x

ilustr: cermati.com

Iklan

Fadzul Haka

Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: fadzul.haka@gmail.com
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Senin, 26 Juni 2023 09:22 WIB

Petualangan Menuju Individuasi: Mengapa Kita Menyukai One Piece?

Anda penggemar anime One Piece? Atau mungkin bukan tetapi sedang mencari bahan renungan? Dalam One Piece kita seperti diberi rute menuju realisasi diri. Selalu ada kebijaksanaan dalam anime zaman now hingga legenda abad pertengahan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir pekan merupakan salah satu momen yang paling dinanti-nanti ketika ketika saya masih kecil. Tentu saja karena banyaknya siaran kartun di TV. Di antara berbagai kartun tersebut One Piece adalah yang paling ditunggu-tunggu. Begitu opening song diputar, gairah berpetualang muncul seakan-akan saya ikut berlayar di kapal Going Merry.

Apakah ketertarikan kita terhadap anime satu ini karena rasa berpetualang tersebut? Mungkin saja, mengingat Eichiro Oda merancang cerita dan tema berbeda dari setiap pulau yang dikunjungi kru Topi Jerami. Belum lagi Grand Line dan dunia One Piece sendiri terasa dinamis, tertuma ketika muncul berita baru yang menggemparkan angkatan laut, bajak laut, hingga rakyat biasa. Selalu ada potensi untuk kemunculan petualangan baru.

Dalam tulisan ini, saya tidak hendak membedah setiap petualangan kru Topi Jerami, sekadar mencari tahu mengapa petualangan mereka terasa menggugah dan menyentuh. Sebagai cerita serial yang sudah tayang untuk waktu lama, One Piece mengumpulkan generasi berbeda, mulai dari generasi X, milenial (termasuk penulis sendiri), hingga kini generasi Z. Dan mungkin saja, generasi selanjutnya pun akan ikut berlayar ke dunia yang diceritakan Oda ini. 

Bicara soal generasi, andai kita memiliki sebuah mesin waktu, lalu membawa orang zaman dulu -katakanlah dari abad pertengahan di Eropa - dan mengajaknya nonton One Piece, kira-kira apa yang akan dikatakannya? Menurut saya, barangkali ini yang akan dikatakannya, “Oh, jadi ini adaptasi dari cerita legenda Raja Arthur dan Pencarian Cawan Suci (Holy Grail).”

Saat artikel ini ditulis, One Piece belumlah tamat, tetapi akan saya katakan bahwa, “One Piece merupakan alegori dari cawan suci itu sendiri.” Bagi saya di sinilah letak kejeniusan Oda sebagai pengarang, merelevankan pola arketipal yang biasa ditemukan dalam mitologi dan mengalihwahanakannya ke dalam bentuk yang lebih baru dan imajinatif.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika Luffy memulai petualangannya dari Romance Dawn untuk mengikuti jejak seorang perompak idolanya, Shank, maka dalam kisah Pencarian Cawan Suci, Parsifal si Ksatria Lugu memulai perjalanannya setelah bertemu sekelompok ksatria dan terpaksa meninggalkan ibunya. Menempuh takdir yang membawa ayah dan kakaknya pada kematian.

Perlu diakui pula bahwa paralelisme antara Luffy dan Parsifal tidak sepenuhnya ‘copy-paste’. Mereka sangat mirip dari segi watak yang sama-sama lugu dan terkesan ‘bodoh’, sama-sama memiliki sosok wali, berbakat dalam mengubah lawan jadi kawan, dan memiliki prinsip chastity yang meneguhkan mereka hingga mencapai tujuan (lebih jelasnya akan dijelakan nanti). Namun, dalam hal lain mereka juga tidak terlalu mirip, misalnya Luffy memiliki ayah tanpa ibu tetapi Parsifal malah sebaliknya, Parsifal bertemu Fisher King - Sang Penjaga Cawan Suci - tetapi tidak ada sosok serupa dalam kisah One Piece. 

Kehadiran sosok Fisher King tersebut merupakan bagian sentral dalam cerita Parsifal. Sebab Parsifal harus menyanyakan sebuah pertanyaan penting yang bisa menyembuhkan Fisher King dari luka abadinya, serta mengembalikan kemakmuran di seluruh negeri. Dengan kata lain, perjalanan Parsifal hingga ke istana cawan Fisher King merupakan cerita tentang proses individuasinya.

Individuasi merupakan konsep utama dalam psikoanalitik Jungian, yaitu proses realisasi diri yang dicapai dalam waktu lama dengan mengutuhkan komponen-komponen psikis sehingga tidak terdapat keterpisahan antara diri dengan dunia (Jung, 2016, hal. 556-7). Bagaimana seseorang menjadi pribadi yang dikehendaki oleh Dirinya atau Tuhannya.  Tentu saja, perjalanan Luffy dari pulau ke pulau untuk mencari One Piece bisa dilihat sebagai proses individuasi. 

Kembali ke pertanyaan di atas tadi, dengan demikian apa yang menghipnotis kita barangkali adalah panggilan dari jiwa itu sendiri yang kian samar gemanya di zaman modern ini. Generasi kita barangkali merupakan generasi yang tidak mengalami suatu fase inisiasi yang mengubah pandangan hidup secara radikal dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Yang mana, merupakan langkah awal menuju individuasi.

Kita bukan bocah Afrika yang harus pergi sendirian ke savana untuk membunuh seekor singa sebelum bergabung dengan para pemburu. Membunuh anak kecil dalam diri agar memunculkan sosok pria dewasa. Kita juga buka pemuda Yunani Kuno yang pergi ke kuil bersama orang bijak untuk menyelami misteri eksistensi lewat kemabukan Dionysian. Sekurang-kurangnya, kita hanya pecandu rokok dan obat-obatan di hadapan kenyataan yang menuntut kesadaran yang sebangun-bangunnya dan dengan segala kejenuhannya.

Kita menjadi Parsifal dalam hal-hal konyol dan pencarian tanpa arah. Anehnya, ketika kita menyaksikan petualangan Luffy, kita merasakan kembali dorongan energi Parsifal dari keluguan, kecerdasan emosional si Manusia Karet, dan kebebasannya yang penuh pemberontakan. Akan tetapi, ketika tayangan berakhir, di sinilah kita: terdampar, kebingungan, tanpa tujuan, dan tak bisa mencapai apapun. Apa yang keliru? Barangkali, kita menikmati dan merayakan kemenangan Luffy melawan setiap tokoh antagonis yang dihadapinya, tetapi kita melewatkan kemenangan semacam itu dalam kehidupan sehari-hari.

Jika kita tanyakan pada Parsifal, seperti apa rasanya kemenangan Luffy tersebut? Maka jawabnya, seperti kemenangan setelah melawan Ksatria Merah. Ksatria Merah merupakan satu-satunya lawan yang dibunuh oleh Parsifal, kemudian dia mengambil kuda dan baju zirahnya. Jika diinterpretasikan secara psikologis, Ksatria Merah merupakan representasi dari kekuatan insting, daya naluriah yang paling primitif, buta, tetapi mengandung kekuatan yang sangat besar.

Kalahnya Ksatria Merah oleh Parsifal menunjukkan kemenangan ego atas insting, sehingga ego memiliki kekuatan lebih dari insting untuk mewujudkan apa yang dikehendakinya. Terutama, memberi laki-laki muda kapasitas untuk bertindak agresif sekaligus mengendalikan dorongannya (Johnson, 1977). Luffy ingin jadi Raja Bajak Laut, tetapi dia tidak akan mencapainya dengan menjadi seorang bajak laut yang serakah, memiliki teritori seperti halnya Kaisar Laut, atau sekadar bisa bertahan hidup di lautan Grand Line yang terkenal ganas.

