23 Oktober 1946, Bung Karno menulis sebuah rangkaian kalimat yang menggugat sekaligus menyentuh batin siapa saja: Orang tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.
Bagi seorang nasionalis sejati seperti Bung Karno, wujud cinta tanah air dan bukti memperjuangkan kepentingan bangsa salah satunya adalah dengan memberantas kemiskinan. Baginya, kemiskinan adalah sejenis penyakit yang perlu disembuhkan. Sementara di sisi lain, agama yang menurutnya jelas-jelas memiliki obat, tak kunjung menawarkan solusi nyata apa pun. Kalimatnya menggugat. Khususnya kepada kaum agamis yang standar kesalehannya berhenti pada ritus-ritus. Kata-katanya mencoba menyentuh batin para fanatik agama yang selama ini masa bodoh terhadap kondisi sosial masyarakat. Mereka yang sibuk dengan surganya sendiri sementara perut tetangganya dua hari tak terisi. Tulisannya seolah-olah mengkritik perilaku mereka yang kelewat batas, bagaikan seorang bapak yang sembayang tak kenal waktu sedangkan anaknya merengek-menangis kehabisan susu.
Sebagai seorang manusia yang mengabdi kepada Tuhan, Bung Karno berusaha saleh secara spiritual. Dia juga sepenuhnya paham kalau kesalehan spiritualnya itu harus sejalan dengan kesalehan sosial. Bukankah orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin? Bukankah orang yang celaka adalah orang yang lalai dalam shalatnya, dan orang yang lalai dalam shalat adalah orang yang memamerkan harta dan tidak memberikan pertolongan? Bagi Bung Karno, terpampang jelas di depan mata bahwa indikator utama kesalehan spiritual justru terletak di masalah-masalah sosial. Dan selaku Bapak Negara yang memikul tanggung jawab sosial, dia tidak akan membiarkan rakyatnya, anak-anak Negara, menangis kelaparan. Maka dari itu, sebagai wujud pengabdiannya kepada Yang Maha, dia setuju rakyat miskin harus ditanggung hidupnya oleh negara.
UUD 1945 menyatakan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Dan demi terlaksananya amanat mulia itu, Pasal 1 ayat (5) UU Sistem Jaminan Sosial Nasional berbunyi: "Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial."
Tetapi apakah bantuan iuran yang dibayar pemerintah itu sama maknanya—atau setidaknya mewakili—dengan pengertian klausul fakir miskin dipelihara negara? Dari sudut pandang birokrasi yang sehat, salah apabila pemerintah yang membayar bantuan iuran. Jika bantuan iuran dibayarkan oleh pemerintah, artinya hak fakir miskin untuk dipelihara negara tergantung pada pemerintah yang berkuasa. Bagaimana jadinya jika pemerintah yang berkuasa menyatakan tidak punya dana? Atau ditahan dulu penyalurannya untuk "dimainkan" di tahun-tahun menjelang pemilu? Itupun dengan sebuah pamrih. Seperti, bantuan berupa beras 5 kilo saat pandemi 2 tahun yang lalu. Dikemas dengan tas bertuliskan "Bantuan Presiden", seolah bukan dari uang rakyat sendiri beras itu dibeli.
Bagi fakir miskin, bantuan sosial hakikatnya merupakan hak. Yang mempunyai kewenangan mengurusinya adalah negara, bukan pemerintah. Pembayar iurannya adalah negara dan pembayarannya tidak sedikitpun bergantung kepada pemerintah yang berkuasa. Menyangkut urusan ini, besaran bantuan per tahun harus sudah dipatok besarannya dalam APBN. Tugas pemerintah adalah mengisi kas negara. Pemerintah tidak bisa berkilah jaminan sosial tidak diberikan karena kantong anggaran sedang kempes.
Karena diberikan oleh negara, penyalurannya hanya bisa dihentikan lewat Undang-Undang—melalui persetujuan parlemen. Dan karena dijamin negara, kaum fakir miskin dapat menggugat administrasi negara apabila haknya tersebut tidak dipenuhi. Pasalnya negara, melalui tangan pemerintah, harus memastikan dana tersebut selalu tersedia. Ini adalah alasan mengapa mandatory spending itu perlu. Bukan malah dihapuskan, seperti yang terjadi di bidang kesehatan baru-baru ini. Apalagi dengan argumentasi Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, yang mengatakan bahwa anggaran kesehatan per kapita di Singapura lebih rendah dari Amerika, namun usia harapan hidup rakyatnya lebih tinggi. Kita di-framing dengan logika makin rendah anggaran kesehatan, makin tinggi usia harapan hidup. Bahkan dia mengatakan tidak ada hubungannya antara besaran anggaran kesehatan dan tinggi-rendah usia harapan hidup. "Adakah korelasi antara spending dan output? Enggak ada.", begitu kata dia dalam sesi wawancara dengan Tempo (Minggu,16/7).
Jika logika "makin rendah anggaran kesehatan, makin tinggi usia harapan hidup" itu benar, mengapa tidak sekalian saja anggaran kesehatan mulai saat ini ditiadakan, dibuat nol sama sekali, agar usia harapan hidup rakyat Indonesia bisa mendekati abadi. Ayo, tidak usah tanggung-tanggung. Dan jangan pula takut. Toh, antara anggaran kesehatan dan usia harapan hidup tidak ada hubungannya, kan?
Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.