Oppenheimer dan Ledakan yang Melahirkan Dunia Baru

Rabu, 26 Juli 2023 19:56 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Nolan tidak terlalu menekankan konflik moral sebagai bumbu utama dalam film ini. Tapi ini adalah tentang psyche Amerika, seperi halnya pertarungan Batman dan Joker dalam The Dark Knight yang mempertaruhkan psyche Gotham.

War is the father of all and king of all. . . .

Some he makes slaves, and others free.

(Heraclitus)

Apa yang istimewa dari film tentang Sang Bapak Bom Atom karya Christopher Nolan tahun ini? Tentu, pengambilan gambar dengan Imax merupakan nilai plus yang mempercantik sinematografi film ini, tetapi apakah film Nolan kali ini spectacle semata atau memang ada pesan tersirat di balik keindahannya? Apalagi film yang kita bicarakan adalah film drama dengan durasi sekitar 3 jam.

Saya kira jika dibandingkan film Nolan yang lain, alur cerita Oppenheimer masih cukup linear, walau terasa seperti membaca sebuah buku dari belakang ke depan. Berbeda dengan film Nolan yang membolak-balikan persepsi, misalnya seperti Memento (2000), Inception (2010), dan Tenet (2020).

Selama menonton, saya kerap bertanya, apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh Nolan? Terutama jika kita mempertimbangkan teknis pengambilan gambar dan referensi yang dimunculkan dalam film. Seperti pengambilan gambar secara medium shot, adegan tokoh Lewis Strauss yang didominasi oleh citra hitam-putih, dan referensi dari karya sastra yang dimunculkan. Sesuatu yang sempat saya diskusikan bersama dua orang kawan selepas nonton bareng.

Asumsi saya, Nolan tidak terlalu menekankan konflik moral sebagai bumbu utama untuk dramanya. Sebab, di balik konflik moral yang sentimental tersebut, ini adalah tentang psyche Amerika, seperi halnya pertarungan Batman dan Joker dalam The Dark Knight yang mempertaruhkan psyche Gotham. Psyche yang dibicarakan di sini, dalam pengertian pendekatan psikologi naratif ilmiah, yaitu proses konstruksi makna dan pemikiran senantiasa termaktub dalam latar belakang budaya, berkembang sekaligus berasal dari pengalaman langsung terhadap perasaan individu maupun secara identitas komunal, dan narasi kolektif yang tercatat secara tertulis maupun lisan (László, 2008, hal. 183).

Sang Prometheus Modern

Adegan awal yang paling berkesan bagi saya terhadap sosok Oppenheimer yang diperankan oleh Cillian Murphy adalah ucapannya tentang kerinduan pada kampung halamannya. Ketika penyidik bertanya, apakah dia bahagia berada di Inggris, Oppenheimer justru menyangkalnya dan beberapa saat kemudian kita menyaksikan sendiri seberapa gila dirinya.

Pada adegan tersebut, Nolan mulai mengonstruksi kesan bahwa Oppenheimer seakan tidak kredibel, baik bagi karakter lain maupun penonton. Kemudian diperkuat dengan kilas balik dari sudut pandang Lewis Strauss yang tentu saja hitam-putih. Baik, Oppenheimer maupun Strauss, menyampaikan narasi yang terasa tidak utuh. Sesuatu yang disengaja sebab Nolan menggunakan teknik unreliable narrator dalam penceritaannya, yaitu penyampaian cerita yang dilakukan oleh karakter tanpa jaminan akan kepastian peristiwanya. Beberapa film terkenal yang menggunakan teknik ini di antaranya Fight Club, Eternal Sunshine of The Spotless Mind, dan American Psycho.

Sungguh menarik, mengingat film ini menceritakan kisah ilmuan yang berbicara soal realitas yang penuh ketidakpastian dan probabilitas secara teori kuantum mekanik. Apalagi jika kedua tokoh sentral dalam film ini juga bercerita dengan gaya unreliable narrator yang khas. Oppenheimer dengan gaya evasively unreliable yang menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa dia berbohong atau menceritakan informasi yang keliru demi mempertahankan dirinya. Sedangkan Strauss menggunakan strategi deliberately unreliable yang secara perlahan memanipulasi pendengarnya tanpa pertimbangan atas tanggung jawab moral.

Di samping dialog, pengambilan gambar juga memperkuat efek unreliable narrator tanpa secara sepihak menyudutkan Oppenheimer atau Strauss. Pengambilan gambar yang secara dominan dilakukan melalui medium shot, bagi saya memberi efek seakan saya ikut terlibat dalam adegan dan situasinya. Di saat yang sama, tetap mempertahan jarak sehingga penonton tidak larut oleh suasana dalam adegan. Masih ada ruang untuk melihat petunjuk lain dan memperhatikan dialognya.

Dengan cara tersebut, kita akan benar-benar menyaksikan bahwa Oppenheimer merupakan sosok Prometheus Modern. Dalam mitologi Yunani Kuno, Prometheus merupakan Titan yang bernasib tragis karena memihak bangsa manusia yang diciptakannya dengan mencuri api dari Olympus. Nama Prometheus sendiri berarti “to think before acting (Lazar, Karlan, & Salter, 2006).

Api yang dicuri Prometheus menjadi kunci untuk kelangsungan bertahan hidup dan memajukan peradaban. Dari terang dan panasnya, manusia mengenal ilmu pengetahuan, tetapi dari panas yang sama perang pun berkobar. Atas ‘kejahatannya’ tersebut, Prometheus dihukum dengan siksaan yang mengerikan, tubuhnya diikat di pegunungan Kaukasus untuk kemudian seekor elang menyambar ulu hatinya yang akan senantiasa beregenerasi karena kekuatan dewanya.

Memang tak ada elang yang menyantap Oppenheimer hidup-hidup (walau Amerika sendiri seringkali disimbolkan dengan burung elang). Alih-alih liver yang tercabik-cabik, reputasi dan kredibilitasnyalah yang dilucuti oleh Strauss dan kolega-kolega yang turut memberatkan dakwaannya. Dan tidak seperti Prometheus-nya orang Yunani Kuno, pengetahuan yang disingkapkan oleh Oppenheimer membawa kehancuran yang belum pernah dibayangkan. Kekuatan Tuhan, yang jika disalahgunakan, mengantar umat manusia pada kiamat.

 

Tanah Gersang dan Visi Dunia Baru

Saya kira jauh sebelum film ini, kita sudah familiar dengan kutipan Bhagavad Gita yang diucapkan oleh Sang Ilmuan, “I am become death, the destroyer of the world.” Dari kehancuran yang dibawakan oleh ledakan api radioaktif, era baru pun dimulai. Apakah kutipan tersebut semacam efifani tentang masa yang akan datang?

Titik dari era baru tersebut tampak sekilas dalam cuplikan ketika Oppenheimer membaca puisi The Waste Land karangan T.S Eliot. Kemunculan puisi ini menyita perhatian saya dan bila dipikir-pikir memang menyimpan pesan tersirat yang entah disadari oleh Nolan atau tidak. Ada beragam interpretasi yang bisa kita masuki ketika membicarakan The Waste Land, apakah melalui alusi pada drama-drama Shakespeare, alusi pada legenda Raja Arthur, mistisisme Eliot sendiri yang dipengaruhi oleh Evelyn Underhill (pseudonym), dan pesan apokaliptik tentang zaman modern.

Saya kira interpretasi yang terakhir akan relevan dengan pembahasan di sini. Terutama jika kita kaitkan kembali dengan ungkapan kerinduan Oppenheimer pada kampung halamannya - yang mana memang terlihat seperti tanah gersang.

Apa yang diceritakan dalam puisi The Waste Land sendiri, menyadadur dari Tia Setiadi (2015), menggambarkan dunia modern dengan puing dan fragmen mitologi dari kebudayaan lampau yang tak saling berhubungan. Manusia modern telah meninggalkan mitologi budaya, tetapi ilmu pengetahuan yang menjadi kiblatnya tidak mengisi ruang yang dahulu ditempati oleh mitos dan cerita rakyat. Diperkuat dengan alusi mitikal dalam puisi tersebut yang memang secara sengaja menyangkal keberakarannya (Malone, 2023). Apakah kita sedang di London pinggiran sungai Thames, atau abad lampau? Entahlah.

Dalam film, kita melihat bahwa ketercerabutan dari asal-usul diri seseorang digambarkan oleh konflik yang dihadapi Oppenheimer. Kita sudah melihat bagaimana kerinduannya terhadap kampung halaman di awal film, lalu pembelaannya terhadap sesama etnis Yahudi, dan dituduh sebagai komunis karena pembelaannya tersebut. Walau tidak terikat secara ajaran dan bahasa, Oppenheimer tetap berpihak pada kaumnya yang terancam dibasmi oleh rezim Nazi Jerman. Sesuatu yang tampaknya tidak berlaku bagi para pemangku kepentingan di sekelilingnya.

Bagi Jenderal Groves, peperangan ini tentang mengalahkan Nazi sebelum mereka memiliki senjata pemusnah massal. Bagi Presiden Truman, ini tentang memulangkan tentara Amerika walau itu berarti mengorbankan warga sipil Jepang di kota Hiroshima dan Nagasaki. Dan, tentu saja, bagi FBI mengungkap afiliasi Oppenheimer dengan Partai Komunis jauh lebih penting daripada misinya untuk menyelamatkan sesama orang Yahudi. Di sini, rongga yang ditinggalkan mitologi dalam jiwa manusia diisi oleh ‘Negara’ dan ideologi yang tidak segan-segan mendehumanisasi pengabdinya atau melenyapkan mereka secara diam-diam setelah tidak bisa dimanfaatkan kembali. Dengan indah The Waste Land menggambarkannya sebagai pohon mati yang tidak meneduhkan dan jangkrik yang tidak memberi ketenangan.

Gambaran apokaliptik lainnya ialah keberadaan Los Alamos sendiri. Setelah fisika dan New Mexico dikawinkan dan proyek berakhir, tempat riset rahasia tersebut tadinya akan dikembalikan kepada suku Indian, tetapi Presiden Truman tidak setuju. Jika kembali pada makna dalam baris pertama The Wasteland, April is the cruelest month, kita bisa melihat bahwa musim semi yang Eliot gambarkan di sini adalah lenyapnya daya restoratif (Malone, 2023). Tidak ada pemulihan bagi alam maupun manusia. Tak ada kepercayaan yang bisa mencegah reaksi berantai dari kehancuran. Sekali lagi, sesuatu yang sebelumnya dijaga oleh kepercayaan dan mitologi kuno.

Jadi, apakah visi dunia baru di balik silaunya ledakan prototipe bom atom di Los Alamos? Hanya efifani gelap. Bahwa ketidaksadaraan akan penderitaan sendiri, pada gilirannya membawa penderitaan terhadap pihak lain (Setiadi, 2015). Dan, pada masa pasca perang, efifani tersebut beralih menjadi rasa bersalah. Akan tetapi, apakah demikian?

Rasa Bersalah yang Tak Terefleksikan

Perjalanan peradaban Barat untuk merealisasikan perwujudan mutakhir atas perasaan intinya, yaitu rasa bersalah, harus dibayar mahal dengan krisis besar-besaran. Perang dunia pertama dan dunia kedua merupakan katalis yang tidak hanya menunjukkan percepatan kemajuan teknologi dan industri, tetapi juga memperdalam rasa bersalah, yang berkat psikoanalisis telah muncul ke permukaan. Rasa bersalah yang dahulu ditanggung oleh kekristenan, kini mesti jadi tanggung jawab pribadi yang diawasi melalui praktik refleksi diri.

Filsuf eksistensialis seperti Kierkegaard, Sartre, dan Heidegger mengajarkan bahwa kematian dan ketiadaan merupakan fakta eksistensi yang mendorong keputusan dan tindakan manusia. Manusia tidak henti-hentinya berinovasi untuk mengatasi kecemasannya terhadap kematian, baik berdamai dengannya atau berusaha melampauinya. Dengan beralih pada nilai dan kebudayaan, manusia mengendalikan teror kematian dengan membangun keyakinan tentang kebermaknaan realitas, dirinya, dan dunia, yang pada gilirannya memungkinkan pandangan tentang kekekalan baik secara simbolik atau fisik (Solomon, 2020).

Dalam film, perasaan tersebut belum muncul sepenuhnya, tetapi Oppenheimer melihat gejalanya dan perlahan merasakannya bersama ledakan bom atom yang akan terus menggema. Dengan diliputi rasa bersalah inilah, Oppenheimer menjadi martir sepenuhnya, terutama dalam adegan ketika dia bertemu dengan Presiden Truman yang mencemoohnya. Reaksi Truman tersebut, bagi saya merupakan titik kejatuhan psyche Amerika kepada rasa bersalah melalui ketidakmampuan negara untuk mengatasi bayangan kematian dan perasaan berkuasa yang tiba-tiba dianugerahkan melalui bom atom.

Sayangnya, pada masa perang, tidak ada ruang untuk menghayati rasa bersalah. Seperti adegan terkenal dari novel All Quite on The Western Front karangan Remarque (1956). Dalam adegan tersebut, seorang serdadu Jerman dalam parit membunuh musuh dalam upaya untuk mempertahankan diri. Namun, ketika dia melihat wajah musuhnya, rasa bersalah pun muncul dan dia menyesali perbuatannya. Andai mereka berjumpa di situasi lain, mungkin mereka akan jadi kawan yang akrab. Sosok yang semula tampil sebagai senjata dan acaman, dalam rasa bersalah, kini terlihat sebagai seseorang yang punya kehidupan dan keluarga seperti dirinya.

Apalagi dalam film, rasa bersalah tersebut ditekan oleh hantu-hantu seperti Nazi, fasisme Jepang, dan Komunis. Ancaman justru mengalahkan penderitaan yang sesungguhnya dialami kelompok yang dipersekusi, tentara, dan keluarga mereka. Ancaman kematian negara mengalahkan brutalnya kematian individu, dan kabar buruknya, tidak ada visi yang membuat kematian individu tersebut menjadi bisa diterima, dirangkul, dan bermakna. Bahkan harapan akan dunia yang damai sekalipun mesti dijamin oleh senjata yang lebih berbahaya dan mengerikan. Alih-alih mewujudkan gagasan tentang kedamaian dunia yang mungkin akan lestari dalam waktu lama, manajemen teror yang dilakukan justru dengan memastikan kematian pihak lain.

Ketika Oppenheimer menanggung rasa bersalah belum disadari secara kolektif karena euphoria, Amerika justru harus terjun lebih dalam lagi sebelum menyadarinya. Kali ini melalui perang dingin, meskipun tidak berdarah, ancaman kematian negara karena imajinasi perang nuklir masihlah terasa. Sebagaimana yang kita saksikan berulang kali tentang kejelasan apakah ada mata-mata di Los Alamos. Dan karena mereka tidak bisa membiarkan perasaan ini tersadari, Oppenheimer harus disingkirkan, seperti yang kita lihat melalui manuver Lewis Strauss.

Sejauh ini, bisa dikatakan bahwa rasa bersalah yang tertunda penyesalannya, mendefinisikan psyche Amerika dalam film sebagai dorongan untuk mengendalikan teror kematian dengan cara yang obsesif. Obsesi terhadap keberadaan mata-mata komunis, obsesi akan ledakan bom atom, dan ironisnya perang itu sendiri meskipun mereka ingin memulangkan tentaranya. Seperti yang kita tahu, Amerika tetap terlibat dalam peperangan pasca Perang Dingin, terutama di Timur Tengah seperti Iraq dan Afganistan. Apa yang terjadi jika rasa bersalah tersebut tidak terefleksikan? Kecenderungan untuk mendehumanisasi sebagai langkah untuk mengatasi teror kematian dari pihak musuh. Misalnya dalam ungkapan kontroversial masa perang Iraq oleh Jenderal Norman Schwarzkopf tentang orang Iraq, “(they) weren’t members of the same human race as the rest of us.” Sedangkan, di tanah air sendiri, muncul sticker bumper yang bertuliskan, “I don’t brakes for Iraqis.” (Solomon, Greenberg, & Pyszczynski, 2015).

 

Seandainya apa yang dituliskan seorang penonton yang baru melihat film ini sekali benar adanya, apakah fim Nolan ini akan mendapat penghargaan Oscar? Saya sendiri menantikan itu, sebab memang lebih layak daripada film-film yang dicekoki oleh ‘wokeism’ belakangan ini (yang mana salah satu manifestasi rasa bersalah yang diterjemahkan menjadi kebijakan publik dan politik identitas). Saya harap akan bermunculan film biografi tokoh historis serupa di tengah kemandekan kreativitas dengan remake dan multiverse yang tak ada habis-habisnya.

Karena saya membuka esai ini quote Heraclitus. Maka, untuk menutup esai ini, izinkan saya untuk mengutip quote terkenal lainnya. Sebuah kutipan yang akan saya deklamasikan, jika saya menyaksikan ledakan bom atom di Los Alamos.

 

All things change to fire

And fire exhausted

Falls back into things

(Heraclitus)

 

Daftar Pustaka

László, J. (2008). The science of stories: An introduction to narrative psychology. Routledge.

Lazar, Allan, Dan Karlan, & Jeremy Salter. (2006). 101 The Most Influential People Who Never Lived. New York: HarperCollings Publishers.

Malone, T. (2023, April 19). The Hearers to Collection: T.S. Eliot’s The Waste Land by Tyler Malone. Poetry Foundation. https://www.poetryfoundation.org/articles/158847/ts-eliot-the-waste-land

Remarque, Erich Maria. (1956). All Quite on The Western Front. New York: Fawcett Crest.

Setiadi, Tia. (2015). Petualangan yang Mustahil. Yogyakarta: Interlude

Solomon, S. (2020). The worm at the core: On the role of death in life. Grief Matters: The Australian Journal of Grief and Bereavement23(1), 20-24.

Solomon, S., Greenberg, J., & Pyszczynski, T. (2015). The worm at the core: On the role of death in life. Random House.

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fadzul Haka

Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: fadzul.haka@gmail.com

0 Pengikut

img-content

Menapaki 7 Langit

Kamis, 8 Februari 2024 19:13 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler