuan khawatir dan takut untuk keluar rumah. Meski kejahatan atau pelecehan di jalan bisa dialami oleh siapapun, perempuan berisiko lebih tinggi mengalaminya. Diberi kelonggaran jam malam membuat saya lega karena dengan demikian saya bisa melakoni berbagai kegiatan positif yang saya senangi. Namun, di satu sisi saya juga sering merasa khawatir atas keamanan dan keselamatan saya selama di perjalanan ketika harus pulang malam. 

Sebagaimana yang terjadi di waktu lain, perempuan yang keluar rumah di malam hari tentu punya berbagai kepentingan. Ada yang pergi untuk bekerja (karyawan shift malam can relate), menghadiri kegiatan sosial tertentu, menikmati hiburan seperti nonton konser musik atau memenuhi keperluan yang penting dan mendesak. 

Membatasi aktivitas perempuan dengan memberlakukan jam malam bukanlah solusi yang tepat untuk mengurangi risiko keamanan di jalan atau ruang publik saat malam hari. Perempuan pun sudah cukup lelah disalahkan dan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan. Bahkan, ketika perempuan itu berstatus korban..Percuma bukan, membatasi aktivitas mereka di luar rumah sedangkan pelaku kejahatan yang jelas-jelas mengganggu keamanan tidak segera dibereskan? 

Ikuti tulisan menarik Luna Septalisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu