x

Ecosofi

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Rabu, 2 Agustus 2023 09:21 WIB

Mencicip Kawah Gunung Berapi

Manusia sampai kapanpun tidak akan bisa terpisah oleh alam. Ia adalah bagian dari semesta. Lakunya adalah tuntutan alam, bukan kemauannya sendiri. Manusia-manusia yang melawan alam, ia akan ditundukkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia membentuk dirinya sendiri ketika hidup benar-benar dialami. Tidak sakadar dijalani apalagi hanya dilalui. Jika tahu cara memungutnya, asal manusia tidak buru-buru mencapai tujuan, sesungguhnya mutiara kebijaksanaan terserak banyak di sepanjang perjalanan. Dalam pengalaman sehari-hari, juga kisah-kisah.

Agaknya seperti itulah pengantar yang coba dituliskan Irfan Afifi dalam bukunya Mimpi Tiga Pengelana. Buku yang nuansanya mirip dongeng sebelum tidur itu ia tulis dengan sebuah pesan moral yang bersahaja: selalu ada kearifan dari hal-hal yang sederhana. Dengan kesederhanaan yang sama buku itu ia susun, dari artikel rutin yang ia setorkan ke redaksi Mojok.co selama bulan Ramadhan 2018. Satu tulisan, setiap hari.

Memandang hidup adalah sebuah proses di mana manusia meng-alam-i hidupnya dan mencoba menyingkap apa makna yang dibawanya. Kurang lebih begitu katanya. Yang menarik adalah cara dia mengeja kata "meng-alam-i". Begitu kata "alam" muncul saya teringat bahwa sejatinya "peng-alam-an" manusia memang tidak seharusnya terputus dari alam itu sendiri. Tidak pantas bagi manusia untuk memutuskan hubungan dengan alam--tempat meliputi ruang dan waktu yang melahirkan manusia ke dunia dengan perantara ibu-bapaknya.

Sedari kecil kita diajari untuk menghormati yang lebih tua. Tidak hanya yang hidup: kakak, orang tua, kakek-nenek, sesepuh dan tetangga. Juga pusaka, leluhur, kitab suci, adat istiadat serta agama. Semakin tua, makin hormatlah kita kepadanya. Siapa yang usianya jutaan tahun sehingga manusia harus menghormati, serta belajar banyak darinya, kalau bukan alam semesta? Siapa yang tertua di antara yang tertuaatau bahkan melampaui konsep kita tentang usiajika bukan Sang Pencipta?

Semakin tua usia, semakin ariflah hidupnya. Begitulah seharusnya. Ini tidak hanya berlaku untuk manusia melainkan juga berlaku untuk semua makhluk. Termasuk hutan, sungai atau barangkali lautan. Langit dan gugusan bintang. Sudah sewajarnya jika manusia, makhluk termuda di antara semuanya, belajar dan memetik kebijaksanaan dari mereka. Di dunia barat, karena terkena dampak perubahan iklim yang ekstrem akibat keserakahan manusia, dengan setengah hati khazanah ini kembali digali. Mereka menamainya dengan falsafat lingkungan atau ekosofi.

Sebelum abad ke-19, keterpisahan antara manusia dan alam tidak pernah ada di Nusantara. Bahkan sampai saat ini, orang yang akrab dengan wacana keraton masih menyebut anjing dengan den baguse, tikus dengan den bei-ne, harimau dan kerbau dengan kiai, juga makhluk yang menurut intelektualitas orang modern bukan makhluk hidup seperti gunung Merapi, dengan nandalemsebuah sebutan bagi sesama anggota keluarga keraton Yogyakarta. Bahkan ketika gunung itu meletus, tidak ada satu pun orang keraton menyebutnya sebagai bencana. Mereka menyebutnya dengan penuturan yang sangat santun, tidak hanya nduwe gawe tetapi kagungan kerso, sedang punya hajat.

Di masa lalu, gunung itu sebagaimana sebuah lingga, merupakan simbol Dewa Siwa, dewa kesuburan dan pertanian. Seperti juga namanya, Siwa memiliki dua arti: "ia yang lembut hati" dan "ia yang ditakuti" karena sifat destruktifnya yang luar biasa besar. Namun jangan lupa, setelah hajatnya terpenuhi, gunung itu menyuburkan hamparan tanah di bawahnya. Seperti lembing Achilles, senjata yang selalu menyembuhkan luka yang ditorehnya.

Dari sini Merapi mengajari manusia bahwa hidup itu pengelolaan antara yang lembut dan yang keras. Contohnya dalam tataran etika, mendidik anak dengan terus-terusan memakai sifat lembut akan membuat anak menjadi lembek dan manja, sedangkan dengan terus-terusan memakai sifat keras akan membuat anak hilang rasa percaya diri dan selalu curiga. Tugas manusialah untuk menemukan kesimbangan keduanya.

Apabila salah harus diimbangi dengan kata "maaf", apabila ingin harus diimbangi dengan kata "tolong". Dan setelah tunai keduanya, si anak diajari kata "terima kasih". Tetapi setelah kesuburan didapatkan, pohon mulai tumbuh dan rerumputan hijau kembali, sedikit sekali rasanya "terima kasih" yang diterima gunung itu sekarang. Manusia tidak mampu lagi mencicipi arif-bijaksananya kawah Merapi. Ibarat dalam pewayangan, manusia hanya ingat panasnya, dan lupa bahwa sejatinya Kawah Chandradimuka itu ada untuk menyucikan tubuh Gatotkaca. Karena kacamata manusia adalah kacamata bencana, bukan kagungan kerso-nya. Apalagi kagungan kerso-Nya. Padahal Merapi telah mengajari banyak hal yang tidak diketahui manusia.

Saat ini, oleh manusia modern dengan segala intelegensianya, orang yang percaya dengan hal-hal seperti ini akan disebut kuno, klenik, dan tidak logis. Bagi mereka, alangkah lucunya memperlakukan hewan seperti manusia. Menyebutnya dengan den bagus, den bei apalagi kiai. Seolah-olah mereka dapat berbicara. Apalagi mengganggap benda mati, seperti Merapi, adalah anggota keluarga kerajaan. Mana ada manusia yang berkeluarga dengan sebuah gunung. Duh, betapa terbelakangnya. Seakan-akan gunung itu hidup dan memiliki kemauan saja.

Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, "Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari." (QS. An-Naml:18)

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh, (QS. Al-Ahzab: 72)

 Dan sampai sekarang, kezhaliman dan kebodohan itu tidak kunjung terlepas. Belenggu itu senantiasa mengikat leher-leher manusia di bawah kepalanya yang angkuh. Belenggu yang mereka buat sendiri, mereka kalungkan sendiri, dan mereka banggakan sendiri. Yang ujung-ujungnya konyol sendiri, malu sendiri.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu