x

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 14 Juni 2023 07:39 WIB

Pemerintah Bukanlah Negara: Menjawab Ke Mana ASN Bersetia

Pangalihan bahasa Pegawai Publik menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja sangat tidak pas. ASN yang sejak semula adalah pegawai negara, tidak bisa diturunkan derajatnya menjadi pegawai pemerintah. Ini bukti kita gagal memahami definisi negara dan apa itu pemerintah. Di Indonesia pemerintah sering disamakan dengan negara. Padahal pemerintah hanyalah salah satu unsur dalam negara. Pemerintah bukanlah negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam ribuan tahun sejarah manusia, belum genap 100 tahun rasanya dunia modern menemukan apa yang dimaksud dengan "negara". Suatu pagi pada 26 Desember 1933, Amerika Serikat beserta negara-negara bagiannya menyepakati apa itu pengertian negara dalam sebuah konvensi di Montevideo, Uruguay. Diambil dari nama tempat konvensi tersebut dilangsungkan, Konvensi Montevideo melahirkan pengertian "negara" yang dipakai oleh dunia modern sampai saat ini.

Definisi Negara

Pada dasarnya sebuah entitas disebut sebagai negara jika memenuhi empat unsur: Pertama, a permanent population. Adanya penduduk. Kata permanent disini tidak serta merta menunjukkan jumlah yang tetap, akan tetapi menunjukan kondisi tempat tinggal yang menetap. Tidak diatur pula jumlah minimal penduduk untuk memenuhi unsur pertama ini. Saat ini Vatikan adalah negara terkecil di dunia yang hanya memiliki 820 penduduk dengan luas negara tidak lebih dari setengah kilometer persegi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kedua, a defined teritory. Sebuah negara harus memiliki wilayah yang pasti. Namun bukan berarti apabila ada negara yang sedang dalam sengketa wilayah, statusnya sebagai negara hilang. Contohnya: Israel di tahun 1949 diakui sebagai salah satu negara anggota PBB padahal saat itu sedang dalam sengketa internasional dengan Palestina mengenai batas wilayah. Atau sengketa wilayah antara Rusia dan Ukraina yang terjadi sekarang ini tidak serta merta membatalkan status, baik Rusia maupun Ukraina, sebagai negara.

Ketiga, governments atau pemerintahan. Perlu ditekankan disini bahwa pemerintahan adalah salah satu unsur pembentuk negara, bukan negara itu sendiri. Karena itu maka pemerintah adalah bagian dari negara. Pemerintah bersifat sementara, sedangkan negara bersifat tetap. 

Keempat, capacity to enter into relations with other state. Kemampuan menjalin hubungan dengan negara lain ini sering diterjemahkan secara serampangan menjadi "adanya pengakuan dari negara lain". Padahal menjalin hubungan itu tidak mutlak menghasilkan pengakuan. Persaingan bahkan termasuk perang perebutan wilayah juga merupakan suatu hubungan dengan negara lain.

Maka kata yang digunakan adalah relations (hubungan) bukan cooperation (kerjasama). Karena itu unsur ini hanya dianggap sebagai unsur pelengkap yang bersifat deklaratif, bukan merupakan unsur utama terbentuknya negara. Sebuah negara tetaplah sebuah negara, tidak tergantung posisinya sedang bekerjasama ataukah sedang berperang dengan negara lain.

Penduduk, Warga Negara dan Rakyat

Saya tertarik membahas poin pertama dan poin ketiga mengingat penduduk dan pemerintah adalah dua hal yang memiliki hubungan yang sangat dinamis. Adanya penduduk yang bertempat tinggal menetap adalah unsur terbentuknya negara. Ketika unsur lain terpenuhi dan negara telah sah, penduduk tersebut beralih status menjadi warga negara melalui pengesahan oleh undang-undang. Di Indonesia warga negara sering juga disebut dengan rakyat.

Pemilihan kata rakyat ini bukannya tanpa alasan. Secara etimologi kata rakyat berasal dari bahasa Arab ro'iyah yang berarti pemimpin atau kepemimpinan. Maka pemilihan kata rakyat juga menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam suatu negara adalah oleh rakyat itu sendiri. Rakyat adalah majikan. Pemerintah adalah pesuruh. Lembaga pemerintah dengan segala perilaku dari lembaga itu harus sesuai dengan kehendak rakyat.

Mengingat sistem yang berlaku di Indonesia adalah demokrasi yang berasaskan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Maka secara otomatis Indonesia mengakui bahwa kekuasaan tertinggi sebenarnya berada di tangan rakyat. Hal tersebut juga dikuatkan oleh bunyi pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 

Pemerintah bukanlah Negara

Lalu bagaimana dengan pemerintah? Di Indonesia ini pemerintah sering disamakan dengan negara. Padahal sesuai uraian diatas pemerintah hanyalah salah satu unsur dalam negara. Pemerintah bukanlah negara.

Kerancuan ini diperparah dengan adanya sistem presidensial yang menyatakan bahwa presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Selain ketentuan tersebut terlalu memperkuat dominasi presiden dan ini adalah salah satu bentuk rangkap jabatan yang terang-terangan, juga membuat fungsi pertanggungjawaban kepala pemerintahan kepada kepala negara hilang. 

Sederhananya ketika pemerintah salah langkah, maka negaralah yang berwenang melakukan koreksi. Namun jika pihak yang berwenang mengoreksi adalah pihak yang sama dengan yang melangkah, akankah pihak itu tetap melakukan koreksi? Seberapa seringkah kita dengar presiden sebagai kepala negara mengoreksi kebijakan presiden sendiri sebagai kepala pemerintahan? Praksis tidak pernah. Bisa jadi karena pemerintah tidak pernah salah, atau menyalahkan diri sendiri dan meminta maaf kepada rakyat memang membutuhkan kerendahan hati serta keberanian yang besar.

Kerancuan jabatan presiden itu selain tidak pas secara logika juga menimbulkan keanehan-keanehan dalam bernegara. Presiden yang melantik ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bertugas untuk memberantas korupsi di pemerintahan, misalnya. Menurut saya aneh jika presiden yang melantik ketua KPK, karena yang paling harus diawasi oleh KPK adalah presiden itu sendiri sebagai kepala pemerintahan. 

Presiden yang memanggil ketua Mahkamah Konstitusi ke Istana Negara pada 1 September 2016 silam juga aneh. Karena disaat yang bersamaan, selain tidak dibolehkan oleh hukum dan tidak pantas secara etika, Mahkamah Konsitusi sebagai lembaga negaralah yang berhak untuk memanggil pimpinan tertinggi dari lembaga pemerintahan, yaitu presiden itu sendiri.

Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Jika dipahami posisi presiden disini sebagai kepala negara maka sah-sah saja. Tetapi karena presiden juga sebagai kepala pemerintahan maka yang terjadi adalah seorang eksekutor yang bertugas melaksanakan undang-undang mempunyai kewenangan untuk mengajukan sendiri rancangan undang-undang yang akan dilaksanakannya. Apakah lazim seorang buruh menentukan sendiri apa yang akan dikerjakan, bagaimana kerjanya dan berapa lama jam kerjanya?

Contoh terakhir rancunya negara dan pemerintah adalah Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat apabila ingin merekrut pegawai negeri di lingkungannya harus mendapatkan izin dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Bayangkan, sebuah lembaga legislatif yang mewakili negara selaku pembuat undang-undang memerlukan izin dari lembaga eksekutif yang mewakili pemerintah selaku pelaksana undang-undang untuk melakukan rekrutmen pegawai negeri sipil yang mana pegawai negeri sipil adalah pegawai negara bukan pegawai pemerintah.

PNS dan ASN

Banyak pegawai negeri yang salah sangka mengira bahwa dirinya adalah pegawai pemerintah. Maka hidupnya habis untuk pro terhadap segala kebijakan pemerintah dan takut kepada menteri. Padahal pegawai negeri itu jabatan karier yang mau tidak mau mengabdi kepada negara sepanjang negara tersebut ada.

Tapi karena nyawa manusia umumnya lebih pendek dari umur sebuah negara, pegawai negeri diminta untuk mengabdi sampai pensiun. Bahkan setelah pensiun sejatinya pegawai negeri tetaplah mengabdi sebagai negarawan yang baik. Memang apa alasan para pensiunan itu tetap dibayar oleh negara selain karena mereka dikontrak untuk mengabdi seumur hidup sampai mereka meninggal. Sedangkan presiden sebagai kepala pemerintahan dan menteri-menterinya hanyalah jabatan politik, yang jika beruntung bisa mengabdi dua periode selama 10 tahun. Itupun jika terpilih kembali dan tidak ada reshuffle kabinet.

Pegawai Negeri Sipil sekarang Aparatur Sipil Negara (ASN) diatur berdasarkan UU No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang ini mengadopsi konsep pelayan publik dari negara Jerman yang membedakan antara Pegawai Negeri dan Pegawai Publik. Di Indonesia, setelah undang-undang itu disahkan, muncul istilah ASN yang terdiri dari sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Namun apa yang membedakan antara Indonesia dan Jerman?