Tentu saja, dalam penerapan sehari-hari, kita tidak perlu menjadi jagoan yang memenangkan perkelahian dengan preman sekitar, atau melakukan tindakan heroik lainnya. Ironisnya, kita bisa saja melakukan semua itu, tetapi justru dikalahkan oleh insting. Apa yang kita lakukan adalah atas nama dorongan kehendak buta, tanpa kontrol penuh dari ego. Sehingga, langkah yang lebih baik adalah mengorbankan pemuasan insting secara instan atas dasar prinsip dan cita-cita luhur. Walaupun pada saat itu kita belum tentu mengenal dan memahaminya secara utuh. Di sini terdapat dua jalan untuk memahaminya, secara eksternal melalui kompetisi di dunia nyata, atau secara internal melalui perjuangan batin menghadapi ketakutan dan kecemasan dan menemukan jati diri.

Dari pergulatan tersebut, kita bisa menemukan jiwa ksatria yang memegang prinsip chastity. Kepada Parsifal, Gornemant sang wali menjelaskan jalan seorang ksatria sebagai, “Jangan sekali-kali merayu atau dirayu.” Maksudnya ialah bukan sekadar godaan dari lawan jenis, melainkan godaan untuk melakukan suatu penilaian dalam pengaruh mood yang berubah-ubah dan perasaan yang tidak direfleksikan terlebih dahulu.

Di bawah pengaruh mood dan perasaan, seorang laki-laki akan cenderung sedang terpengaruh oleh dorongan feminin dalam dirinya. Jika tidak dicermati melalui evaluasi diri, maka terjadi kebingungan dan kesalahpahaman dalam berelasi dengan perempuan, dikarenakan si laki-laki memproyeksikan sosok perempuan dalam diri kepada perempuan nyata. Menjadi kenakan-kanakan, menuntut perlindungan dari ibunya, atau menuntut pasangannya untuk menjadi seperti ibunya atau perempuan yang diidealkan. Sehingga proses individuasi dan cerita pencarian cawan suci itu sendiri, merupakan bagian dari mengintegrasikan aspek feminin tersebut agar mencapai keutuhan diri, melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih luas, dan berelasi secara sehat. 

Sehingga pada tahap selanjutnya, kita bisa melihat tujuan dari petualangan ini dalam arti yang paling mendalam. Bahwa pencarian cawan suci, pada akhirnya merupakan wujud pengabdian kepada sesuatu yang dianggap lebih tinggi dari pribadi kita. Jung menyebutnya arketipe Diri, orang religius akan menyebutnya dengan Tuhan, dan jika kita mengambil posisi pada paradigma sains yang lebih holistik: kesadaran kosmis.

Bagi Luffy menemukan One Piece berarti menjadi Raja Bajak Laut, seseorang yang paling bebas di seluruh lautan. Luffy menjadi perwujudan dari gagasan tentang kebebasan hakiki dan emansipasi di dunia yang dikuasai oleh rezim tiran selama berabad-abad. Kita pun bisa menemukan perwujudan tersebut melalui proses individualisasi dengan melihat ke dalam diri, bercengkrama dengan mite yang mengakar dari masyarakat, dan menyadari arti pentingnya sebagaimana yang terefleksikan sebagai imajinasi dan mimpi. 
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya akan meninggalkan Anda dengan pertanyaan penting yang harus disampaikan oleh Parsifal di hadapan Fisher King, Sebagaimana yang diajarkan Gornemant, “Kepada siapa cawan itu mengabdi?”


Referensi
Johnson, Robert A. (1977). He: Understanding Masculine Psychology. Toronto: Perennial Library.
Jung, Carl Gustav. (2016). Memories, Dreams, Reflections. Yogyakarta: Octopus Publishing House.
Percival. (2021, May 13). Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Perceval

Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu