Without music, life would be a mistake (Friedrich Nietzsche)
Bermilyar–milyar manusia dalam hiruk pikuk peradaban saat ini, sebutkan segelintir manusia yang tak mengenal pada musik? Ada? Agaknya cukup mustahil bila kita sebagai manusia tak pernah sekelebat pun mendengar potongan nada dan irama akan hal itu. Bergumam saja, merupakan kondimen dari banyaknya mahakarya yang bisa kita santap lewat bunyian. Sebab itu, musik tak akan bisa lepas dari pengalaman kehidupan yang dinamis.
Lalu setelahnya, musik apa yang selalu kita dengarkan? Rock? Pop? Jazz? Orchestra Symphony? Atau bahkan dangdut? Tak jadi persoalan apapun yang kita dengarkan dan yang kita sukai. Asalkan dengan hal itu, kita selalu bergembira untuk selalu menjalani hidup, itu adalah fungsi utama daripada musik dibuat, direkam, pula kita dengarkan. Sebagaimana apa kata sabda Nietzsche diatas, besar kemungkinan hidup tanpa musik adalah sebuah kesalahan. Bukan dalam artian sebuah “kesalahan”, tetapi berpotensi menuju pada jurang dimensi kehampaan.
Tak khayal bila musik akan selalu menjadi media perubahan personal manusia untuk selalu menampakkan eksistensinya sebagai manusia. Hal itu dilakukan agar kita tak jatuh pada ruang kehampaan dan ketidakberadaan. Musik adalah pikiran dan perasaan yang menyatu pada satu piringan hitam.
Tak perlu banyak daya dan upaya untuk mengerti bagaimana musik berpengaruh, cukup plug and play lalu dengarkan dengan seksama dalam setiap alunan. Semua bagian akan menyatu dan merangsang pikiran serta perasaan dalam waktu yang bersamaan. Selepas itu, rasakan dahsyatnya guncangan dalam setiap progresi yang didentumkan untuk masuk dalam relung jiwa kita sebagai manusia. Sudah? Bagaimana? Menuju pada gerbang surga atau mungkin sudah masuk didalamnya?
Sejenak, kita akan termenung untuk mengerti irama. Tiga puluh detik setelahnya, kita akan masuk pada pluralitas dimensi yang emosional dan hingga pada detik terakhir kita akan menggambarkan bagaimana musik itu berjalan sesuai dengan ekspresi yang kita interpretasikan. Bahagia, Membiru, Tersedu, Tantrum dan masih banyak lagi hal yang lainnya yang sulit kita gambarkan dalam kata. Karena sejatinya, Bahasa manusia akan selalu terbatas untuk menggambarkan perasaan manusia yang begitu semesta.
Setelah memahami akan hal itu sebagaimana telah diutarakan tentang apapun seleranya, tak ada salahnya bila kita mulai mencari ruang musik mana yang membuat kita lebih merasa nyaman dan bahagia di dalamnya. Mudahnya, kita sebut genre.
Tidak hanya itu, sila pula kita pilih seniman musik mana yang kita suka. Siapa? The Beatles? Queen? Paul Anka? Atau siapa? Terserah kita. Biarkan hati dan selera yang memilih untuk hal demikian. Selami lebih dalam untuk merasakan lirik dan tonis yang mereka buat. Niscaya untuk akan memperlezat santapan kita kala menyantap beberapa irama.
Sekali lagi, musik adalah bahagian penting dalam menerima hidup yang secara manusiawi selalu menunduk dan merasa “terbelah”. Tak ada yang haram dalam kacamata humanisme akan musik, justru bagi manusia yang memang benar mendalami musik secara filosofis, musik akan menjadi penghantar pada kebermaknaan manusia itu sendiri.
Baik, itu merupakan sedikit bualan dari penulis kala tenggelam pada lautan frekuensi karya The Smiths. Percaya tidak percaya, ternyata selama ini kita hidup dalam harmoni kepedihan dan kebahagaiaan yang tak terkira dan itu cukup banyak tergambarkan dalam setiap karya nada yang didengarkan. Tak banyak yang dituliskan, biarkan ini menjadi tulisan kontemplasi yang kiranya para pembaca dapat melihat pada balik cermin yang berbeda.
We’re just life to be lying,dying and sometimes suffering.
Ikuti tulisan menarik Kurnia Ibrahim lainnya di sini.