Di Indonesia, ASN wajib setia dan taat kepada negara dan pemerintah, sedangkan di Jerman, Pegawai Negeri dan Pegawai Publik wajib setia dan taat kepada negara saja. Saya tidak tahu mengapa di Indonesia ini perlu diimbuhi kata "pemerintah". Imbuhan taat dan setia kepada pemerintah ini secara konsekuensi-logis harusnya membuat ASN mengundurkan diri setelah masa jabatan pemerintah selesai. Jika dalihnya ASN harus taat dan setia kepada pemerintah selanjutnya, maka jika ada kondisi kekosongan kekuasaan (vacum of power) ASN harus mengundurkan diri juga. Nyatanya tidak demikian.

Yang pro pemerintah tentu akan menyanggah dengan mengatakan "Ah, mana mungkin di zaman modern seperti sekarang terjadi kekosongan kekuasaan. Sepertinya alasan itu terlalu mengada-ada."

Di suatu zaman modern lebih tepatnya pada tahun 2011, Belgia mengalami kekosongan kekuasaan (vacum of power) selama 541 hari tanpa adanya pemerintahan yang sah. Jika ada yang bertanya apa yang terjadi saat itu? Seberapa besarkah kerusuhan dan penjarahan yang terjadi disana? Bagaimana dengan penyusunan anggaran tahunannya? Bagaimana kondisi rakyatnya? Apakah jadi miskin dan kelaparan?

Jawabannya adalah tidak terjadi apa-apa. Benar-benar tidak ada. Kehidupan berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada kerusuhan, kemiskinan dan kelaparan. Tentu ada beberapa kendala teknis-administratif yang mengganggu jalannya kehidupan disana tetapi secara garis besar hidup berjalan seperti biasanya.

Apa alasannya? Karena setiap pegawai negerinya bersetia dan taat kepada negara dan undang-undang. Bukan kepada pemerintah. Walaupun tanpa pemerintahan yang sah mereka tetap bekerja seperti biasa. Karena mereka digaji oleh negara, —negara Belgia tetap ada saat itu— bukan oleh pemerintah. Karena tidak seperti di Indonesia, pegawai negeri disana hanya murni sebagai eksekutor undang-undang. Sepanjang undang-undang berlaku, mereka melakukan tugas dan fungsinya. Di Indonesia ASN selevel Dirjen saja dapat membuat peraturan perundang-undangan. Padahal ASN apapun jabatannya berada dibawah ranah eksekutif, bukan legislatif. Hal seperti ini tidak ditemukan di Belgia, juga Jerman.

ASN sebagai pegawai negara hanya wajib taat kepada negara saja. Bahkan, kalau perlu melawan pemerintah apabila pemerintah terbukti secara terang-terangan bertentangan dengan undang-undang. Masalahnya adalah di Indonesia ini, UU ASN menyebutkan ASN harus setia dan taat kepada pemerintah. Maka kontradiksi yang luar biasa terjadi di sini. Akibatnya muncul sebuah pertanyaan yang tidak pernah bisa terjawab yaitu jika pemerintah terbukti bertentangan dengan undang-undang negara, ASN harus taat dan setia terhadap siapa?

Pangalihan bahasa Pegawai Publik menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja juga sangat tidak pas. ASN yang sejak semula adalah pegawai negara tidak bisa diturunkan derajatnya menjadi pegawai pemerintah. Ini adalah suatu bukti bahwa selama ini kita gagal paham definisi dasar apa itu negara dan apa itu pemerintah.

Kita seharusnya belajar bahwa negara-negara yang memisahkan antara raja/presiden sebagai kepala negara dan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan seperti: Jepang, Inggris, Belanda, Malaysia dan Singapura lebih stabil dalam hal politik dan ekonomi. 

Atau kita menengok ke masa lampau, kerajaan Majapahit misalnya, telah menerapkan pemisahan antara negara dan pemerintah. Konsekuensi pemisahan itu bermuara ke berpisahnya kepala negara dan kepala pemerintahan. Prabu Hayam Wuruk sebagai kepala negara dan Mahapatih Gajah Mada sebagai kepala pemerintahan. Segala tindakan yang dilakukan oleh Gajah Mada tentu sesuai dengan titah dari Hayam Wuruk. Dan hasil dari tindakan tersebut dipertanggungjawabkan kepada Hayam Wuruk, bukan kepada dirinya sendiri.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler