Rasa Sakit

Senin, 10 Juli 2023 12:19 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat melahirkan semua pasti merasakan sakit yang luarbiasa, tapi demi si buah hati setiap ibu bisa menjalaninya, termasuk Bea. Rasa sakit menjelang persalinan ini membuat Bea teringat masa-masa bersama Vinsen suaminya, saat mereka bertemu hingga hari ini. Bagaimana proses persalinannya? Rasa Sakit #1

"Menikah adalah kenikmatan yang sesungguhnya,"
Itu kutipan yang ku dapat saat menscroll TikTok sore itu. Tapi aku tidak sepenuhnya setuju. Ingatan ku kembali padanya, dia dengan perhatiannya, dia dengan belaiannya dan dia dengan kata manisnya semua itu terasa sangat nyaman untukku. Aku bisa bilang demikian, karena aku sudah merasakan kenyamanan hidup bersamanya, walaupun kami belum menikah.

Jika pernikahan yang dimaksud adalah sumpah suci didepan pemuka agama. Tapi menurut adat yang berkembang disekitar berbeda.

Itulah yang terjadi denganku yang saat ini sedang mangandung  9 bulan.

Perempuan kurus yang tidak terlalu tinggi dengan rambut lurus panjang menjuntai hingga menutupi punggung itu tergulai kesakitan setelah bukaan ke-8 setelah 2 jam di kamar bidan. Sering kali kuremas apapun yang ada didekatku, kain kasur, tangan mama atau bajuku sendiri menahan rasa sakit yang luarbiasa. Kulitnya gelap dengan bulir-bulir keringat yang membasahi wajah manisnya. Bukti perjuangan, sebentar lagi aku akan menjadi ibu, untuk anak perempuanku.

Bea, nama perempuan itu. Tubuh dan perut buncirnya kini sudah dibalut dengan sarung motif Ende sejak pagi, untuk berjaga-jaga agar proses melahirkan lebih mudah. Dibagian atas Bea masih menggunakan baju tidur dengan kancing depan, sebagai baju pilihan agar memudahkan jika memang hari itu tiba, hari persalinan Bea.

Entah sudah berapa kali Bea berjalan mundar-mandir diruangan bersalin ini, untuk mempercepat proses persalinan, dan sesekali akan tergeletak di tempat tidur pasien atau sekedar duduk bersandar.

“Ahhhhhh…” itu suaraku, pertanda rasa sakit kembali menyerang tubuhku, kalau kata bidan namanya kontraksi.

Tak terhitung sejak aku tiba disini, bidan berulang kali mengecek kondisiku dan terus memotivasiku agar aku tetap bertahan dengan rasa sakit. Bidan juga memintaku untuk tidur dengan posisi kakiku mengangkang dan menyibak sarungku memastikan aku akan menjalani persalinan sebentar lagi. Sebelum pergi kembali dia akan sekedar melihat selang inpusku, apakah sudah sesuai dengan kebutuhanku? sejak tadi pagi aku belum makan nasi, hanya rose (keladi) yang dibawakan Bapa kecil.

“Sebentar lagi kita akan mulai persalinan bu, banyak-banyakin jalan usahakan tidaktidur terus. Tapi jika lebih dari satu 1 jam belum ada tanda-tanda pasti, saya akan bantu dengan suntikan agar mempercepat,” aku hanya bisa pasrah dengan keadaan, aku hanya percaya pada bidan ini, bidan satu-satunya yang ada kecamatan kami.

Mama sejak tadi mendampingiku tidak banyak berkata, hanya ucapan “Sabar, berdoa pada Tuhan,” serta terus mencium salip dikalungnya, mulutnya terus bergerak berdoa pada Tuhan agar persalinanku berjalan baik. Dipojok ruangan ini, lilin sudah di nyalakan berulang kali, saat mama berdoa. Semantara Bapa sudah sejak tadi pulang, untuk mengambil perlengkapan bayiku yang tadi tak sempat dibawa karena buru-buru melihat aku yang sudah kesakitan.

Sementara dia, Vinsen suamiku sejak tadi belum kulihat wajahnya. Kata Bapa, Vinsen sedang urus dia punya sapi yang mati masuk sumur, serta datang ke rumah Nenek Tua agar petaka yang dibawa sapi tidak datang pada Bea saat melahirkan anaknya.

Sesaat kurasakan sakit yang luar biasa ini, aku mengingat banyak hal tentang aku dan Vinsen. Saat awal kami bertemu diantara ramainya peziarah di Gua Maria, hingga akhirnya dia menyatakan cinta. Tapi tak secepat itu, pertemuan itu hanya sekali kemudian aku pergi ke Kupang untuk kuliah, 2 tahun aku disana kita hanya bertukar pesan lewat Facebook, kemudian dia memilih untuk bekerja di Kupang agar bisa dekat denganku hingga akhirnya kami memutuskan untuk serius.

“Aaaaaaaaa….” Kali tangan mama yang aku remas, menahan rasa sakit yang luarbiasa ini. Ibu bidan sudah datang lagi kekamar bersalin, sekarang sudah menyiapkan suntikan dan cairan aku sudah siap dengan posisi tidur menyamping.

Pintu dibuka dengan tergesa, Vinsen langsung menatap mama dan bertanya, “Mama, Bea bagaimana?” mama sudah menganggukkan kepalanya, “Ibu bidan tadi datang ada kasih suntik Bea, biar cepat dia melahirkan. Sudah ko datang kerumah Mama Tua toh, apa dia bilang?” tatap mama sambil kembali memrapikan sarung yang sudah longgar.

“Mama Tua bilang, Bea bisa melahirkan dirumah Bidan, tapi mama harus pulang kasih masak air panas sampai Bea punya anak lahir,” kata Vinsen.

Mendengar itu mama langsung cepat-cepat keluar dari ruangan , mencari tumpangan untuk pulang dan rebus air di rumah.

Kini giliran Vinsen yang mengelus perut buncit Bea, sesekali menciumnya dan membisikan agar anaknya segera keluar. Vinsen juga merapikan rambut Bea yang berantakan tak beraturan. Vinsen mencoba mengosok-gosok punggung Mai Tuanya dengan lembut untuk mengurasi rasa sakit Bea.

“Kalau ko rasa-rasa sakit, ko bisa remas tanganku, atau jambak saja rambutku. Aku tidak masalah. Lakukanlah,” ucap Vinsen pada Bea yang kembali merasakan rasa sakit yang tak terhingga.

Vinsen berdiri, dan berpindah posisi yang depan Bea, dan membantu Bea agar terus berjalan agar persalinannya bisa lebih cepat dilaksanakan. Vinsen menuntun Bea, sambil memegangi botol infus yang kini tinggal setengah. Rasa khawatir Vinsen pada istrinya terlihat jelas dari ekspresi wajahnya, Bea sadar itu tapi kali ini persalinan ini yang paling penting.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Diah Simangunsong

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menikmati Pagi di Watu Mitong, Riung

Senin, 4 September 2023 15:19 WIB
img-content

Bimsalabim Jadi Apa, Prok, Prok, Prok!

Selasa, 11 Juli 2023 16:00 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler