x

Mencegah pelecehan seksual yang terjadi masyarakat, kampus dan sekolah

Iklan

Maria Ulfah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 Juni 2023

Selasa, 27 Juni 2023 13:28 WIB

Kekerasan Seksual Atas Nama Tadzim kepada Guru

Kekerasan seksual yang dialami oleh santri berdampak pada sisi psikologis dan teologis mereka. Santriwati bisa mengalami konflik keyakinan, agama, bahkan dengan Tuhan yang dipercayainya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhir-akhir ini banyak berita mengenai kekerasan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual yang dimaksud, diantaranya, pemerkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi dan kekerasan seksual berat lainnya. Ini bisa dikategorikan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan terpenuhinya unsur tersebut. Contohnya seperti yang dilakukan oleh pemuka agama terhadap anak didiknya atau santri.

Kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan merupakan kasus yang perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang sangat serius dari berbagai pihak. Karena kasus kekerasan seksual masih menjadi fenomena gunung es yang hanya tampak puncaknya saja. Masih banyak kasus kekerasan seksual yang tak terungkap, tidak diadukan, tidak dilaporkan, atau bahkan seringkali ditutup-tutupi dengan berbagai macam alasan. Misalnya saja kasihan kepada santri, menjaga martabat keluarga, melindungi nama baik pesantren, dan lain sebagainya. (Pebriaisyah et al., 2022)

Menurut ilmu psikologi, segala perilaku baik secara verbal ataupun non verbal yang dilakukan oleh seseorang baik itu secara fisik atau mental untuk menyakiti seseorang maka perilaku tersebut bisa digolongkan ke dalam perilaku agresi. Mengutip dari Dara dan Syafiq, menurut Bandura agresi merupakan perilaku yang menyebabkan orang lain terluka atau dapat merusak kepemilikan orang lain. Agresi merupakan perilaku atau tindakan yang bertujuan untuk melukai orang lain baik secara fisik ataupun psikis(Syafiq, 2021). Bentuk-bentuk agresi dalam kekerasan seksual yang penulis maksud yaitu berupa pemerkosaan, perbuatan cabul, dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ta’dzim adalah salah satu akhlak yang diajarkan oleh Imam Al Ghozali. Kata ta’dzim dalam bahasa Inggris memiliki arti respect, yang maknanya adalah bentuk penghormatan kepada seseorang yang dianggap lebih tua atau lebih mulia. Perilaku ini biasa disebut dengan sopan santun atau mengagungkan orang yang lebih dewasa dan biasanya lebih dimuliakan(Nuroniah, n.d.). Dalam konteks ini, seorang kiai adalah pemegang otoritas tunggal sehingga dirinya memiliki kebebasan dan kekuasaan.

Dominanya sosok kiai dalam tradisi sosial budaya pesantren merupakan representasi nyata atas menguatnya patriarki pesantren(Hannan, n.d.). Menurut Prasela & Pavitasari dalam Pebriaisyah menjelaskan bahwa patriarki adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi kaum perempuan (Pebriaisyah et al., 2022). Kondisi tersebut menjadikan kaum perempuan berada pada posisi yang rentan, karena dalam beberapa kasus mengenai pelecehan atau kekerasan seksual, perempuan sering kali sebagai pihak yang paling sering dilecehkan, mulai dari mengalami catcalling atau siulan dan digoda di jalan, dipegang bagian tubuhnya, hingga mengalami pemerkosaan.

Dalam hal ini terdapat faktor-faktor terjadinya tindakan pelecehan seksual diantaranya faktor internal dan faktor eksternal.(Aprilia & Mu’ti, 2022).

Faktor internal

  1. Faktor Kejiwaan atau keadaan diri yang tidak normal dari seseorang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan
  2. Faktor Biologis. Pada realitanya kehidupan manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan biologis itu terdiri atas tiga jenis, yakni kebutuhan makanan, kebutuhan seksual dan kebutuhan proteksi.
  3. Faktor Moral. Moral merupakan faktor penting untuk menentukan timbulnya kejahatan. Moral sering disebut sebagai filter terhadap munculnya perilaku menyimpang. Pemerkosaan, disebabkan moral pelakunya yang sangat rendah.
  4. Balas Dendam Dan Trauma Masa Lalu

Faktor eksternal

  1. Faktor Budaya. Dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara orang dewasa dan anak-anak terbentuk dalam pola hubungan yang menguasai, atau yang disebut relasi kuasa.
  2. Faktor Ekonomi (Kondisi Anak Terlantar). Faktor ekonomi yang berujung pada masalah kemiskinan merupakan salah satu sebab anak yang terlalantar menjadi korban kekerasan seksual dijalanan.
  3. Minimnya kesadaran kolektif terhadap perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Seperti adanya perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, kasus pedofolia, pemerkosaan, dan sodomi.
  4. Paparan pornografi anak dan pornografi dewasa yang mengorbankan anak.
  5. Lemahnya penegakan hukum dan ancaman hukuman yang relatif ringan.

Sedangkan faktor yang melatarbelakangi terjadinya pelecehan seksual dalam pesantren sendiri dapat terjadi karena (1) adanya relasi kekuasaan antara guru dan santri. Bahkan tidak jarang pelaku menunjukkan sikap yang baik terhadap orang tua si anak dengan harapan agar orang tua anak merasa bahwa keberadaannya bersama pelaku baik. (2) menjadikan santri sebagai ‘anak ndalem’ yang nantinya menjadi kepercayaan kyai-nya seperti dengan modus menyuruh untuk membersihkan kamar kyai-nya, dan orang tua pun menganggapnya bahwa santri ndalem (abdi ndalem) itu merupakan santri yang dipercaya oleh kyai-nya sehingga para orang tua tidak khawatir akan hal itu. (3) yaitu memperoleh kepercayaan dari orang tua dan anak sehingga dalam hal ini barulah kemudian terjadinya perilaku yang mengarah pada pelecehan seksual.(Nabila et al., 2023)

Kekerasan seksual yang dialami oleh santri berdampak pada sisi psikologis dan teologis mereka. Dalam hal ini, santriwati mengalami konflik dengan keyakinan, agama, bahkan dengan Tuhan yang dipercayainya. Hal itu mereka lakukan atas kekecewaan yang mereka alami karena para pemimpin agama yang seringkali dipandang sebagai sosok yang suci dan sebagai teladan dalam beragama justru menjadi predator kekerasan seksual di lembaga keagamaan yang dilanggengkan melalui narasi keagamaan serta menyalahgunakan otoritas yang dimilikinya.

Selain itu dampak yang dialami oleh korban kekerasan seksual dalam kehidupan sosialnya semakin kisruh, mulai dari adanya perundungan, pengucilan, hingga viktimisasi berganda dari teman sebaya atau orang lain ketika mengetahui bahwa korban pernah mengalami pelecehan atau pemerkosaan. Persoalan yang mendasarinya ada pada pola pikir pihak-pihak terkait yang tidak berperspektif gender yang kemudian justru cenderung menyudutkan dan menyalahkan korban karena dianggap berpartisipasi atas kekerasan yang terjadi padanya.

Referensi

Aprilia, D. C., & Mu’ti, A. (2022). Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren. 05(01).

Hannan, A. (n.d.). GENDER DAN FENOMENA PATRIARKI DALAM SOSIAL PENDIDIKAN PESANTREN (Studi Tentang Hegemeoni Kiai Pesantren Terhadap Sosial Pendidikan Bias Gender).

Nabila, N. A., Baroroh, U., & Mashis, B. M. (2023). Fakta Kekerasan Seksual Di Pesantren Kabupaten Pati. Al-I’timad: Jurnal Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Islam, 1(1), 90–109. https://doi.org/10.35878/alitimad.v1i1.724

Nuroniah, Z. (n.d.). PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO.

Pebriaisyah, B. F., Wilodati, W., & Komariah, S. (2022). KEKERASAN SEKSUAL DI LEMBAGA PENDIDIKAN KEAGAMAAN: RELASI KUASA KYAI TERHADAP SANTRI PEREMPUAN DI PESANTREN. Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, 18(2), 33–42. https://doi.org/10.15408/harkat.v18i2.26183

Syafiq, M. (2021). Dara Jois Lucky Lintang Laksana. 8(1).

 

Ikuti tulisan menarik Maria Ulfah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

6 jam lalu

Terpopuler