x

foto Puan dan AHY saat bertemu pada 18/6/2023 (Dok.\x40agusyudhoyono).

Iklan

Harrist Riansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 April 2023

Senin, 19 Juni 2023 16:37 WIB

Saling Ancam Perihal Cawapres


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada hari Ahad 18 Juni 2023 media memberitakan mengenai pertamuan Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Ketua Umm Partai Demokrat, Agus Harimukti Yudhoyono (AHY). Pertamuan ini  membuat makin ramai gerak-gerik para elit politik memasuki bulan-bulan terakhir menjelang pendaftaran bakal calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Berbagai manuver partai politik semakin gencar dilakukan. Tak ayal sesama elit politik mulai melontarkan sindiran atau manuver kepada lawan politik. Bahkan terkesan adanya aksi sikut-menyikut satu sama lain.

Jika menengok pemberitaan di sosial media dan media nasional tampak untuk Calon Presiden (Capres) sudah mengerucut pada tiga nama, yaitu Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto. Ketiga calon tersebut terlihat sangat mendominasi pemberitaan ataupun elektabilitas tinggi dari berbagai lembaga survei.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apalagi ketiga calon ini juga sudah dideklarasikan dan memenuhi Presidential Threshold (PT) 20% kursi DPR yang sudah ditentukan. Meski ada isu kemungkinan adanya poros keempat jika Partai Golkar tetap kukuh ingin mengusung Ketum mereke Airlangga Hartanto dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dengan menyisahkan Golkar dan PAN yang masih memenuhi PT 20% belum mengumumkan akan mendukung salahsatu dari ketiga capres yang dominan ini.

Melihat kandidat capres yang sudah dipastikan tidak akan jauh-jauh dari tiga sampai empat nama membuat persaingan memasuki babak baru yaitu cawapres. Saling sikut perihal cawapres bisa dibilang dimulai pada pernyataan Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR, Puan Maharani, yang mengatakan jika sosok AHY masuk dalam bursa cawapres untuk mendampingi Ganjar Pranowo. Hal ini mengejutkan banyak pihak karena AHY sangat gencar akan menjadi cawapres pendamping Anies sejak jauh-jauh hari apalagi hubungan Ketum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Ketua Majelis Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah dikenal sangat tidak akur. belum sampai disitu anggota Tim 8 Koalisi Anies Baswedan, Dadang Yuliantara, juga mengatakan nama Puan sempat masuk dalam daftar bakal cawapres Anies Baswedan yang akhirnya sampai pada ketua tokoh itu bertemu di Hutan Kota Plataran, Jakarta.

Bola liar tidak sampai disitu, Partai Demokrat juga memberikan tenggat waktu sampai akhir Juni untuk Anies mengumumkan cawapres jika tidak Demokrat akan mengevaluasi ulang dukungannya dengan Anies. Ketidakjelasan cawapres bukannya dialami oleh Anies Baswedan seorang, Ganjar dan Prabowo juga tidak luput dari ketidakjelasan nama cawapres yang akan diusung.

Di koalisi Prabowo Subianto yang pada awalnya menguat hanya satu nama yaitu Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) justru memunculkan nama lain seperti Khofifah (Gubernur Jawa Timur), Erick Thohir (Menteri BUMN), dan Airlangga (Ketum Golkar). Ketidakpastian itu juga membuat Cak Imin diisukan mencoba berpindah koalisi untuk bisa menjadi cawapres Anies Baswedan seiring Anies yang tidak kunjung mengumumkan nama pendampingnya.

Kemudian pada sisi Ganjar Pranowo yang baru dideklarasikan pada akhir April kemarin masih menguat banyak nama dari kalangan ulama maupun ketum dan menteri meski nama yang paling mencuat ialah Sandiaga Uno yang baru-baru ini resmi menjadi kader PPP yang sudah mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar Pranowo, selain itu ada nama imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, ketum Demokrat AHY, dan terbaru ada TGB (Ketua Harian DPP Perindo).

Cawapres sebagai alat tawar

Melihat dinamika pencapresan yang sudah memasuki penentuan cawapres bisa terlihat bahwa sosok cawapres dijadikan alat tawar oleh banyak partai politik terutama partai politik menengah yang sulit untuk menempatkan tokoh mereka di posisi capres dan memilih posisi cawapres untuk meningkatkan suara mereka di Pileg nanti mengingat banyak partai politik yang percaya akan efek ekor jas (coattail effect) pada pengusungan paslon capres-cawapres. Juga dengan adanya PT 20% dan hanya ada satu partai politik yang mampu memenuhi ambang batas itu sendirian (PDIP) membuat banyak partai mau tidak mau harus bernegosiasi agar bisa memajukan paslon yang membuat mereka menguasai eksekutif dan mampu mendongkrak jumlah kursi mereka di Legislatif.

Selain alat tawar posisi Cawapres yang kita lihat sekarang ini lebih menjadi sebagai alat mengancam suatu koalisi. Itu paling bisa terlihat pada koalisi Perubahan yang dimana isu cawapres ini sudah menjadi perdebatan yang sangat lama dan bahkan memunculkan isu salahsatu partai pengusung bisa hengkang dari koalisi ini. itu berbahaya bagi pencalonan Anies karena tanpa salah satu dari Nasdem, Demokrat, dan PKS sudah bisa dipastikan Anies tidak bisa ikut bersaing dalam Pilpres tahun depan karena tidak memenuhi PT 20%. Sebenarnya ini tidak hanya terjadi pada koalisi Perubahan saja, pada Koalisi Kerakyatan Indonesia Raya (KKIR) juga mengalami masalah serupa, tetapi tidak seperti Koalisi Perubahan, KKIR tidak terlalu mempermasalahkan jika Gerindra-PKB bisa pergi dari koalisi karena cukup menambah satu partai DPR sudah bisa menutupi kekurangan koalisi ini.

Kinerja dilupakan

Jika banyak orang dan elit politik mempertimbangkan sosok Capres yang akan mereka usung selain efek popularitas dan elektabilitas juga ada rekam jejak atau kinerja selama menduduki posisi di Pemerintahan. Namun ketika sampai dalam penentuan Cawapres isu terkait kinerja seperti dikesampingkan bahkan tidak dipedulikan oleh banyak pihak.

Justru yang menguat Cawapres lebih dikaitkan kepada pelengkap Capres yang bukan dalam artian melengkapi kualitas kinerja, ide, maupun gagasan tapi untuk menguatkan suara didaerah dianggap lemah bagi Capres andalan mereka. Ini sangat memperlihatkan bahwa para elit politik lebih memfokuskan formula pasangan capres-cawapres pada rumus kemenanga dibandingkan mencari formula paslon yang tepat untuk mengelola negara.

Dari penjelasan diatas nampak bahwa banyaknya motif dan manuver para elit politik untuk membangun koalisi untuk Pilpres 2024 kita sebagai masyarakat Indonesia sekaligus pemilik hak plih perlu adanya pertimbangan yang rasional dan yang terbaik untuk menentukan suara kita nantinya, tidak ikut-ikutan para elit politik yang lebih banyak mengedepankan kepentingan mereka masing-masing daripada kepentingan masyarakat secara luas. Karena mau bagaimana pun alasan manuver para elit ini pasti didasarkan pertimbagan termasuk kemungkinan potensi bertambah-berkurangnya pemilih mereka jika melakukan sesuatu yang disorot oleh banyak orang.

Ikuti tulisan menarik Harrist Riansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler